Walimatul urs adalah acara makan-makan yang diadakan karena adanya pernikahan. Apakah orang yang menikah wajib mengadakan walimatul ‘urs?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Wajib. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رأى على عبدِ الرَّحمنِ بنِ عوفٍ أثرَ صفرةٍ فقالَ: ما هذا ؟. فقالَ: إنِّي تزوَّجتُ امرأةً على وزنِ نواةٍ من ذَهبٍ . فقالَ: بارَكَ اللَّهُ لَكَ أولم ولو بشاةٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya: ada apa ini Abdurrahman? Abdurrahman menjawab: saya baru menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Nabi bersabda: baarakallahu laka (semoga Allah memberkahimu), kalau begitu adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1094, An Nasa-i no. 3372, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menggunakan kalimat perintah “adakanlah walimah…“, dan hukum asal perintah menunjukkan wajib.
Ini pendapat Zhahiriyyah, salah satu pendapat Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah, salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat kedua: Mustahab. Ini berdasarkan hadits dari Shafiyyah bintu Syaibah radhiallahu’anha, ia berkata:
أولَمَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على بَعضِ نسائِه بمُدَّينِ مِن شَعيرٍ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahan dengan sebagian istrinya dengan dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172).
Di hadits Abdurrahman bin Auf Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan walimah dengan seekor kambing, di hadits Shafiyyah disebutkan beliau walimah dengan 2 mud gandum. Menunjukkan tidak ada kadar baku mengenai makanan walimah. Ibnu Abdil Barr dalam kitab at Tamhid mengatakan:
ولو كانت واجبة لكانت مقدرة معلوم مبلغها كسائر ما أوجب الله ورسوله من الطعام في الكفارات وغيرها. قالوا فلما لم يكن مقدار خرج من حد الوجوب إلى حد الندب
“Andaikan walimah itu wajib, tentu sudah ditetapkan kadar yang diketahui takarannya. Sebagaimana seluruh kewajiban yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah makanan kafarah, dan yang lainnya. Maka para ulama mengatakan: ketika tidak ditentukan kadar bakunya, maka hukumnya keluar dari pewajiban kepada penganjuran”.
Sedangkan kalimat perintah dalam hadits Abdurrahman bin Auf dimaknai sebagai amrun lil istihbab (perintah dalam rangka penganjuran).
Ini pendapat jumhur ulama. Wallahu a’lam, pendapat pertama lebih rajih dalam masalah ini. Bahwa walimatul ursy itu WAJIB. Karena hukum asal perintah adalah wajib, dan tidak ada dalil yang sharih yang menyimpangkan hukum wajib kepada yang lain.
Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan walimah dalam pernikahan-pernikahannya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Bahkan ketika menikah Shafiyyah ketika kondisi safar, beliau tetap mengadakan walimah. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ : أَوْلَمَ على صفيَّةَ بسَويقٍ وتمرٍ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahannya dengan Shafiyyah dengan sekeranjang kurma.” (HR. Abu Daud no.3744, Ibnu Majah no. 1563, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Hal ini memperkuat indikasi akan wajibnya walimah. Demikian juga walimatul urs adalah upaya untuk mengumumkan pernikahan, padahal dalam hadits Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أَعلِنوا النِّكاحَ
“Umumkanlah pernikahan!” (HR. Ahmad no. 16175, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.1072).
Inilah yang dijelaskan dan dikuatkan oleh Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan Al Albani rahimahumullah. Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.
(Fawaid Kang Aswad)