Breaking News

Catatan Cinta Lansia (33)

 

Sebelas Tahun Silam, Hidup Penuh Warna

Oleh: Pipiet Senja

 

Anno 18 Mei 2020

Sebagai rasa bersyukur ada baiknya mengenang sukaduka, pedih perih satu masa hidup kita.

Awas Ada Kuntilanak!

Ada masa di mana aku merasa boring sekali, setiap saat berbaringan terus dan melayani para koas (calon dokter), menjawab serbuan pertanyaan yang itu-itu saja, seputar riwayat penyakitku.

Petang itu, setelah sholat maghrib, diam-diam aku menyelinap keluar ruangan di lantai 8 melalui lift. Kusembunyikan tangan kananku yang ditempeli abocat, alat untuk memasukkan injeksi atau infus dan transfusi, di balik jilbabku. Berpapasan dengan para pembesuk, jujur saja ada yang nyelekit di dalam hatiku.

Hampir tidak ada yang membesukku, kecuali anakku Butet yang setiap malam setia menemani. Jika siang hari aku lebih banyak sendirian, biasanya kumanfaatkan untuk menulis, membaca Hadist dan Al Quran, novel, ngeblog atau chatt.

Keluar dari lift, membaur dengan para pembesuk, aku berjalan melewati dua Satpam yang selalu pasang tampang siaga. Sempat terlintas di benakku, bagaimana reaksinya jika mereka mengetahui bahwa aku adalah seorang pasien? Apakah mereka akan menangkap diriku?

Jadi, kutegar-tegarkan dan segagah-gagahnya langkahku begitu melintasi mereka. Sehingga aku yakin mereka takkan mengira bahwa aku seorang pasien. Apalagi jika melihat pakaian yang kukenakan; jins belel, kaos panjang dengan kudung ungu favoritku. Pede aza lagee!

“Pulang, Mbak?” sapanya ramah.

“Ya, Mas….”

“Sudah rapi di atas, semuanya, ya Mbak?” lanjutnya pula basa-basi.

Nah kan, sepertinya ia menyangka diriku ini semacam janitor. Beuh!

Aku menyusuri koridor demi koridor, niatku hanya membeli majalah dan pulsa. Semuanya berjalan lancar, aku mendapatkan majalah, tabloid bahkan koran sore dan pulsa di seberang rumah sakit. Ya, aku yakin, semuanya baik-baik saja, indah-indah saja, seindah petang menjelang malam di kawasan Jakarta Pusat.

Aku pun menenteng bawaanku melangkah riang, menyusuri lorong-lorong, ingin segera kembali ke ruangan. Persis bocah TK yang baru sukses ngelabuin ortu-nya. Heuheu! Namun, entah apa yang terjadi dengan otakku, selang kemudian baru kusadari jalan yang kulalui bukan jalan sebelumnya.

Tahu-tahu aku sudah sampai di lorong yang melintasi kamar jenazah. Bau busuk bangkai (maaf!) manusia langsung menyergap hidungku. Spontan kututupi hidung dengan ujung jilbab, aku tetap berusaha tenang melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah cepat. Kulirik jam tangan menunjukkan pukul 19.30, suasana di sekitarku lengang, hening mencekam. Sekarang malam Jumat pula, mengapa baru ingat, ya?

“Huh, ini gara-gara si hantu bosan, jeleeek!” gumamku membatin sendiri.

Mendadak aku teringat film-film horor yang pernah kutonton. Yang paling membekas adalah tentang mayat-mayat hidup dan suster yang ngesot-ngesot itu. Bagaimana kalau ada Zombie atau Suster Ngesot tiba-tiba muncul dari kamar jenazah itu, coba? Imaji liarku yang horor dalam sekejap berseliweran di otakku. Jantungku berdegup kencang, hingga bunyinya serasa memukul-mukul rongga dada yang mendadak sesak.

Deeegh, deeegh, deggghhhh! Saat itulah aku melihat ada dua sosok dari arah depan, tampaknya sepasang ABG, mereka jalan bergandengan mesra.

