Pilihan Politik
Oleh : Pipiet Senja
Anno 1 Mei 2020
Aku memasuki wilayah DKI Jakarta era peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dibawa sekeluarga oleh ayah sang prajurit. Itu terjadi di penghujung 1968, saat sistem siswa/siswi di Indonesia dinyatakan jauh ketinggalan dibanding negara berkembang lainnya. Maklum, saat itu para pemimpin kita hanya sibuk urusan politik, korupsi dan perebutan kekuasaan. Sementara tatakenegaraan masih labil.
Memasuki masa remaja duduk di bangku SMA kelas dua, 1974, penulis untuk pertama kalinya punya KTP DKI, berhak ikut memilih dalam Pemilu. Karena keluarga ABRI, diwajibkan memiih Golkar secara diam-diam, aku ikut saja apa kata Bapak.
Era Suharto pun dimulai sejak terpilihnya mantan Pangkostrad sebagai Presiden RI ke-2. Selama Orde Baru, keluargaku terbilang banyak diuntungkan. Dari tujuh bersaudara, hanya aku yang tidak sarjana, selebihnya bisa meraih titel sarjana berkat beasiswa Supersemar.
Bapak sebagai pejuang 45, jabatan terakhir Kepala Biro Matdam Kodam V Jaya; Mayor CHB SM. Arief, dianugerahi Bintang Ekapaksi dan Bintang Gerilya. Dengan status itulah adik-adik berhak beroleh beasiswa Supersemar.
Pada masa kepemimpinan Sang Smiling General ini pula, aku sempat dimakmurkan dengan program buku Inpres. Sejumlah buku cerita anak-anak karyaku dibeli Inpres. Sama sekali tanpa harus suap sana-sini, melainkan gol begitu saja melalui penerbit Margi Wahyu. Berikut penulis senior seperti K. Usman, Darto Singo ayahnya Anggun.
Dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya secara terus-menerus aku dan keluarga sebagai pemilih Golkar. Hingga Bapak pensiun dan keluarga selama itu tinggal di Cimahi, menyebabkan kami memiliki dua KTP, DKI dan Cimahi.
Setelah menikah 1981, aku diboyong ke kawasan Depok. Ada satu masa di mana aku terpaksa Golput, disebabkan heboh rumah tangga yang amburadul alias berantakan. Sehingga aku nomaden, kadang tinggal bersama keluarga di Cimahi, kadang pula di Jakarta, dan beberapa kota di Jawa Barat.
Tahu-tahu aku melihat Bapak telah beralih sebagai pendukung PPP, bukan lagi Golkar. Hingga akhir hayatnya 1991, Bapak tetap menyuarakan aspirasinya melalui partai berlambang Ka’bah. Selain bertambah kuatnya mendalami keislaman, pengabdian terhadap masyarakat pun berlandaskan keyakinannya. Sementara adik-adik terpecah belah. Ada pendukung PAN, PPP dan Golkar.
Aku masih Golput sampai memasuki era reformasi dengan munculnya berbagai partai baru. Saat ini aku memiliki KTP Depok, tinggal di pinggiran kota menempati rumah “mewah” dan “mebur” alias mepet sawah dan mepet kubur.
Tahun demi tahun pun berlalu. Terhitung 2012, aku meninggalkan Depok dan kawasan Jawa Barat tercinta. Demi memudahkan pengobatan di RSCM dengan JKN, terpaksa harus alih KTP ke DKI kembali. Dengan demikian aku berhak, boleh ikut Pilpres dan Pilgub sebagai warga DKI. Saat PilPres meskipun sudah KTP DKI, tetapi panggilan memilihnya masih di kawasan Depok.
Kali ini aku sebagai pendukung PKS saat Pileg, tetapi saat Pilpres memilih pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Eng ing eng…. Serius banget nih menulisnya, Mbakbrow!
Tiba saatnya aku terseret dalam hiruk-pikuk, gonjang-ganjing Pilgub DKI. Ketika Pilgub sebelumnya, aku sedang keluyuran di mancanegara alias Berkelana Dengan Buku, mentoring para TKI di Hongkong, Macau, Malaysia, Singapura, Taiwan dan beberapa negara Timur Tengah. Alhasil sama sekali tidak ikut Pilgub pertama kali tersebut, tahu-tahu telah ngejogrok saja Jokowi sebagai DKI1 dan Ahok DKI2. Begitu ringkas waktu berlalu, tiba saatnya Pilpres, eh, ndilalah, berkat kecurangan, terpilihlah Jokowi sebagai RI1 dan Jusuf Kalla Wapres.
Empat tahun kemudian tibalah Pilkada. Kali ini aku sudah membaur dengan BEMI, Barisan Emak-Emak Militan Indonesia. Kami ikut berjuang dalam senyap demi mendukung Anies Baswedan. Kami pun heboh di medsos. Menyuarakan dukungan dan mengkampanyekan Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Diawali dengan aktif bersama Barisan Ganyang PKI yang dipimpin sahabatku, Ustad Alfian Tanjung. Saat itulah pertama kalinya aku Orasi di atas Mokom FPI.
Lanjut gabung dengan emak emak dari Kampung Akuarium. Menyuarakan ketakadilan yang menimpa warga korban reklamasi Ahok.
Ternyata sangat ngeri-ngeri seru sebagai aktivis, relawan ikhlas. Tanpa berharap pujian, apalagi bayaran macam para BuzzeRP. Preeeet!
Penasaran kan bagaimana ngeri ngeri sedap, eh, serunya?