Sepenggal Kenangan di Hong Kong 2013
Oleh : Pipiet Senja
Anno 21 April 2020
Coba cermati foto di bawah ini, tebak apaan coba? Inilah gambar seekor tumbila alias bangsat atau kutu busuk. Hewan-hewan kecil yang tampaknya imut-imut ini, ternyata banyak berkeliaran di shelter-shelter, penampungan TKW yang tertimpa masalah.
Awalnya sungguh tak percaya, masa iya sih hari gini ada tumbila? Di Hong Kong pula, sebuah negeri yang lebih modern dibandingkan kota-kota besar yang ada di Tanah Air. Mendadak ingat lagu berjudul Tumbila Diadu Boksen karya Sambas, penyiar RRI zaman dahulu kala. Lagu ini ngetop era 1960-an saat penulis masih anak TK Persit Kartika Chandra, Sumedang.
Suatu pagi, akhirnya, makhluk imut-imut yang doyan menghisap darah orang itu ditemukan juga di kamarku, di atas selimut yang ditinggalkan oleh Sastri Bakry!
Keberadaan tumbila ini sering menjadi bahan candaan di taklim Bidadari Fajar. Bagaimana tidak? Coba saja Anda bayangkan, kami sedang khusuk-khusuknya mengikuti ceramah dari Ustadz Ghofur, tiba-tiba lewatlah dengan lemah-gemulainya seekor tumbila genduuuut meeen!
“Tangkap! Tangkaaaap!”
“Minta tisuuuuu!”
“Pssst, jangan dibunuuuuuh!”
“Iya, kasihan, dia juga makhluk Allah….”
Alhasil, konsentrasi ambyaaaar!
Faizah akan berkata dengan lemah-lembutnya, “Teman-teman, ada bagusnya juga kan si tinggi lewat. Kalian yang mengantuk mendadak melek, ikut heboh!” Orang Jawa memang menyebutnya tinggi.
Entah sampai kapan makhluk ini berkeliaran di shelter nan bertebaran di penjuru Hong Kong. Bisa jadi sampai tak ada lagi Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tertimpa masalah, dan terpaksa harus menginap di rumah penampungan.
Dukun Ala Hong Kong: Meramal Nasib Orang dan Mengutuk
Penasaran kan yang unik apalagi di Hong Kong? Oke, lanjut!
Setiap kali ikut jalan dengan Melani atau teman-teman BMI dari shelter Iqro ke pasar Wanchai, aku tak bisa berhenti berdecak, adakalanya terkagum-kagum, tetapi tak jarang malah lantas mengelus dada. Sebagaimana layaknya sebuah pasar tradisional, di mana pun intinya sama saja, tempat untuk belanja dan hilir-mudiknya manusia dengan segala perilakunya masing-masing.
Mungkin, gara-gara daku ini seorang seniman, ya, tukang nulis, meskipun sudah Manini, tetap saja hobi mencermati sekitarnya. Bukan sekadar mencermati memandang begitu saja, melainkan acapkali lama tertegun-tegun, menelisik pemandangan yang menurutku unik atau aneh-nyeleneh.
Nenek ini adalah seorang peramal atau dukunnya ala Hong Kong. Mereka kebanyakan nenek-nenek, beroperasi di bawah jembatan layang dekat pasar Wanchai. Bunyi khas; tuuuuk, tuuuuk, tuuuuuk…. Mengiringi gerak-geriknya dalam menerima klien.
“Aneh juga, ya, orang modern seperti dia masih percaya klenik-klenikan?” gumamku, melihat seorang gadis Hong Kong dengan busana yang sangat trendy, duduk di hadapan sang nenek peramal dengan mimik serius. Mendengarkan!
“Padahal, mereka kebanyakan tak beragama alias atheis,” komentar Melani yang sering mengkhawatirkanku; jangan memotret dengan blitz!
Generasi Lansia: Mandiri atau Disia-siakan
Kalau kita cermati di jalan-jalan Hong Kong akan sering tampak nenek-nenek atau kakek-kakek yang berjalan sendiri. Apakah itu untuk mengamen, mencari nafkah sebagai pemulung, pengamen, tuna wisma ataupun belanja. Intinya, para lansia Hong Kong terkesan harus hidup mandiri atau disia-siakan.
Banyak kisah tentang lansia di Hong Kong yang mengisi hari-hari terakhirnya dalam kesendirian, nestapa, masih untung jika ditempatkan di panti jompo. Jika mereka memiliki anak-anak yang telah sukses dan masih peduli, mereka biasanya diberi apartemen sendiri, ada penjaganya atau seorang pembantu yang khusus merawat si kung-kung dan bobo.
Sepertinya sudah bukan hal yang aneh lagi, jika suatu hari kita menemukan seorang lansia ditemukan telah tak bernyawa, apakah itu di apartemennya atau di pinggir jalan. Hatta, Pemerintah Hong Kong memberi mereka tunjangan sosial sekitar 3000 dolar HK per orang.
Setiap kali bersirobok dengan nenek-nenek atau kakek-kakek yang sedang berjalan seorang diri di tengah hiruk-pikuk lalu-lintas negeri beton, aku selalu tak sadar seketika merandek, mencermati perilaku mereka dan mengelus dada.
Suatu malam saat chatt dengan putriku, kusampaikan kepadanya perihal kehidupan lansia di negeri beton ini. Maka, kubilang pula kepada si Butet: “Butet, Naaak…. Tolong, ya, jangan buang Mama kalau sudah tua dan tak berdaya. Eh, sebelum dibuang Mama pastinya ngibrit duluan ke panti jompo!”