“Baguslah, ada teman juga nih,” desahku sukacita.

Maka, aku pun lebih mempercepat langkah, serasa sudah di ujung lidah ingin menyapa mereka, siapapun itu. Makin dekat, makin dekat…., eh, bukannya lebih cepat berpapasan! Mereka malah seperti kompak serempak berbalik, menjauhiku. Sayup-sayup kudengar teriakan salah seorang dari pasangan itu: “Awaaas…, ada kuntilanaaak!”

“Yo olooooh, gelooooow siah! Sayah teh disangka kuntilanak, nya? Lihat dulu atuh, ceng! Sayah teh segininya sudah gaya pake jins si Butet segala atuh! Gheeeerrrrr!”

Aku heboh bersungut-sungut, tetapi tak urung kugetok jidat dan merasa geli. Salah sendiri, coba siapa suruh malam Jumat keluyuran? Bukan Yassinan malah cari-cari urusan! Dasar nini-nini tak tahu membaca zaman, halaaah, jadi ngalor-ngidul nih urusan. Astaghfirullah al adziiiim!

Kontes Kentut

 Pasca operasi setelah berada di ruang perawatan biasa, segala daya upaya dicurahkan demi pemulihan. Terutama menawar rasa sakit bekas luka bedah, baik luka dalam maupun luka luar. Bahna kepingin cepat pulih, banyak pasien yang rela melakukan apapun. Ibaratnya andaikan disuruh makan gukguk dan babi pun, yo wis hajar bleeeh, sumpe deh, opz amit amit ding.

Ada yang bilang ikan gabus pepes bisa mempercepat pemulihan luka dalam, maka ramai-ramailah kami berburu ikan gabus. Berapapun harganya main sambar saja. Aku sendiri sampai menyebar-luaskannya di blog pribadi, Facebook dan SMS. Dicari ikan gabus hidup, euy!

Beruntunglah diriku banyak disayangi sahabat, fans pembaca, sanak dan handai tahulan. Begini-begini daku ini kan seorang nenek yang ramah, gaul, jenaka dan lucu (pelawak ‘kali!), tetapi sayangnya sama sekali tidak bisa menabung. Bukan apa-apa, karena duitnya melulu tersedot dana pengobatan.

Nah, berkat kebaikan para wakil malaikat itulah, akhirnya suatu hari di depan mata dan hidungku terjadilah pagelaran pepes ikan gabus nan sangat meriah. Lihatlah, kepalanya gede-gede dan matanya yang seperti mau loncat itu, mendelik saja ke arahku. Bagaikan sedang unjuk rasa, tetapi sudah tak berdaya, seperti rakyat kita. Hiiiiy seyeeem!

Terpaksa kupakai jurus jitu penangkal rasa ngeri sekaligus bersalah dalam dadaku itu, mencomotnya tanpa basa-basi lagi, maka: ciaaaat…, haaapppps!

Mendadak ada seorang perawat dinas pagi yang begitu rajin dan gencarnya, membangkitkan semangat pasien pasca bedah umum. Setiap pukul 08.30 ia akan mendatangi pasien, kemudian mengulang tip-tipnya dengan penuh semangat.

“Ibu-ibu mau cepat pulang, bukan?” pancingnya dengan gaya meniru Luna Maya di acara Dahsyat.

“Ya, Susteeeer!” jawab kami dengan intonasi masing-masing dalam langgam duka teuing alias entahlah.

Artinya ada yang tersemangati, tapi ada pula yang menyahut dengan erangan kecil.

Lah iyalah, jangankan bisa teriak, wong buat napas saja masih megap-megap, dan tergantung dengan selang inhalasi ventilator. Yang ada bukan naik semangat, sebaliknya malah bunyi khas orang bengek; ngiiiik, ngiiik, ngiik!

“Banyak makan telor bebek rebus, ya ibu-ibu. Minimal sekali makan lima butir, tidak usah pake nasi, digado saja, ya ibu-ibu!”

