Mengenang Perjalanan Sakitku
Oleh : Pipiet Senja
Anno 17 April 2020
“Ini dokternya, ya Bu, dokter Iin,” seorang perawat mendatangiku siang itu di ruang rawat, RSCM, sebelas tahun silam.
Rupanya ada beberapa tingkatan atau kelas untuk dokter di sini. Dokter Iin (bukan nama sebenarnya) masih di bawah perintah Profesor DR. dr. Haji, demikian julukan konsulenku, karena suka mengenakan peci haji.
Setelah dua hari dirawat, mereka baru memberiku transfusi. Ini sungguh telat, menurutku, sehingga aku sempat mengancam untuk minta pulang saja. Prosedur yang diterapkan dan penatalaksanaan, sering membuat kami kebingungan sekaligus melelahkan. Seperti yang terjadi siang itu, setelah melakoni dua pekan perawatan.
“Ini artinya belum diapa-apakan, ya!” cetus Profesor Haji, sesaat mencermati statusku.
“Eh, iya Prof,” sahut Dokter Iin.
“Coba ulang USG abdomen dan rontgen-nya. Setelah lengkap semuanya baru dikonsulkan ke Alergi untuk vaksinasi. Dua minggu sebelum operasi harus sudah divaksin pneumococus dan influenza.”
“HB dan trombositnya masih tidak stabil, Prof….”
“Oya, coba, maaf Bu, kita periksa dulu.”
Saat itulah tercetus dari mulutku pengakuan bahwa dalam enam bulan terakhir trombosit dan HB-ku sering anjlok. Apakah benar ada indikasi menjadi anemia aplastik?
“Oh, ini limpanya besar sekali…. Empat, lima, ya! Kalau begitu sekalian saja diangkat limpanya, ya Bu?” ujarnya enteng nian.
Degh!
Setelah sejauh itu, melalui puluhan tahun transfusi darah secara berkala, bahkan aku menganggap bahwa para dokter pun mengabaikan soal limpaku. Hanya ada seorang dokter yang pernah menyarankanku untuk splenektomi, sekitar tahun 1998.
Ketika tahun 2001 aku mendapat sumbangan dari teman-teman komunitas penulis FLP, dokter mengatakan tak perlu diangkat limpaku. Jadi kumanfaatkan sumbangan itu untuk mengobati kandung empedu, karena saat itu batunya telah banyak juga. Ternyata laser pun tak mampu menghilangkan timbunan batu di kandung empeduku ini. Nah, mengapa sekarang limpaku harus diangkat juga?
“Karena ini sudah batas toleransi limpa Ibu,” jelas dokter Iin.
“Jadi, bagaimana rencananya nih, Prof?” kejarku.
“Dokter Bedah akan melakukan dua tindakan sekaligus. Untuk lebih jelasnya kita konsulkan ke Bedah, ya Bu.”
Butet sampai melotot mendengar laporanku petang itu.
“Arghhhh…., ini puaraaaah! Buangeetttt!” sergahnya gemas sekali. “Setelah kita berjuang sejauh ini, baru sekarang kita dikasih tahu bahwa Mama harus dibedah dua tindakan sekaligus?”
“Begitulah rencananya. Nah, menurutmu bagaimana?”
“Laaah? Mama yang akan menjalaninya. Kok nanya ke Butet? Terus, apa sudah ditanyakan tidak dampaknya?”
“Tanyakan ke dokter Bedah saja, katanya….”
“Siapa yang bilang begitu?” buru Butet, tampaknya penasaran sekali.
“Dokter Iin,” jawabku lelah juga, kewalahan menjawab serbuan rasa penasarannya.
“Iiiih, Mama ini kenapa tidak jelas sih nanyanya?”
“Aduh!” Aku sungguh tak mau disalahkan. “Butet harus ada dong kalau Mama lagi diperiksa dokter. Tahu tidak, Mama pasien satu-satunya di ruangan ini yang tidak pernah didampingi keluarga kalau ada dokter kepalanya. Segalanya serba sendiri, mewakili diri sendiri, menandatangani ini-itu juga sendiri. Seperti tidak punya keluarga saja, tahu!”
Tiba-tiba emosiku terpancing, kesal dan mulai mengeluh.
“Iiiih! Mama kan tahu sendiri. Butet kalau pagi kuliah. Abang sibuk dengan pekerjaannya. Mama juga sih, kenapa punya suami macam si Papa…..”
“Ah, sudahlah…., cape deeeh!” elakku buru-buru menghindari tekanan, penyesalan dan kesedihan, setiap kali menyadarkan diriku dengan posisiku yang aneh itu.
