Oleh : Syatiri Matrais, Lc. MA.
Ada seorang kakek datang ke dokter untuk berobat karena demam tinggi. Sesampainya di klinik, Si kakek tua langsung minta disuntik. Hal yang lumrah, kebiasaan masyarakat awam jika berobat ke dokter harus disuntik. Dia tidak mau diberikan obat dan bersikeras minta disuntik. Namun dokter tidak berani melakukan tindakan itu, karena suhu badannya sangat tinggi. Posisi dokter sangat dilematis. Ketika dia memberikan resep obat, si kakek tidak mau. Tetapi kalau disuntik menyalahi kode etik kedokteran terhadap pasien karena memasukkan obat ke dalam suntikan, sementara kondisi pasien demam tinggi, tidak baik bagi tubuhnya. Akhirnya untuk menuntaskan persoalan tersebut, dokter menyuntikkan kakek tetapi dengan jarum suntik yang berisikan air putih, bukan obat. Setelah diberikan suntikan sang kakek merasa nyaman. Dokter tidak memberikan obat, hanya menganjurkan kepada si kakek untuk istirahat dan makan yang bergizi. Ketika sampai di rumah, ternyata sang kakek tidak merasakan demam lagi dan badannya kembali sehat.
Itulah sugesti dalam diri kakek. Keyakinannya mengalahkan sakit yang ada di dalam tubuhnya. ‘Sugesti’ sebuah kata kunci. Si kakek sembuh dari penyakitnya bukan karena obat melainkan karena sugesti. Sugesti lebih ampuh dari obat itu sendiri.
Dalam istilah kamus Bahasa Indonesia, sugesti adalah proses psikologis seseorang membimbing pikiran, perasaan, pengaruh yang dapat menggerakkan hati seseorang atau dorongan yang dipengaruhi keyakinan yang kuat. Si kakek begitu kuat pikirannya, dia melakukan sugesti bukan kepada orang lain, tetapi kepada dirinya sendiri. Keyakinan ini melebihi pengaruh luar dari orang lain. Minum obat bagi si kakek sebanyak apapun tidak akan sembuh kalau tidak disuntik. Penyuntikan dirinya menjadi sebuah kekuatan bagi kesembuhan penyakitnya, bukan obat yang diminta.
Dalam istilah ulama sugesti demikian dikenal dengan ‘tsiqoh’, yaitu sebuah kepercayaan dan keyakinan yang penuh terhadap sesuatu hal.
وجاء في فيض القدير : (قال ابن أبي جمرة: معنى (ظن عبدي بي): ظن الإجابة عند الدعاء، وظن القبول عند التوبة، وظن المغفرة عند الاستغفار، وظن المجازاة عند فعل العبادة بشروطها تمسكاً بصادق وعده، وقال أيضا: لا يعظم الذنب عند الحاكم عظمة تقنطك من حسن الظن بالله، فإن من عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه، لا صغيرة إذا قابلك عدله، ولا كبيرة إذا واجهك فضله.
Dalam kitab “Faidh Al Qadir” adalah Ibnu Abi Jamrah berkata, makna “ظن عبدي بي” adalah pandangan ijabah dalam doa, pandangan diterima dalam taubat, pandangan diberikan ampunan ketika beristigfar, pandangan balasan ketika melakukan ibadah dengan teguh keyakinan akan kebenaran janji Allah. Ibnu Abi Jamroh menambahkan dalam kitab yang sama.
Dosa besar yang membuat kamu putus harapan di sisi Tuhan tidak akan menjadi besar dari karena pandangan baik kamu kepada Allah SWT. Karena orang yang mengenal Allah, sejatinya dosa dosa nya akan kecil dalam kemuliaanNya. Tidak ada dosa kecil jika Keadilan Allah menghampirimu dan tidak ada dosa besar jika anugerah Allah menjumpaimu.
Banyak peritsirwa telah digambarkan dalam Al Qur’an tentang tsiqah yang menjadi sebuah keyakinan kuat dalam melakukan sesuatu.
