Oleh : Prof. Dr.Ing. H. Fahmi Amhar
Orang itu, subhanallah, begitu sholehnya. Tak pernah ia ketinggalan sholat shubuh di masjidnya. Puasa Dawud juga selalu dikerjakannya. Istri dan putri-putrinya juga memakai jilbab dengan anggunnya. Taddarus Qur’an, ya setiap hari minimal satu juz dibacanya. Menghafal Qur’an bahkan salah satu obsesinya. Dia juga gemar bersedekah ke siapa saja. Atau silaturahmi ke para Ulama dan orang-orang tua. Shalawat dan dzikir sering menghias bibirnya. Kalau pilih makanan, halal itu nomor satu baginya. Dan pergi umrah menjadi ritual tahunannya.
Ya, orang itu begitu sholehnya. Namun dia menganggap perbankan ribawi tak usah dilarang negara; toh bank syariah sudah dibolehkan, biarlah semuanya saling berlomba.
Soal HPH, konsensi tambang atau sejenisnya itu bukan urusan ulama; biarlah semua diserahkan kepada para ahlinya. Ulama juga tidak usah ribut soal hutang luar negeri yang terus berbunga,kalau perlu datangkan pakar dari IMF atau Bank Dunia.
Dia juga menganggap pelacuran di berbagai kota bukan urusannya; toh negara belum mampu memberikan solusi pada para PSK-nya; yang penting dia tidak terlibat, apalagi menikmatinya. Kalau soal pornografi, ulama silakan menjaga umatnya saja; tidak usah ribut-ribut, apalagi mendemo televisi dan media.
Dia juga menganggap wajar miras ditawarkan di hotel bintang lima; kan ada turis asing atau non muslim yang menikmatinya; yang penting bukan di minimarket di dekat rumahnya. Dia bahkan menganggap hukuman hudud dan qishash itu tidak perlu ada, karena hukuman yang sekarang ini sudah lebih adil begitu rupa.
Maka ternyata, orang sholeh itu bisa sekuler juga. Seolah-olah Qur’an yang dia baca, itu hanya untuk individu saja, sama sekali tidak berlaku untuk masyarakat, apalagi negara. Kita yang selama ini salah duga, seolah-olah, yang sekuler itu pasti fasik lah orangnya. Padahal antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, ya inilah bedanya.
Orang sholeh yang sebenarnya tidak pernah membedakan ayat tentang puasa:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 183),
Dengan ayat tentang qishaash atas pembunuhan berencana: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka siksa yang sangat pedih baginya.” (QS. Al Baqarah: 178)
Dia tidak membeda-bedakan ayat, karena semua adalah perintah-Nya. Dan Dia Yang Maha Tinggi lebih tahu tentang segalanya.