Posisi seorang istri yang, entahlah, tak ingin kujabarkan lebih lanjut! Aku segera menyadari kerapuhan diri ini. Bukankah aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak mengeluh? Apalagi di depan anak. Ya, aku harus bertahan, harus kuat, harus bangkit! Cukuplah Allah, ya, hanya Sang Maha Pengasih!
Kepada Allah semata aku harus menggapai. Memohon pertolongan, petunjuk dan penghambaan dari segala pengharapan. Aku tak boleh menggantungkan harapan kepada sesama makhluk-Nya. Cukup hanya kepada-Nya, demikian kuyakin-yakinkan terus di dalam jiwa-raga, lahir dan batinku. Hanya Dia pula, Sang Maha Pemberi yang mampu menggelontorkan rezeki dari pintu Langit melalui hati para dermawan, sahabat dan saudara yang kumiliki. Aku tak boleh meragukan ke-Maha Kasih-an Dia!
Karena dianggap pengobatan untuk urusan Hematologi telah selesai, maka aku dipulangkan untuk kemudian dikonsulkan ke bagian Bedah. Di sini terjadi crowded, kekisruhan yang sungguh pabaliut alias silang-sengkarut. Setidaknya demikianlah yang kurasakan. Kami diberi penjelasan tentang prosedurnya. Dikonsulkan ke bagian Bedah untuk minta dijadwalkan operasi: splenektomi-laparaskopi kholelitiasis.
Butet sempat melakukan protes dan bersikukuh, meminta dokter tidak memulangkanku, tetapi memindahkannya ke bagian Bedah di lantai 5.
“Kalau dulu bisa begitu, tetapi sekarang peraturannya tidak demikian. Pasien yang masuk rawat inap harus direkomendasikan oleh poliklinik terkait,” tegas Kepala Ruangan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pulang hari Jumat itu, aku baru bisa ke poliklinik Bedah hari Senin. Ketika tiba saat berkonsultasi dengan dokter Bedah, ternyata tidak bisa langsung mendengar penjadwalan operasi. Aku disuruh konsultasi ke poli Alergi untuk divaksinasi: pneumococus dan influenza. Semuanya ini ternyata memerlukan waktu selama sepuluh hari.
Kepulanganku sekali itu bersamaan dengan kepergian WS. Rendra, setelah beberapa hari sebelumnya kita pun digegerkan oleh kepergian Mbah Surip. Malam itu aku menerima sejumlah SMS dari mereka yang mengaku penggemarku. Isinya antara lain adalah: “Teteh, jangan tinggalkan kami, ya. Umat masih membutuhkanmu.” “Teteh harus sehat kembali, ya, jangan pergi sekarang!” Aku sampai terheran-heran dan mendiskusikannya dengan putriku Butet. Seketika ia terkekeh-kekeh geli.
“Oh, itu! Sepertinya sih gara-gara terpengaruh ramalan Mama Lauren. Dia bilang, kita akan kehilangan empat budayawan senior lagi tahun ini. Semuanya berumur 50 tahun ke atas, dua lelaki dan dua perempuan….”
“Alamaaaak!” decakku kaget sekaligus geli.
“Tenang sajalah. Mom kan bukan seniman, tapi Mom gw yang, eh, nyentrik dikiiiit!” komentar Butet seraya mengecup pipi-pipiku sepenuh sayang.
Sesuatu yang semakin sering dilakukannya terhadapku.
“Yeee…, kalaupun Mama seniman, jangan percaya ramalan begitulah. Mendahului Tuhan namanya tuh!”
“Iya, dosa, tauuuk!”
Selama penantian itu, di rumah aku lebih banyak melakukan istikharah, mempergencar ibadah malam dan menjalin silaturahim. Kaum famili, sanak saudara dan teman dekat yang telah lama tidak jumpa, aku usahakan mendatanginya dan mengabarkan kondisiku, meminta maaf lahir batin serta doa mereka.
Tidak lupa aku pun lebih meningkatkan lagi urusan bersedekah. Selain memenuhi kebutuhan kami sehari-hari dan biaya pengobatan, aku memiliki beberapa tanggungan yang harus kutopang setiap bulannya.
Emakku yang sudah sepuh tinggal di rumah tua di Cimahi, setiap bulan harus kupenuhi kebutuhannya. Demikian pula tiga anak asuh: Amin, Lia dan Nurul. Masih ada pula adik-adik yang sering meminta bantuanku serta satu-dua tetangga.
Andaikan memakai hitungan matematika secara logika, sungguh tak masuk akal bila aku mampu memenuhi semua kebutuhan itu. Berapalah jumlah uang tetap per bulan yang kuterima dari kantor, royalti serta honorarium sebagai pembicara. Sungguh tak sebanding dengan total pengeluaranku per bulannya.
