Oleh: Doni Riw
Bukan, bukan. Ini bukan tulisan fiqih taswir terkait aplikasi avatar yang sedang viral itu. Bukan pula tulisan pembelaan bahwa aplikasi avatar itu tidak termasuk taswir. Tulisan ini akan membahas soal ide dan konsep di balik kata avatar itu sendiri.
Di dalam dunia digital, kata avatar merujuk representasi grafis dari si pengguna. Misalnya kita main game digital. Maka di dalam layar nampak sosok yang bergerak sesuai kendali kita. Avatar itu adalah representasi kita di dalam dunia virtual.
Kata avatar ini tentu tidak muncul begitu saja. Ada sumber asal mula kata itu diambil. Sumber tertua kata Avatar atau Awatara (Sanskerta: अवतार, avatāra, baca: awatara) adalah kitab Bhagawadgita. Salah satu kitab suci Hindu Selain Vedha (baca: wedha). Kata Avatar dalam khasanah Hindu merujuk pada reinkarnasi tuhan di bumi. Rama, Kresna, dan Siddharta Gautama (Sang Budha), adalah tiga dari sepuluh Avatar tuhan yang pernah ada di bumi.
Dunia tuhan di langit dan dunia manusia di bumi adalah dua alam yang berbeda. Agar tuhan bisa hadir di bumi, maka dia perlu menjasad dalam ujud jasmani seperti manusia. Inilah yang disebut sebagai Avatar.
Di dalam khasanah agama Katolik juga mirip. Yesus disebut sebagai firman Tuhan yang mendaging. Firman yang menjadi daging ini adalah inkarnasi atau Avatar dari Allah yang ada di surga.
Dari telaah tersebut, kata Avatar dalam dalam dunia digital nampak jelas diadaptasi dari kata Avatar dalam konsep Hindu dan Kristen. Di dalam agama Hindu dan Kristen, tuhan tak mungkin hadir di dunia tanpa perantara Avatar.
Di dalam dunia digital, pengguna tak bisa masuk ke dalam dunia maya tanpa diwakili dengan Avatar. Selamat bermain avatar. Selamat bermain menjadi tuhan digital.
Tuhan kristen perlu firman yang mendaging untuk hadir di bumi. Barang kali kamu butuh firman yang membinary code untuk hidup di dunia maya.