Nabi Ayyub as, contohnya. Dia adalah seorang nabi yang mendapatkan ujian dari Allah begitu berat dengan penyakit yang tidak kunjung sembuh dideritanya. Allah SWT kemudian memberinya ujian berupa penyakit. Seluruh badan Nabi Ayyub as menjadi gatal, koreng yang mengeluarkan bau tidak sedap sehingga dia dijauhi oleh orang-orang. Nabi Ayyub kemudian mengungsi bersama istrinya Rahma, yang setia dan sabar merawatnya. Kebutuhan sehari-hari hidupnya dengan menjual perhiasan yang ada, karena memang awalnya nabi Ayyub as seorang yang kaya raya. Namun lama kelamaan harta bendanya habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Saat ujian mencapai klimaksnya, Nabi Ayyub ditinggakan seorang diri, karena istrinya meninggalkan dirinya, lantaran tidak kuat hidup satu atap dengan suami yang menderita sakit menahun. Di kala sendiri, Nabi Ayyub berdoa kepada Allah memohon agar disembuhkan dari penyakitnya, al Quran Surat Al-Anbiya ayat 83 yang mengabadikan munajatnya.
: وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ ۚ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”
Melihat kesabaran nabi Ayyub as, Allah memerintahkan nabi Ayyub agar menghentakkan kakinya di atas tanah. Dalam Quran Surat Shaad ayat 41-44 Allah SWT berfirman:
: وَاذْكُرْ عَبْدَنَآ اَيُّوْبَۘ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الشَّيْطٰنُ بِنُصْبٍ وَّعَذَابٍۗ
اُرْكُضْ بِرِجْلِكَۚ هٰذَا مُغْتَسَلٌۢ بَارِدٌ وَّشَرَابٌ
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhannya, sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan dan bencana.’ Allah berfirman, ‘Hentakkan lah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.”
Setelah air itu keluar dari bawah tanah bekas injakan nabi Ayyub as, maka Ayyub as mandi dan minum air itu. Seketika penyakitnya sembuh dan kembali tubuhnya begitu bagus hingga istrinya menyesal meninggalkan nabi Ayyub as. Kesembuhannya bukan karena obat tetapi keyakinan yang kuat akan perintah Allah hanya dengan menghentakkan kaki di atas tanah. itulah yang menjadi sebab kesembuhan penyakitnya.
Tsiqah atau sugesti nabi Ayyub muncul dari berpikir, hati dan jiwa mengakui sepenuhnya akan kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Ikhtiar hanya sebuah usaha menggapai rahmat Allah. Dia yang menurunkan penyakit, Dia pula yang menyembuhkan. Sebab itu cara terbaik adalah berdoa memohon dan meminta kepadanya.
Perasaan takut, cemas dan was-was , saat ini menghantui jiwa. Allah uji manusia dengan sedikit cobaan, merebaknya virus Copid-19. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, namun virus Corona belum mereda.
Inabah (kembali kepada Allah) sebuah jalan terbaik, mungkin penyakit ini sebuah jalan terjal menggapai kenaikan tingkat dan derajat manusia. Atau mungkin cobaan, ujian yang harus disikapi dengan kesabaran. Penyucian dosa yang telah diperbuat (takfir ad dzunub) menjadi kesempatan berharga, mensedikitkan timbangan kesalahan dan kezaliman hamba pada Tuhannya Yang Maha Mulia.
Kekuatan doa mesti ditancapkan dalam menghala serangan Corona. Dalam doa dikuatkan dengan tsiqah sebagai penjaga dan penguat. Nabi Ibrahim as, berdoa agar api menjadi dingin ketika dirinya dibakar. Ibu nabi Musa as menghanyutkannya disungai karena sebuah keyakinan akan kebenaran seruan Allah. Siti Maryam ketika tubuhnya melemah saat melahirkan, tidak punya daya dan kekuatan, namun Allah perintahkan untuk menggoyangkan pohon kurma dengan tangannya yang lemah, ternyata berjatuhan buah kurma sebagai asupan makanan ketika tubuhnya melemah. Peristiwa itu, seluruhnya adalah sebuah ikhtiar dan doa yang di dalamnya tsiqoh. Saat ini waktu yang tepat menerapkan tsiqah dalam doa kita. Wallahu A’lam.