Oleh: Didin Amarudin
Subuh itu. Saya melihat bayangan sesosok pria berbadan gempal di tengah kegelapan keluar dari gerobak dagangan. Sepertinya ia hendak mengambil wudhu karena azan subuh terdengar jelas dari pengeras suara di mushola-mushola dan masjid sekitar. Panggilan abadi sejak empat belas abad lalu.
Dari seberang jalan, walau dalam kegelapan, saya mengenali pria yang mengenakan sarung itu. Pasti lelaki itu adalah kawan saya satu angkatan sejak di SMP sampai SMA. Namanya Wawan Hertanto, biasa dipanggil Wawan Kewek, atau Kewek saja. Entah dari mana asal muasal panggilan itu. Pun artinya apa , saya tidak tahu sampai saat ini. Tapi sepertinya dia enjoy saja dipanggil seperti itu.
Dari kejauhan, saya hanya memanggil namanya sambil terus bergegas menuju Syiarul Islam, masjid Agung kota Kuningan yang dulu sekali bernama Al-Manaar.
Ada dua alasan setiap pulang kampung saya berusaha untuk menemui kawan saya di warungnya yang berupa gerobak ukuran 180 cm x 280-an cm itu. Sudah puluhan tahun ia berjualan di situ, dan bahkan sudah setahun lebih ia pun tidur bermalam di situ.
Alasan pertama adalah karena, warung dan sekaligus kediamannya itu hanya berjarak sekitar 150 meter saja dari rumah ibu saya. Pastinya, setiap keluar dari rumah seratus langkah saja, saya akan melihat gerobak itu. Gerobak yang dalam posisi tertutup terpampang tulisan besar: HUTANGMU mau dibayar DI DUNIA atau DI AKHIRAT.
Alasan kedua, karena setiap bertemu dengannya, saya selalu mendapatkan pesan kuat yang tak terucapkan bahwa dalam kondisi apapun agar tetap tersenyum, tetap bersyukur dan tetap bahagia.
Jadi tentu pagi itu selepas sholat subuh dan mendengarkan kultum dengan tema dzikrul maut, saya bergegas mendatangi gerobak kawan saya itu.
Kami berbincang dengan gembira sembari duduk lesehan di dalam gerobaknya yang sempit. Seperti biasa ia menawari saya untuk diseduhkan kopi sachet, tapi secara halus saya menolaknya. Banyak yang kami obrolkan. Termasuk kabar teman-teman satu angkatan yang tinggal di kampung.
Tentang dirinya, saya menanyakan bagaimana ia bisa tinggal di sini, terutama berkaitan dengan urusan ke toilet. Sebab saya tidak melihat ada toilet di sekitar sini. Ia menjelaskan bahwa ia biasa menggunakan toilet mushola yang letaknya ada di gang di seberang jalan.
Dan ketika obrolan sampai pada renovasi ruko di depan mana gerobaknya berada, ia menjelaskan bahwa ia harus mulai mencari lokasi lain. Karena ketika renovasi selesai tidak mungkin lagi mangkal di depan ruko yang sudah berpuluh tahun dibiarkan terbengkalai dan itu menjadi berkah buatnya.
Dan ia menceritakan itu dengan santai tanpa ada raut kecemasan sama sekali di wajahnya. Ia sepertinya tidak menghawatirkan masa depannya yang selama bertahun-tahun ia pertaruhkan di gerobak itu.
Ini sama dengan beberapa tahun lalu ketika sebuah toko jaringan minimarket, Alfamart buka persis berseberangan dengan gerobaknya. Saya tanyakan apa ada pengaruhnya. Ia menjawab sambil tertawa,“Sudah pastilah, Din. Tapi rezeki mah ada aja”
Tidak ada rona kemarahan atau kekesalan sama sekali di wajahnya. Malah kami suka mencandainya dengan menyebut gerobak warungnya sebagai Indomaret. Sebab biasanya yang berhadap-hadapan adalah Alfamart dengan Indomaret.
“Komo ari di ditu mah moal bisa nganjuk. Ari di dieu mah pan bisa (Apalagi di sana kan gak bisa ngutangin. Kalau di sini kan bisa)”, tambahnya lagi sambil tertawa lebar.
Rupanya dalam kondisi yang serba terbatas pun ia masih mengutangi. Atau memang tidak bisa menolak orang yang datang ke warungnya untuk berutang. Apalagi yang datang teman. Sialnya ia -seperti saya- tipe orang yang kelu saat menagih utang. Maka ia tuliskan kata-kata tadi dengan harapan orang berutang sadar dengan sendirinya.
Tulisan besar di gerobaknya itu sudah lama dibuat. Tapi baru kali ini saya menanyakan berapa besar sih sebenarnya tagihan kepada pelanggannya. Ia menyebut angka lima jutaan. Angka yang besar buat sahabat saya yang berjualan pernak-pernik kecil kebutuhan sehari-hari semisal sabun, sampo, pasta gigi dan lainnya serta kopi sachet seharga 3.500 rupiah per cup.
Utang itu muncul dari mereka yang belanja di warung gerobaknya. Ada lebih seratus orang debitur. Enam puluh orang sudah tidak bisa diharapkan, empat puluh orang masih ada harapan karena masih bisa dihubungi, masih suka lewat di depan gerobaknya, walaupun belum bayar-bayar juga.
Tiga puluh menit sudah saya bersamanya. Sebenarnya terhalang satu bangunan dari situ ada rumah makan Kasreng khas Kuningan yang buka 24 jam. Menunya lumayan lengkap mirip-mirip restoran Ampera lah. Saya mengajaknya sarapan di situ. Dan sudah saya duga ia menolaknya secara halus.
Memang tidak mudah mentraktirnya. Padahal di depan maupun samping kanan gerobaknya berderet restoran dan cafe. Beberapa kali saya mencoba mengajaknya makan malam pun selalu gagal, kecuali sekali saja. Itu pun setelah saya bersiasat bahwa saya mau survey rasa dan harga di cafe seberang dan perlu ditemani.
Ia memang tak punya jurus aji mumpung. Apalagi meminta. Pantang baginya. Dalam obrolan pagi itu ia sempat merasa prihatin salah seorang teman satu angkatan di SMP yang punya kebiasaan meminta. Padahal ia PNS/ASN. Punya penghasilan tetap. Saya tahu orangnya, karena pernah juga dimintai untuk ‘uang bensin’.
Tentu ini berbeda dengan Kewek. Sepertinya ia mempunyai prinsip tidak mau merepotkan orang lain. Pernah suatu saat kami kehilangan kontak, setelah teman-teman di kampung mencari kabar beritanya ternyata sudah seminggu dia dirawat di rumah sakit.
Itulah sahabat saya, Wawan Kewek. Yang tetap tersenyum, tetap bahagia apapun kondisinya. Ia mengajari saya bahwa kebahagiaan tidak diukur dengan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki, tapi seberapa besar rasa syukur atas apa yang kita miliki.
Pelajaran yang tidak ia sampaikan dengan kata-kata. Tapi dengan perbuatan.
“Maka sesungguhnya mereka lebih bahagia
Dapat mensyukuri yang dimiliki.
Sesungguhnyalah aku ingin belajar
sikap mereka menjalani hidup.
Angin, tolonglah bawakan aku
sepotong kertas dan pena tajam.
Akan kutulis tebal-tebal
pelajaranmu lewat diam.”
(Nyanyian Suara Hati ~Ebiet G. Ade)