Anak Tantrum
Oleh : Pipiet Senja
Anno 26 April 2020
Memasuki pekan 9 sudah kita #Dirumahsaja. Ada banyak peristiwa yang terjadi dalam dua bulan terakhir. Selain kian sulit untuk mendapatkan pemasukan alias dana, dampak wabah yang paling rentan bikin stres adalah: jenuh!
Qania dari hari ke hari mulai sulit dibujuk untuk sekolah alias belajar di rumah. Mulai ketinggalan mengisi tugas tugasnya. Kutahu teman temannya pun mengalami hal serupa. Mama mereka mulai mengeluh kejenuhan anaknya masing masing. Kami ortu berinteraksi melalui Grup WA.
Pagi itu sudah disiapkan buku Mapel yang harus diisi. Qania malas-malasan di kasur tipis depan tipi.
“Ayo cantik jelita anak solehah, mandi yuuuk!” bujukku.
“Gak mau!” sahutnya tegas.
“Sepedahan dulu?”
“Gak, ah, maleees!”
“Teman-temanmu sudah duduk di meja belajarnya. Bu Guru minta foto anak-anak. Ayo, kita mandi saja dulu. Nanti pake baju bagus difotoin,” bujukku tak mau menyerah.
Qania bangkit dari kasur tipisnya.
“Iyalah, tapi mandi bareng ya sama Mami?”
Kemudian seketika dia teriak-teriak panggil maminya di atas.
“Lagi rapat dulu. Sama Manini saja ya, Sayang,” sahut maminya sambil melongok di ujung tangga.
“Begitu terus Mami, iiih!” Qania cemberut.
Setelah kubujuk mau dibelikan cokelat kesukaannya barulah dia mau mandi. Terpaksa aku mandi lagi untuk kedua kalinya.
Ba’da zuhur dia minta buka segelas susu. Dilanjutkan puasanya. Biarlah setengah hari puasa. Aku ingat baru bisa beres puasa kelas 4. Karena sering sakit jadi dilarang puasa oleh orangtua. Jelang Maghrib kami menanti waktu berbuka. Qania asyik terus dengan gadgetnya.
“Matikan ya sayangku. Manini mau dengar azan. Lagian mandilah ini sudah mau Maghrib,” bujukku.
“Gak mau!”
“Kalau bantah terus nanti hapenya diambil Mami loh. Mandilah, ayo!”
Aku mematikan hapenya yang menayangkan video entah apa. Nyanyi gak karuan begitu. Begitu dimatikan hapenya nih bocah kontan ngamuk. Hapenya diambil dan digetok-getok ke bangku belajarnya. Kemudian banting-banting barang. Bahkan laptopku yang baru instal Office kemarin, loncat dari meja kecilku. Aku terkejut setengah mati. Hanya bisa duduk terdiam beku. Adzan terdengar sayup sayup.
Astaghfirullahal adhiiiim, kali ini aku berbuka sambil berlinangan airmata. Tak sanggup meredakan amuk cucuku. Entah diapakan sama maminya dibawa ke kamar mandi. Baru tersentak ketika terdengar teriakan Qania. Memanggil manggil Manini. Perlahan kurapikan semua barang yang dibanting, berantakan. Gorengan mecleng entah ke mana, kolek tumpah.
Ya Robbana.
Begitu mudah iblis merasuki otak bocah. Kuserukan ayat Kursyi dalam hati. Hanya ini senjataku menghadapi apapun.
“Sudah, jangan biarkan kamu ikutan amuk,” tegurku kepada anakku.
Sepertinya sudah memandikan anaknya secara ngawur. Kuraih Qania dan menyelimutinya dengan handuk.
“Psssst, istighfar ayo, astaghfirullahal adhiiiim,” bisikku di kuping gadis kecilku.
Ia menggigil dalam pelukanku. Seperti sesak dan tak bisa bicara, senggukan. Segera kuberikan minuman hangat yang sudah kubacakan ayat ayat suci, kudoakan.
Usai sholat kupeluk Qania sambil kubacakan terus menerus doa penyinglar setan. Sampai ia berhenti senggukan dan mulai bisa bicara.
“Minta kayuputih, Manini….”
“Iya, sini Manini balur badanmu.”
Setelah tenang dia minta makan. Roti bakar dengan nutella.
“Maafin Qania ya, Manini. Sudah bikin laptopnya loncat. Gak apa apa kan?”
“Gak nih mau lanjut edit. Alhamdulillah selesai. Mau disetor ke Mbak Ekadeffa.”
Kukira dia mau tidur bersamaku. Pukul delapan malam dia bilang,”Manini, mau tidur di atas. Qania mau minta maaf sama Mami….”
Ketika aku tulis curhatan ini malam semakin merangkak. Aku buka internet. Mencari artikel tentang anak yang suka amukan. Ya Allah, masa anak tantrum harus dibawa ke psikiater?
Bagiku tetap hanya akan memohon langsung kepadaNya. Meruqiyah siapapun yang suka amukan.
Pengalaman masa lalu sebagai korban KDRT. Semoga Qania menjadi anak solehah, bijak dan tidak bangkang kepada orangtua.