Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary, MA
Viral di pemberitaan media sosial baru-baru ini, sejumlah gerakan sosial dari pihak oknum non-muslim yang membagikan sejumlah bantuan berupa nasi bungkus yang dibagikan terhadap warga muslim di Jakarta Utara. Ironinya, pada bungkusan nasi bungkus tersebut berstempel logo gambar kepala anjing dan tulisan: “Nasi anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing.”
Islam jelas mengharamkan umatnya mengkonsumsi anjing dan segala sesuatu yang berhubungan dengan anjing. Semiotika hewan anjing bagi umat Islam adalah sesuatu yang bersifat sangat sensitif. Bahkan, anjing dalam pandangan Fiqh saja dipandang sebagai najis Mughaladzah, najis berat.
Meskipun, pihak yang dikonfirmasi menyatakan bahwa makanan itu halal dan bukan daging anjing, namun sebagai seorang muslim, tentu kita tidak bisa menerima perlakuan sikap seperti itu. Jika klarifikasi dari pihak mereka yang menamakan nama nasi “anjing” itu sebagai simbol kesetiaan, bukankah ada simbol lain yang lebih elegan, misalnya burung merpati?!
“Bukankah anjing itu hanya setia terhadap siapa saja yang memberinya tulang? Atau kepada yang merawatanya/majikannya? Bukankah sifat anjing itu penjilat dan mudah dibeli oleh orang yang memberinya makanan?..”
Berbeda dengan penamaan nama nasi kucing, itu jelas tidak bisa disamakan. Konotasinya berbeda, bukan dari kuantitas banyak atau sedikit nasinya, tapi dari sosiolinguistik dimana penamaan nasi kucing diberikan penamaannya oleh konsumennya, bukan si pembuatnya.
Ingat, Anda perlu belajar tentang semiotika dan implikasi dari penggunannnya!! Jika masih keukeh dengan penamaan anjing, mengapa tidak diberikan kepada kawanan anjing saja? Kenapa kepada warga muslim?!!
Nah, jika nasi itu disebut “Nasi Anjing”, tentu signal pesan yang ingin dikirimkan oleh si pemberi boleh jadi akan memunculkan stigma bahwa penerimanya adalah kelompok “anjing” yang dalam hal ini apakah warga muslim yang secara ekonomi berada di kelas bawah?!
Jika benar pembacaan bahwa ada pesan semiotika logo kepala anjing tersebut sebagai “hidden message” -nya, maka masyarakat muslim itu dinegasikan sebagai muslim terkebelakang, hina dan lemah.
Dan hal ini jelas akan memunculkan tendensi pelecehan terhadap kaum muslimin secara mayoritas. Lebih-lebih, nasi tersebut dibagikan di bulan Ramadhan, bulan sucinya umat Islam.
Kita yang saat ini sedang sama-sama ditimpa pandemik wabah Covid-19, tentu tidak seharusnya memancing di air keruh. Jika niatnya ingin membantu, bantu saja tanpa harus melibatkan berbagai simbol!! Ini tentu akan meresahkan serta memantik kegaduhan di antara kalangan umat beragama!
Melakukan aksi bantuan sosial dengan penyalahgunaan simbol-simbol yang terkesan melecehkan dan yang pastinya akan menimbulkan polemik, kotraversial serta beragam multi-interpretasi yang jelas akan memicu kegaduhan-kegaduhan baru lagi di negeri ini.
Sungguh kejadian ini sangat kita sayangkan, di tengah mereka yang sedang mengelukan-elukan tentang kebhinekaan dan keberagaman dinodai perilaku oknum seperti ini.
Memang, kita tidak perlu emosi menghadapi berbagai fakta dan fenomena pelecehan dan penghinaan terhadap umat Islam, sebab kemarahan umat Islam kadang hanya sengaja dimanfaatkan mereka untuk memperlihatkan bahwa kita umat Islam yang beringas, mudah tersulut marah, sumbu pendek, kadrun dan berbagai tudingan lainnya.
Meski demikian, sikap elegan dan pembelaan terhadap izzatud-din juga harus ditampakkan bahwa umat Islam tetap menolak segala bentuk pelecehan dan penghinaan. Umat Islam tidak boleh pasrah dan diam saat agamanya dilecehkan.
Islam sangat menghargai toleransi bergama, namun jangan jadikan toleransi sebagai tameng untuk menjadikan umat Islam tidak dapat berdaya dan tidak dapat menunjukkan sikap pembelaan terhadap marwah agamanya.
Tetap tunjukkan sikap protes dan tidak terima, meski tanpa harus menunjukkan rasa marah dan emosi yang meledak-meledak. Kemarahan itu harus kita tunjukkan bahwa kita umat Islam mampu berjaya secara ekonomi.
Bantulah saudara-saudara kita yang muslim yang membutukan makanan, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan bantuan makanan dari pihak mereka yang berbeda agama dan keyakinan yang justru mempersepsikan mereka tak lebih sebagai hewan rendahan. Jangan sampai kita hanya memamerkan dan memposting aneka makanan enak, namun justru melupakan nasib saudara muslim yang tengah kelaparan.
Kembali pada kondisi dimana kita umat Islam hari ini yang selalu tersudutkan dan terpojokkan telah membuktikan kebenaran hadits Rasulullah 14 abad yang lalu.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tsauban, Nabi Saw bersabda:
عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Hampir saja menimpa akan umat Islam, kalian akan dikerubungi sebagaimana makanan yang akan disantap hidangannya. Lantas para sahabat bertanya, “Apakah jumlah kami waktu itu sedikit duhai Rasulullah?”
Rasulullah Saw menjawab, “Bahkan jumlah kalian mayoritas, akan tetapi seperti buih di atas lautan. Sungguh Allah telah mencabut rasa kewibawaan di dalam hati musuh-musuh kalian terhadap kalian umat Islam serta mencampakkan wabah al-Wahn di dalam hati kalian.
Para sahabat kembali bertanya, “Apakah al-Wahn itu duhai Rasulullah?!” Nabi Saw menjawab: “Cinta berlebihan terhadap dunia serta penyakit takut mati.” (Hadits ini terdapat di dalam sunan Abu Daud no. 4297, Musnad Imam Ahmad no. 21890).
Terakhir, saya hanya ingin menutup dengan ucapan mereka yang ingin mengolok-olok kaum muslimin pada surah al-Muthafifin:
فَٱلۡیَوۡمَ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنَ ٱلۡكُفَّارِ یَضۡحَكُونَ
“Maka akan ada hari dimana orang-orang beriman yang akan kembali menertawakan orang-orang kafir.”
Semoga tulisan ini menyadarkan kita betapa tanggung jawab kita sebagai sesama muslim jauh harus lebih besar lagi, sehingga tak akan terulang lagi kejadian pelecehan yang sama terhadap saudara kita sesama muslim.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kalian merasa terhina, dan jangan pula merasa bersedih. Kalian unggul, jika kalian beriman.”
Muslim bersatu, muslim bersaudara, muslim berjaya, Insya Allah.