Pelopor Penggunaan Bambu Runcing Melawan Penjajah Belanda
Oleh: Agung Waspodo
Kyai Subkhi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subkhi, atau sering disebut dengan Subeki, merupakan putra sulung Kyai Harun Rasyid, penghulu masjid di kawasan ini.
Kakek Kiai Subkhi, Kyai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kyai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Dipanegara, dalam periode Perang Jawa (1825-1830). Ketika laskar Dipanegara kalah, banyak pengikutnya yang menyembunyikan diri di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kyai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.
Keluarga Kyai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah. Subkhi kecil dididik oleh orangtuanya dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayahanda Kyai Mahfudh Sumolangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kyai Subkhi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Parakan merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Temanggung. Kota ini, memiliki arti penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal abad 20, Temanggung menjadi basis pergerakan Sarekat Islam (SI). Kaum santri yang tinggal di Parakan, menjadi tulang punggung kaderisasi SI. Bahkan, di Parakan juga pernah diselenggarakan Kongres Sarekat Islam, yang dihadiri oleh HOS Tjokroaminoto. Pada 1913, anggota Sarekat Islam di Parakan, berjumlah 3.769 orang. Cabang SI Temanggung dibuka pada 1915, dengan jumlah anggota 4.507.
Di Parakan, Temanggung, masa sebelum kemerdekaan sangat memprihatinkan bagi rakyat. Hal ini, karena kondisi ekonomi sangat sulit dan politik pemerintah Hindia Belanda yang memeras rakyat dengan Tanam Paksa, maupun sistem Kerja Paksa. Ketika Jepang menduduki Jawa, warga Temanggung juga menanggung beban yang sulit. Kewajiban Romusha menjadi beban yang sangat berat bagi rakyat Parakan di Temanggung. Pemberlakukan Romusha menjadikan warga terlantar, hidup sengsara, lahan pertanian terbengkalai, hingga sebagian warga menderita busung lapar karena sulitnya memperoleh makanan.
Pada masa kemerdekaan, Parakan Temanggung menjadi simpul pergerakan untuk melawan penjajah. Ketika Pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan strategi pemisahan wilayah, berupa garis demarkasi Van Mook, warga Temanggung juga bergerak untuk melawan diskriminasi politik yang dilancarkan Hindia Belanda.
Pada saat itu, dibentuklah Barisan Muslimin Temanggung (BMT). Barisan ini dipelopori oleh kiai-santri, yang bertujuan untuk memobilisasi kekuatan rakyat melawan penjajah. BMT didirikan pada 30 Oktober 1945 di Masjid Kauman Parakan.
Setelah adanya Barisan Muslimin Temanggung, operasi warga untuk melawan penjajah semakin gencar. Santri-santri yang tergabung dalam barisan ini, menjadi bertambah semangat dengan dukungan kiai, terutama Kyai Subkhi Parakan. Beberapa kali, BMT berhasil menyerbu patroli militer Belanda yang lewat kawasan Parakan. Perjuangan heroik BMT dan dukungan Kyai Subkhi, mengundang simpatik dari jaringan pejuang santri dan militer.
Beberapa tokoh berkunjung ke Parakan, untuk bertemu Kiai Subkhi dan pemuda BMT: Jenderal Soedirman (1916-1950), Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Zaenal Arifin (Hizbullah), Kiai Masykur (Sabilillah), Kasman Singadimedja (Jaksa Agung), Mohammad Roem, Mr. Wangsanegara, Mr. Sujudi, Roeslan Abdul Gani dan beberapa tokoh lainnya.
Kyai Subkhi dikenal sebagai kiai alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Kiai ini, dikenal sebagai “Kiai Bambu Runcing”, karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma’ dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh. Bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.
Kyai Subkhi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan. Jiwa bisnisnya tumbuh seiring dengan kesuburan tanah di lereng Sindoro – Sumbing. Pertanian menjadi andalan, dengan pelbagai macam tanaman yang menjadi ladang pencaharian warga. Saat ini, Parakan dikenal sebagai kawasan andalan dengan hasil tembakau terbaik di Jawa. Kyai Subkhi, pada waktu itu, sering membagikan hasil pertanian, maupun menyumbangkan lahan kepada warga yang tidak memilikinya. Inilah kebaikan hati Kyai Subkhi, hingga disegani warga dan memiliki karisma kuat.
(Artikel diambil akun Hamidah Hasibuan yang bersumber dari laman NU)