Namun, aku senantiasa berpegang teguh kepada keyakinan dan keimananku. Bahwa setiap sen yang kita keluarkan untuk sedekah tidaklah menjadi sia-sia, sebaliknya akan berlipat-lipat balasan serta pahalanya. Aku telah membuktikannya melalui keajaiban-keajaiban yang diberikan-Nya dalam sepanjang hayatku. Beberapa kali masuk ICU, ruang isolasi, dinyatakan in-coma. Sebanyak itu pula Allah Swt masih meloloskan diriku dari lubang maut.
Ketika aku ingin sekali berhaji yang bagaikan hanya ada dalam mimpi, bahkan orang-orang mencemoohkanku sebagai; manusia yang tidak tahu diri. Seorang dermawan kemudian menghajikanku setelah sebelumnya pun mengumrohkan diriku. Ketika ada kucuran dana di rekeningku dari jamaahnya Ustadz Bobby Herwibowo, yakni majelis taklim Askar Kauny, aku segera membaginya sebagian dengan mereka yang kuanggap lebih membutuhkannya. Ini menjelang bulan suci Ramadhan, pikirku. Semoga bermanfaat untuk saudara-saudaraku.
“Jangan dibagi-bagi begitulah, Mom,” tegur putriku saat mengetahui tindakanku itu. “Kita kan belum tahu persis berapa biaya operasinya.”
“Insya Allah, Nak, semuanya akan terpenuhi atas perkenan Allah,” sahutku tenang.
Akhirnya jadwal operasi kuperoleh juga dari dokter Memet di poliklinik Bedah, yakni 10 September 2009. Seminggu sebelumnya, sebagaimana saran Dokter Iin, seharusnya aku sudah masuk perawatan kembali. Namun, betapa sulit untuk mendapatkan kamar di lantai 5, bagian Bedah. Selama tiga hari berturut-turun aku dan Butet bergantian mendatangi P3RN. Hasilnya: nihil!
“Ini benar-benar ujian Ramadhan buat Butet, Ma. Haus, lapar, dibentak-bentak suster pula. Pokoknya terhina banget, dan semuanya itu sia-sia!” lapor putriku sesampai di kamarku pada pukul sembilan malam. Ya, sudah memasuki bulan puasa, aku pun mencoba shaum, tetapi terpaksa batal karena harus meminun obat-obatan antibiotik dan anti nyeri.
“Iya, ya Nak, bagaimana ini? Tinggal enam hari lagi, Mama belum masuk perawatan kembali. Bagaimana nanti persiapan operasinya, ya?” kesahku pula nyaris putus asa.
Butet mengeloso di lantai kamar, pelan-pelan membuka makanan yang dibelinya dan belum sempat disantap. Meleleh sudah hatiku melihat kelelahannya. Sepanjang hari itu ia harus ujian, mengerjakan tugas kuliahnya pun di jalanan, dan bolak-balik menanyakan kamar untukku ke rumah sakit.
“Maafkan Mama, ya Nak, maafkan Mama,” suaraku tersekat di tenggorokan.
“Mama, jangan pernah minta maaf lagi sama Butet, ya, pliiiis, pliiiis….”
Ia memelukku erat-erat, kemudian menciumi pipi-pipiku sepenuh sayang.
“Ini kweetiauw goreng kesukaan Mama. Ayo, Ma, kita makan bareng, ya,” sajaknya cepat-cepat mengalihkan situasi yang nyaris menguras emosi. Sehingga kepingin rasanya kami berdua menumpahkannya dengan tangisan menyayat. Beberapa jenak kami menikmati makanan berminyak yang seharusnya tak boleh lagi kumakan itu.
Sudahlah, timbunan batu di kandung empeduku telanjur mengkristal, sebentar lagi akan dibuang. Nah, kenapa harus pantang-pantangan pula?
“Besok kita akan datang berdua,” ujarku kembali membuat rencana.
“Mama duluan, ya, pliiiis…. Butet ada ujian sampai pukul 10-an. Kelar ujian, insya Allah Butet akan buru-buru menyusul, oke?”
Ternyata hari itupun kami belum juga berhasil mendapatkan kamar. Petang itu, ketika kami baru saja rebahan sambil menonton televisi, tiba-tiba terjadi gempa. Ya, Jakarta diguncang gempa! Belakangan kami baru tahu bagaimana hebohnya para pasien di gedung baru berlantai 8 itu. Semua pasien dievakuasi, berebutan melalui jalan darurat. Semuanya itu kudengar dari seorang pasien (setelah kembali dirawat), maka seketika aku merasa bersyukur bahwa hari itu kami belum mendapatkan kamar.