Breaking News
Pipiet Senja. Aku sudah terbiasa dengan kritikan tajam. (Foto : Koleksi Pribadi)

Catatan Cinta Lansia (14)

Dalam Semesta Cinta: Memoar Dipuja dan Dihujat

 Oleh : Pipiet Senja

 

Pipiet Senja. Aku sudah terbiasa dengan kritikan tajam. (Foto : Koleksi Pribadi)

Anno 15 April 2020

 Aku telah menerima janji Ustadzah Yoyoh Yusroh untuk memberi endorsement pada buku memoarku; Dalam Semesta Cinta. Endorsenya kupajang di kover depan: “Membaca buku ini membangkitkan semangat kami untuk banyak merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang alpa dari ingatan kami. Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami melalui penamu yang tajam.” (Ustadzah Yoyoh Yusroh)

Buku yang satu ini merupakan gabungan dari tiga buku memoarku yakni; Sepotong Hati di Sudut Kamar, Langit Jingga Hatiku dan Bagaimana Aku Bertahan. Aku memutuskan untuk menggabungkannya, mengingat buku-buku sebelumnya berceceran, tidak dicetak lagi dan (terutama!) masih banyak pembaca yang ingin memilikinya.

 Awalnya kutawarkan kepada sebuah penerbit Islam di Bandung. Editornya langsung menolak dengan dalih; banyak hal yang mengungkap urusan pribadi. Dikhawatirkan bisa menyerempet ghibah, dll.

 Lama aku menyimpannya, kemudian kubawa langsung ke hadapan guru spiritualku, yakni Ustadzah Yoyoh Yusroh. Print-out-nya, kuserahkan kepada beliau agar ikut mencermatinya.

 “Tidak mengapa, Teteh, lanjutkan saja, bagus. Ini saya beri endorsenya,” demikian komentarnya, alhamdulillah, sebuah dukungan yang sangat membangun jiwa!

 Sempat tertunda selama hampir dua tahun di penerbit Zikrul Hakim, sampai aku nyaris menariknya. Akhirnya diterbitkan juga pada 2009 di bawah bendera Jendela, yakni, sebuah divisi yang aku gawangi di Grup Zikrul Hakim.

 Dari email yang masuk ke inbox pipiet_senja@yahoo.com begitu banyak yang menyukainya. Rata-rata menyatakan tercerahkan, terinspirasi dan merasa harus bersyukur sesaat menamatkan Dalam Semesta Cinta.

 “Selama ini aku terlalu manja sebagai seorang istri. Sering mengeluh dan mencurigai suami. Padahal, suami baik sekali, semua penghasilannya diserahkan kepada saya,” kata Maryani, seorang ibu muda, teman mengaji.

 “Sungguh saya merasa tergedor, dan diingatkan dengan buku Teteh. Agar saya merubah perilaku, dan bersyukur dengan segala kesenangan, kemudahan yang kami miliki. Terima kasih, ya, Teteh, mhuuuuaaaa, panjang umur Teteh. Ummat masih membutuhkan pencerahan dari penulis sekaliber dirimu: Luv Full!”

 Jujur saja, aku merasa lega dan sukacita dengan email serupa dari pelosok Tanah Air bahkan mancanegara. Ini menambah semangatku untuk semakin banyak belajar, menyiapkan karya-karya yang lebih bagus, lebih indah, lebih menginspirasi dan lebih mencerahkan lagi.

 Suatu kali pada sebuah forum sastra di Taman Ismail Marzuki, tiba-tiba ada seorang penyair perempuan, sengaja memintaku agar mendengar kritikannya yang tajam, melukai, perihal Dalam Semesta Cinta.

 “Jadi, Anda itu seorang perempuan yang durhaka! Karena sudah menjual urusan pribadi, kemudian Anda mendapatkan duit dari sini, dan memberi anakmu makan dengan hasil penjualan bukunya. Durhaka dan dosa besar! Harus secepatnya taubatan nasuha!” cerocosnya tak terbendung lagi.

 Aku sudah terbiasa dengan kritikan tajam dan masuk akal tentang karyaku di forum atau komunitas, bahkan sejak remaja telah kualami hal demikian. Namun, jika diberondong dengan kata-kata pedas, bahkan bernada menghujat demikian, ya, baru kali inilah kuterima.

 Dengan menahan segala perasaan, terkejut campur marah sekaligus sedih sekali, kubiarkan saja dia meracaukan kata-katanya. Ternyata semakin kubiarkan dia malah tampaknya semakin berani. Suaranya semakin lantang, bisa terdengar ke mana-mana. Sehingga beberapa rekan menghampiri, bergabung dan penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi.

 “Tenang Mbak, ayo, kita sholat, sudah waktunya nih,” ajak seorang rekan seraya menghela tanganku. Tubuhku serasa limbung saat keluar dari ruangan itu.

 “Itu, kira-kira ada apa ya dengan beliauwati?” tanyaku, berusaha menyembunyikan perasaan dengan bercanda.

 “Entahlah, Mbak, mungkin suteres. Hehe!”

 Selain ambil wudhu, aku pun membasahi kepalaku, sehingga lumayan basah-kuyup ketika keluar dari kamar mandi. Tampak dia masih penasaran dan belum puas memaki-maki (bukan karya!) pribadiku. Namun, aku tak memedulikannya lagi.

 Biar bagaimanapun aku tetap mengambil sisi positifnya saja. Mungkin saja ada benarnya sebagian omongannya itu. Bahwa aku selalu menjual lakon peri kehidupanku, menjadikan sumber penghasilan, dan sebagian besar uangnya memang kugunakan untuk keperluan sehari-hari; termasuk makan kami sekeluarga.

 Nah, apakah aku harus dicap sebagai perempuan durhaka, berdosa besar dan harus taubatan nasuha karena hal ini? Biarlah, hanya Sang Maha Melihat yang lebih mengetahui apa yang ada di hati kita. Bukankah begitu?

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur