Nenek, Anak dan Cucu
Oleh : Pipiet Senja
Anno, 2020
Masih bulan April, ini hari ke 25 sejak diberlakukan #dirumahaja. Pekerjaanku selain menulis, sekarang bertambah jadi guru cucuku, Qania. Plus tukang masak secara penuh. Artinya mulai mengatur belanja sembako melalui online. Pesan sayur dan buah serta ikan melalui WA anak abang sayur.
Lanjut masak apa nih hari ini? Karena sudah ragu anakku dengan GoFood. Apalagi Manini memang kalau tak terpaksa banget nyaris tak mau pesan makanan dari luar.
Awalnya kutanyakan dulu anak cucu, mau dibuatkan apa? Tapi seiring waktu mereka ternyata akan melahap apapun masakanku. Alhamdulillah.
Pipi Qania tampak tembam. Mamanya juga sudah lupa dengan dietnya. Kalau tak diingatkan sepertinya mau makan melulu. Hehe. Untunglah anak cucu rajin senam. Jadwalnya masih berantakan. Qania maunya sarapan dulu lanjut senam baru mandi. Sepedahan sebentar, tugasku mengawasinya ketat. Biasanya sambil jemur baju dan badan.
“Jangan jauh jauh. Hanya sampai kelokan.”
“Siiiiip Manini!”
“Jaga jarak kalau ada orang lewat,” bisikku sambil membetulkan masker bergambar Doraemon.
Sekarang sudah kulengkapi dengan kacamata anti silau.
“Social Distancing!” serunya sambil mengayuh sepeda ungunya.
Heueuh, kumaha dinya welah, gumamku bari garo-garo teu ateul.
Seeet dah bocah!
Dalam hitungan detik saja sudah tak kelihatan bayangannya. Karuan aku bererot, memanggil manggil namanya sambil degdegan.
“Ciluk baaaa!” serunya tahu tahu sudah ada di belakangku.
“Bukannya tadi ke arah sana?” tanyaku keheranan. Qania malah ketawa ketiwi.
“Kata Zidan, makanya Manini jangan sedih mulu. Cepet tua, tauk!”
Ada yang menarik selama bisa sering dekatan dengan anakku. Diskusi tentang situasi kondisi dan politik masa kini.
“Ini rezim memang semakin gila saja!” serunya tertahan dari meja belajarnya. Aku yang lagi asyik menemani Qania belajar sekejap saling pandang.
“Siapa yang gila, Mami?” tanya Qania, menghentikan matematikanya.
“Reziiim!” Mamanya menyahut, kulihat sekilas matanya melototin layar ponselnya.
“Rezim itu apaan sih, Manini?” Qania menatapku.
“Kekuasaan….”
“Cepetan Qania selesaikan tugasnya. Ditunggu sama Bu Chris!” Agaknya Butet baru menyadari kemarahannya kepada rezim, telah mengusik belajar anaknya.
“Diiih, salah siapa coba, ngagetin orang belajar….” Qania menggerutu.
“Sssst kembali ke buku!”
Kalau sudah dengar suara Manini agak keras begini, biasanya nih bocah manut. Kalau sama mamanya suka kolokan. Kalau tak dituruti ngambek. Beuh, ujungnya macam drama saja! Lain waktu selagi bareng asyik makan cemilan, tiba tiba suara geram muncul lagi.
“Ini bertele tele banget sih urusannya? Mau genosida rakyat sendiri apa?”
Qania kembali tertarik dan ingin tahu.”Genosida itu apaan sih, Mami?”
Karena mamanya tak menyahut, terpaksa aku yang mencoba menjelaskan. Tentu saja harus dengan bahasa yang bisa dipahami anak anak.
Nah, mau tahu jawaban Manini? Sampai jumpa esok ya, Saudaraku.