Meskipun rasanya tidak masuk akal, tapi saking desperate, diam-diam kupraktekkan juga. Memang tidak sebanyak itu, aku pilih nuansa minimalisnya sajalah, dua-dua butir di antara tenggang waktu makan.

Ternyata, eh, ternyata, Sodara….

Makan telor bebek rebus banyak-banyak ada dampaknya loh. Penasaran toh, mau tahu toh? Dampaknya itu tak lain dan tak bukan adalah buang gas alias kentut, tanpa henti dan tiada mampu ditahan. Nah loh, sumpe deh!

Percaya sajalah dan jangan heran, kalau suatu saat kita akan mendengar bunyi-bunyian ajaib dari kamar bernomer 44 itu. Maklum, para penghuninya lagi pada serius, sangat fokus dan takzim setakzim-takzimnya, demi mengikuti kontes kentut.

Iramanya takkan pernah tercatat dalam sejarah musik manapun, bahkan Beethoven sekalipun takkan mampu menirunya. Blebeeees, blebeeees…, duuuut! Brebeeet, breeet, jebreeed! Kira-kira begitulah bunyinya, Sodara!

Ini Pelecehan Seksual!

Gara-gara persiapan pra operasi yang sangat kurang, nyaris saja bikin orang harus ; say god bye, game over!

Mereka tidak melakukan pengurasan perutku, tidak seperti ketika aku dikuret belasan tahun yang silam. Perawat hanya mengingatkanku agar tidak makan dan minum lagi sejak pukul sebelas malam. Pagi hari sebelum diangkut ke ruang operasi, aku bahkan disuruh minum captropil, obat penurun tensi.

Keluhan rasa sakit yang sangat menyiksa dari bagian bawah perutku, sesungguhnya telah muncul begitu aku bisa mengingat di ruang ICU. Hari kedua pasca operasi, perawat memberiku dulkolax.

Ternyata hampir tak ada pengaruhnya dengan kelancaran BAB, buang air besarku. Bahkan menambah rasa sakit yang tidak karuan di sekitar rahim dan bokongku. Sehingga aku harus menaruh kompres karet berisi air panas, sekadar mengalihkan rasa sakit itu menjadi kepanasan. Itu lebih baik, kurasa.

Kacow, maaaang!

Hari ke-6 pasca operasi, setelah diberi inpepsa, hampir habis satu botol, barulah ada pengaruhnya. Bukan saja BAB-nya melainkan diare hebat sepanjang hari itu. Mengocor deras begitu saja, tanpa mampu kutahan lagi.

Sampai suatu saat tahu-tahu diriku sudah berkubang dalam genangan (maaf!) kotoranku sendiri. Alamaaak!

Tidak ada Butet, karena kejadiannya pagi hari. Dua orang perawat dibuat kelimpungan. Kelihatan sekali mereka sangat terganggu dan enggan mengurusiku.

Aku bisa memahaminya, karena ini bulan puasa. Bagaimana coba kalau mendadak muntah hebat? Batal puasanya dong!

Aku pun merasa bersalah dan malu nian. Salah satu perawat memaksaku untuk turun dari ranjang, satunya lagi cepat berlalu hendak mengambil seprai baru. Aku hanya bisa manut, mematuhinya. Persis balita yang kepergok beabe di celana!

“Ayo, Bu, jalan sendiri, ya, pasti bisa, bisaaa!” ujar perawat itu menymemangatiku agar terus berjalan sendirian ke kamar kecil. “Bersih-bersihnya bisa sendiri, ya, lebih enakan juga begitu!”

Aku melangkah tertatih-tatih, tangan kanan berpegangan kuat ke tiang infusan yang bisa kudorong.

Sementara tangan kiriku menenteng kantong penampungan darah dari selang kecil yang menancap di perutku. Jarak yang tak seberapa itu serasa berabad lamanya!

Ada yang lowong di perutku, semuanya serasa hendak melorot ke bawah. Ini hanya perasaanku saja, hiburku sendiri. Ya, perasaan orang yang telah tidak memiliki dua organ tubuhnya; limpa dan kandung empedu.

Berada di kamar kecil seorang diri, dalam hening yang menikam kalbu, air mataku tanpa bisa kutahan tumpah-ruah bak tak berkesudah. Aku sudah bisa berjalan, gumamku membatin, ya, bisa berjalan. Sesuatu yang nyaris menjadi keniscayaan saat aku berada di ICU. Alhamdulillah, ya Robb, terima kasih. Subhanallah!

Beberapa saat lamanya aku tepekur di toilet duduk itu, merasa-rasai dan menyerap aura “kehidupan” sebuah kamar kecil. Perlahan kuambil selang dan kusemprotkan ke sekujur tubuhku. segarnya air sungguh suatu kenikmatan yang tak tepermanai. Allahu Akbar, seruku berulang-ulang menyebut kebesaran dan kemurahan-Nya.

Ternyata hal-hal kecil yang selama ini dianggap remeh-temeh, ketika kita baru lepas dari lubang maut, sungguh berubah menjadi sangat bermakna. Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan?

“Ini pelecehan seksual, eh, pelecehan berat!

Kebangetan itu suster, ya! Masa iya sih pasien baru operasi besar dibiarin jalan sendirian, nenteng-nenteng kantong darah, dorong tiang infusan segala! Alaaaah, tega-teganya, ya? Lagian si Ibu kenapa mau saja dibegitukan sih?”

Ibu yang menunggu pasien di seberangku, merepet mengomel-omel tak tertahankan. Begitu nafsunya mengomel sampai keseleo lidah, mau bilang pelecehan berat, tapi didahului pelecehan seksual. Hehe!

“Tidak apa-apa, Bu, ini malah memberi pengayaan dalam batinku,” jawabanku tampaknya membuat ia tidak mengerti.

Buktinya, jidatnya sampai nyureng-nyureng begitu alias berkerut keras. Boleh jadi aku dianggapnya sedang meracau, pengaruh obat. Sudah koclak kalee yeee!

Telah Kuterima Baktimu, Nak.

Ini masih urusan sekitar permeoan, ya, Sodara. Diberi dialet, baru berhenti mencret-mencretnya. Balik lagi ke akar permasalahan, yakni; susah be-a-be. Beuh!

Kembali dokter memberiku campuran antara inpepsa dengan dulkolax. Dampaknya sungguh luar biasa, menyiksa! Aku ingin buang air besar, tetapi tertahan, karena merasa tak leluasa melakukannnya begitu saja. Meskipun telah mengenakan pamper orang dewasa, malah membuatku tak nyaman. Serasa seluruh isi perutku diaduk-aduk!

Beberapa kali aku berusaha untuk turun dari tempat tidur, selalu berujung gagal. Setelah melakukannya kemarin, jalan sendiri ke kamar mandi, entah mengapa kemudian aku merasa tidak percaya diri.

Ini gara-gara pasien di seberangku terjatuh di kamar mandi, terjadi pendarahan, dan diangkut ke ICU kembali. Tidak, aku tak sudi hal serupa terjadi terhadap diriku!

Malam itu, Butet baru saja sampai dengan keringat berleleran dan kudung yang lepek habis. Tentunya langsung meluncur dari kampusnya di Depok.

Ia tersenyum manis, buru-buru cipika-cipiki sepenuh sayang, dan berbisik lembut di kupingku.

“Butet sayang banget sama Mama, mmhuuuuaaa, luuuv!”

Dari balik selimut aku berbaring diam, memandangi wajahnya lekat-lekat. Sebenarnya sambil berpikir keras, bagaimana caranya minta bantuan Butet tentang satu hal yang kutahu persis; sangat tabu untuk dirinya!

Aku ingat, suatu kali cucuku Zein meo di celana waktu sedang main di kamarnya. Betapa hebohnya Butet teriak-teriak minta tolong agar Zein segera diangkut dari kamarnya. Nah, itu anak balita, apatah pula jadinya kalau si Manini ini minta tolong untuk urusan serupa?

“Ada apa, Mom, kok diam-diam…, mencurigakan geto sih?” tanyanya dalam nada riang, bercanda.

“Kira-kira,” kataku bimbang. “Mau tidak, ya, Butet nolongin Mama….”

“Yaelaaah! Memang selama ini Butet tidak pernah nolongin Mama?”

“Ya sih, kalau itu mah tidak perlu diragukan lagi,” tukasku mulai pede untuk segera mengajukan banding.

“Kalau tidak ada Butet tidak tahulah Mama ini jadi apa….”

“Ih, si Mama lucu! Mama ya Mama, nyokap gw paling gaul, paling nyentrik, paling tangguh, pokoknya; paling-palinglah!”

Dia masih ketawa riang, menghampiriku lebih dekat, mengusap-usap pipiku.

“Ada apa sih, Ma? Mo minta tolong apa, coba? Beliin makanan yang enak-enak? Memang kata dokter sudah boleh makan apa saja sih?”

“Ih, bukan soal makanan! Ini soal lain, sepertinya bisa bikin Butet menderita loh, pNak….”

“Mama bikin penasaran saja. Mo minta tolong apaan sih, Ma? Jangan bilang, mau jodohin Butet sama dokter Bona yang kece itu, ya….”

“Bukan, yeeeh, tidaklah! Lagian tuh dokter nonmuslim!”

“Oh, ya wis! Pokoknya demi Mama apapun rela Butet lakuin. Sueeeer deh!”

“Mama mau be-a-be, Nak, coba bagaimana caranya?” Buru-buru aku menohoknya.

“Loh begitu saja repot? Mama kan pake pamper sekarang, ya sudah, di situ saja. Nanti Butet buang….”

“Masalahnya, Mama tidak bisa begitu. Kepingin leluasa, ayo, bantu Mama pergi ke kamar mandi….”

Aku beragak bangkit, kusibak selimut, dan kuhentikan infusan.

“Oh, tidak, tidaaak!” Butet terlonjak, mengira aku akan nekad turun dari tempat tidur. “Nanti Butet panggilin susternya, ya….”

“Jangan! Jam segini mereka lagi buka puasa. Pokoknya, sebisa mungkin kalau masih mampu kita lakukan, jangan minta tolong mereka. Oke?”

Aku sudah duduk di tepi pembaringan, dan Butet di sebelahku, tangannya merangkul bahu-bahuku. Beberapa jenak kami terdiam, mata kami bisa melihat langit dari jendela tingkat lima. Sambil bisik-bisik kami merencanakan eksyen.

Ringkasnya, pispot ditaruh di tempat tidur dan aku mendudukinya. Kalau sudah beres, Butet akan mengangkut pispot itu dan membersihkannya di kamar mandi.

Seringkas dan sesederhana itukah? Kenyataannya tidaklah demikian. Aku memerlukan waktu cukup lama untuk bisa mengeluarkan “hasrat dan hajat” yang telah tersimpan selama 10 hari. Ya, 3 hari pra operasi dan 7 hari setelahnya, dikurangi sedikit waktu diare.

Butet sampai tiga kali harus bolak-balik mengangkut pispot itu, dan tiga kali pula membersihkannya. Aku bisa mendengar suara air pancuran digelontorkan, bunyi heboh dari kamar mandi.

Kemudian agak lama barulah kunampak anakku yang kelelahan, napasnya terengah-engah dengan cucuran keringat. Ops, bukan cucuran lagi melainkan banjir peluh!

Ah, Butet, putriku yang solehah dan sangat berbakti!

Ketika usai sudah urusan menguras isi perut itu, kelegaan menguasai diriku, serasa seluruh penyakit ikut terbuang.

Butet tampak lungkrah, menggeloso saja di lantai, mengganti kudungnya yang basah, kemudian perlahan menyemprotkan parfum ke sekitar kami. Sempat terlintas di benakku, ini kezalimanku terkini; aku telah berbahagia di atas penderitaan anakku!

Lama kucermati wajahnya yang tak bisa kujabarkan, mungkin itulah perpaduan antara ketulusan dengan kemerdekaan. Ya, tentu saja ia baru merdeka dari penjajahan rasa jijik yang selama hidupnya telah menjadi momok mengerikan.

Merdeka, Butet!

“Coba sini, Nak,” aku menggapainya, dan ia bangkit dari pojokannya.

Tanpa perlu kuucapkan, ia seperti memahami keinginanku, membantuku turun pelan-pelan, hingga kami bisa bersisian berdiri di jendela. Baru kusadari, betapa beruntungnya aku ditempatkan di sudut ruangan yang dekat dengan jendela.

Langit yang bisa kulihat itu selalu mengingatkanku, di luar sana masih ada suatu kehidupan. Ada banyak manusia yang kondisinya jauh lebih nestapa dibandingkan dengan kondisiku.

Berita terakhir yang kuingat tentang pasien kanker ganas dari luar Jawa. Karena tak mampu, ia tidak bisa melanjutkan pengobatan, kemudian dipingpong dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Akhirnya ia meninggal di tengah perjalanan dalam keadaan mengenaskan; ada benjolan sebesar kelapa muncrat dari rahimnya!

Beberapa saat tak ada yang berbicara, mata kami, pikiran kami, dan hati kami seolah menyatu; menikmati pemandangan di bawah sana. Tampak lapangan parkir dengan mobil-mobil bagus, tepat di bawah kami. Seolah ingin mengesankan bahwa gedung baru rumah sakit ini dikelola oleh para eksekutif profesional yang dimiliki negeri kita. Tak jauh dari situ, tampak pula sebuah kali dengan airnya yang butek, jorok dan kumuh, menampung segala limbah dari gedung-gedung megah di sekitarnya.

“Potret metropolitan yang kontradiktif, ya Nak,” gumamku memecah hening.

“Hmm, begitulah Ma,” gumamnya terdengar menggantung.

“Apa yang Butet pikirkan sekarang?” tanyaku ingin tahu.

“Butet bahagia, akhirnya lihat Mama bisa berdiri. Mama bisa sehat lagi, ya kan Ma?”

Kurasakan tangannya merangkul bahu-bahuku dengan erat. Betapa ia ingin menjagaku, tak sudi membiarkan diriku terjatuh atau terganggu oleh siapapun, sedikit pun tiada sudi!

“Insya Allah, harus bisa! Doakan Mama selalu, ya Nak, ya? Terima kasih, ya Nak, sudah banyak direpotkan sama Mama….” Air mata mulai merembes dari sudut-sudut mataku.

“Yaelah, itu mah tidak seberapalah, Ma. Eh, tahu tidak, waktu Butet nunggu Mama di ICU, baru kepikiran tuh. Pasti Mama menderita banget pas mengandung Butet dulu, ya?”

“Kalau begitu, impas dong nih, ya?” candaku, cengiran sambil kuhapus air mata dengan ujung jilbabku.

“Tidaklah, Ma, pastinya Butet lebih banyak lagi sudah ngerepotin Mama. Makasih, ya Ma, dulu sudah berjuang demi melahirkan anakmu ini. Mmuuuah!”

Ia mengecupi pipi-pipiku dengan segala ketulusan dan rasa sayang yang dimilikinya.

Aku masih bisa merasai pipi-pipinya membasah, sisa-sisa air matanya, ya, ternyata diam-diam ia pun menangis. Artinya, dalam diam sambil menatap pemandangan di bawah itu, kami sesungguhnya telah menangis bersama. Tak ada yang bisa terucapkan lagi dari mulutku yang mendadak kelu, dibelenggu haru sekaligus bangga.

Aku merasa, inilah saat-saat di mana kami merasa begitu dekat, begitu akrab, dan begitu saling memahami, sehingga tiada batas lagi, tiada jarak pula akan posisi kami, antara ibu dengan anak.

Terima kasih, Tuhanku, Engkau telah memberiku seorang anak perempuan seperti Butet. Bila dikumpulkan seluruh bangga dan nikmat yang pernah kurasai sepanjang hayatku, maka kurasa inilah puncaknya; bangga dan nikmat-Mu itu!

 

 

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur