Breaking News
(Foto : Tanah Nusantara)

Sajian Kopi Tanah Jawa

Menyusuri Jejak Leluhur

Oleh: Gus Nur

(Foto : Tanah Nusantara)

Luar biasa viralnya film “Jejak Khilafah di Nusantara” sampai-sampai sejarawan Prof Peter Carey harus membuat press realease bahwa “tidak ada hubungan kerajaan di Jawa dg kekhilafahan Utsmani”.

Namun kemudian banjir catatan sejarah yang menyapu bersih debu-debu yang menutupi sejarah sebenarnya.

Sebagai penikmat kopi, maka pro kontra sejarah tersebut saya sangat asyik menikmati. Dan sebagai penyaji kopi juga, saya kepingin menyajikan nukilan-nukilan sejarah yang single origin pula dari Serat Jongko Syeh Subakir.

Pupuh I Asmorondono bait 26:

Wonten crita kang tinulis, tumrap tanah Jawa, aking Arab pinangkane, gancare ing pulo Jawa, duk taksih dadya wana, peteng alas gung asamun, ambelasah roning kamal.

[Ada cerita tertulis, tentang tanah Jawa, bermula dari Arab, berpusat tanah Jawa, yamg masih banyak pepohonan, hutan gelap gunung berkabut, yang menutupi secara sempurna]

Pupuh II Sinom bait 1

Purwane kang ginupita, duk suwunge tanah Jawi, taksih wana langkung pringga, isina amung dedemit, pari prayangan lan jim, miwah sagunging lelembut, kalawan brekasakan, gandarwo lan banaspati, ilu-ilu janggitan lawan kemamang.

[Awal-mula yang diceritakan, saat kekosongan tanah Jawa, masih berupa hutan berbahaya, isinya hanya hantu, peri, dan jin, serta segala makhluk halus, seperti brekasakan, gendruwo dan banaspati, ilu-ilu serta kemamang.]

Pupuh II Sinom Bait 2

Anenggih kang kawuwusa, jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi, anenggih Sultan ing Ngerum, nimbali patihira, prapteng ngarsa awotsari, Sang Aprabu alon denira ngandika.

[Ketika yang berkuasa, Kanjeng Sultan Rum yang bijak, mendapat bisikan hati, disuruh mengisi, manusia di tanah Jawa, ketika Sultan di Rum, memanggil patihnya, untuk datang menghadap, maka Prabu dengan pelan mengatakan]

Pupuh II Sinom Bait 3

Heh Patih Ingsun tatanya, marang sira kang sayekti, wartane ing Pulo Jawa, apa sira wus udani, kabare taksih sepi, durung isi manungseku, pan isih dadi wana, Kyana Patih atur bekti, inggih Gusti dereng isi kang manungsa.

[Hai patihku aku bertanya, kepadamu yang sebenarnya, berita di pulau Jawa, apa kamu sudah mengetahui, kabarnya masih sepi, belum berisi orang-orangku, yang masih menjadi hutan. Maka patih menghaturkan hormat, betul Gusti, belum berisi manusia.]

Catatan:

Nama asli dari Raja Rum adalah Sultan Muhammad I. Beliau menyukai syair, adab, dan seni. Sultan Muhammad I merupakan salah satu Khalifah Utsmani yang memiliki kemasyhuran yang tinggi dari pada sultan lainnya. Karena jiwanya yang memiliki kemanusiaan tinggi. Syeh Subakir diutus ke tanah Jawa bersama-sama dengan Walisongo generasi pertama, oleh Sultan Muhammad I. Keberangkatannya ke tanah Jawa untuk berdakwah di pulau Jawa.

Pupuh II Sinom bait 9 :

Puwara renge ngandika, timbalana Sech Subakir, tan anatara prapteng ngarsa, ngandika Sri Narapati, bapa sira sun tuding, layar mring pulo Jaweku, sira masanga tumbal kang hardi-hardi, dimen lunga lelembute pulo Jawa.

[Akhirnya dia berkata, panggilkan Syekh Subakir, tidak lama kemudian datang menghadap, ucap Sang Raja, rajamu menitahkan, berlayarlah ke pulau Jawa, engkau pasanglah tumbal di gunung-gunung, agar pergi makhluk halus dari pulau Jawa.]

Pupuh III Pangkur bait 25

Anitahaken Narendra, duk timure babaran hardi Srandil, maksih tedak Kanjeng Rasul, ibu darah Mataram, paselongan iya iku wijinipun, angadani tanah Jawa, pan jumeneng Ratu Adil.

[Mencipta Raja, kecilnya terlahir dari gunung Srandil, masih keturunan Kanjeng Rasul, ibu dari Mataram, keturunan percampuran, yang akan memimpin tanah Jawa, akan menjadi Ratu Adil.]

Keadilan raja ini tidak diragukan, merupakan hasil dari menjalankan syariat Islam secara kaffah, dengan berperilaku layaknya santri sejati. Serat Jangka Syeh Subakir menggambarkannya

Pupuh III Pangkur bait 29

Ilang wong kang dora cara, wong dursila ilang pan sirna enting, botoh keh pada kabutuh, awit adil Sang Nata, akeh ngungsi mring masjid pada asujud, eling marang kabecikan, pada dadi santri mursid.

[Hilang orang berbohong, orang jahat hilang habis. Kebutuhan sudah terpenuhi, karena keadilan Sang Raja, banyak berdiam di masjid untuk bersujud, ingatakan kebaikan, menjadi santri Mursyid].

The end story. Ini adalah nukilan sejarah yang diungkapkan dalam bentuk sastra Jawa. Dan keunggulan sastra adalah lebih mudah diingat dan lebih bisa mengungkapkan rasa.

Maka sebenarnya Jejak Islam tersebar di penjuru nusantara melalui utusan para khalifah. Dan butuh banyak cangkir kopi untuk menerima dan meresapi kebenaran. Karena cangkir itu adalah filosofi dari nyencang pikir (mengikat pemikiran) agar jangan sampai berfikir secara liberal. Diikat dengan ikatan syari’at.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur