Curhat Seorang Guru PAUD
Oleh: Widianingsih, M.Ag
Mas Menteri yang terhormat, perkenalkan saya Widianingsih seorang ibu 3 anak serta pemilik PAUD Inklusi Bukit Pelangi dan SD Inklusi Azaddy Al-Ghozali di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Juga mengelola Sekolah Inklusi Salsabila di Purwakarta Jawa Barat.
Mas Menteri yang baik hati,
Kekhawatiran saya hari ini bukan lagi soal makanan sederhana seadanya yang setiap hari kami makan, juga bukan perkara kami para guru sepertinya tak akan bisa membeli baju lebaran.
Mas Menteri,
Kekhawatiran kami juga kegalauan kami adalah jika wabah covid-19 ini tak kunjung berlalu, sekolah di rumah diperpanjang sampai batas waktu yang tak tentu. Maka bagaimana nasib murid kami, orangtuanya serta kami para gurunya yang harus melakukan pembelajaran daring.
Mas Menteri,
Mmungkin bagi siswa SMP, SMA atau mahasiswa pembelajaran daring tak terlalu membuat gundah, namun bagi murid kami yang masih usia dini tentu ini sangat menyayat hati.
Mas Menteri,
Tak jarang guru yang kebingungan karena target kurikulum dan penilaian harus dilakukan seperti biasa padahal keadaan ini sungguh tak biasa. Akhirnya karena anak usia dini tak mungkin mengaktifkan berbagai aplikasi daring sendiri tentu orang tua yang direpotkan oleh kebijakan ini.
Belum lagi tugas segambreng dari para guru yang harus dituntaskan pada saat itu, karena guru pun harus laporan kepada Kepala Sekolah juga Dinas Pendidikan bahwa program pembelajaran daring terus berjalan. Tak jarang RPPH dari guru dibagikan kepada para orangtua yang bertugas menuntaskan itu semua di rumah.
Tak terbayang tugas-tugas yang banyak dari guru lain untuk kakak-kakaknya yang sama-sama belajar daring di jam dan hari yang berbarengan.
Mas Menteri,
Guru-guru sekolah swasta kini galau sekali, tak tega menagih uang SPP kepada orangtua karena mereka sendiri yang mengajari anandanya di rumah. Namun jika tidak guru pun perlu honor itu untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Mas menteri,
Guru sudah merasa malu menyuruh orangtua melakukan ini itu, memindahkan jadwal sekolah ke rumah dengan berbagai tutorial dan penjelasan via grup WA, meminta laporan berupa foto juga video bahwa muridnya melaksanakan semua tugas itu di rumah demi penilaian didalam buku laporan perkembangan. Namun apalah daya tuntutan dari atasan guru harus melakukan pelaporan.
Mas menteri,
Bukankah ditengah wabah, target kurikulum tak harus dituntaskan seperti biasanya, agar guru tak melulu menuntut orangtua dan muridnya di rumah sekedar menggugurkan kewajiban dengan mengirim berbagai laporan?
Mas menteri,
Bukankah belajar banyak cara dan pendekatannya? Banyak media dan sistem penilaiannya? Bagaimana dengan orangtua yang tidak mampu? Jangankan untuk membeli quota internet, untuk makan saja mereka musti mengencangkan ikat pinggang apalagi saat ini bahan kebutuhan pangan tak semurah biasanya. Bagaimana dengan orangtua yang harus menjadi garda terdepan mengatasi wabah ini? Mereka bahkan rela meninggalkan keluarga demi mengabdi kepada Bangsa dan Negara? Sedangkan jika tak tuntas melaporkan tugas yang dikirim guru untuk anaknya mereka akan mendapat label “tak mendokumentasikan kegiatan”, “kegiatan tak sesuai RPPH”.
Mas menteri yang baik hati,
Saya sebagai praktisi pendidikan anak memohon kebijakan dan kemurahan hati mas Menteri agar proses kegiatan belajar di rumah dikembalikan pada kurikulum setiap keluarga, bukan kurikulum nasional. Sehingga guru bisa melakukan penelitian serta akan banyak berdiskusi dengan para orangtua bagaimana proses belajar di setiap rumah menjadi modal kuat bagi masing-masing keluarga untuk semakin saling mencintai dan menyayangi, bersama-sama saling menguatkan melalui ujian wabah covid 19 ini.
Mas menteri,
Dengan begitu orangtua dan guru adalah tim yang saling bahu membahu membantu anak cinta belajar, senang belajar, belajar sepanjang hayat, belajar dari buaian hingga liang lahat, membangun anak-anak yang mencintai ilmu agar bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Salam hormat
(Shared Komunitas Guru PAUD)