Kisah dari Ruang Operasi Pasien Terpapar Virus Corona
Oleh: Dokter Hayati Salma
“Apa? Jadi, pasien B positif?” Lunglai seluruh tubuhku, tak berdaya. Pasien B adalah pasien yang kutangani kemarin, kuperiksa dengan seksama segala cidera pada tubuhnya. Tak kusangka ternyata dia positif Corona. Bisa dibayangkan kekacauan yang terjadi di ruang operasi saat ini.
Pasien B dilakukan operasi cito, artinya segera dikerjakan semua prosedur operasi untuk menyelamatkan nyawa. Namun, kebohongan keluarga membahayakan kami semua. Sekuriti, perawat, dokter jaga, dokter spesialis, penata anestesi dan cleaning service semua menjadi ODP.
Mimpi buruk yang harus dihadapi, mengisolasi diri selama 14 hari. Segala ketakutan menjadi-jadi ketika teringat kondisi pasien waktu itu. Cidera kepala disertai patah tulang terbuka. Pasien rujukan dari sebuah RS swasta itu datang disambut sekuriti dan perawat yang bertugas. Dengan sigap menahan tubuh pasien yang sedang gelisah akibat kecelakaan.
Darah berceceran walaupun sudah dihecting situasi akibat gerakan yang tidak terkontrol dari pasien. Spalk yang terpasang tak tentu letaknya, bergeser dan turun dari posisi semula. Muntah dan meludah ke segala arah. Semua ikut membantu dengan APD standar yang biasa dikenakan, masker dan handscoon tanpa hazmat dan google. Setelah difiksasi dan diberikan obat, pasien lebih terkontrol. Gangguan pada kepala sangat mempengaruhi tingkah laku, apalagi perdarahan di otak.
Pasien B termasuk pendiam, biasanya pasien dengan cidera kepala ada yang misuh-misuh dengan kata-kata kotor, ada juga yang mengaji. Pemandangan biasa disini, IGD. Nyeri hebat pada kepala yang tidak tertahankan dan penurunan kesadaran sebuah perpaduan yang bisa membuat seseorang bertingkah laku diluar kendali.
Sebagai dokter jaga, kulakukan primary survey dan secondary survey agar tak terlewat kondisi pasien yang setengah sadar ini. Dilakukan juga screening awal covid-19, hasilnya tidak ada kecurigaan ke arah sana.
Kupastikan lagi dengan memanggil istri pasien dan bertanya lagi: “Bapak kecelakaan dimana, Bu? Naik apa? Dari luar kota tidak? Pekerjaan Bapak, apa? Ada keluarga yang baru pulang dari luar kota? Bapak batuk, demam sesak nafas tidak sebelum kecelakaan?” Daftar pertanyaan itu melintas kembali. Semua disangkal, bukan ODP apalagi PDP.
Hasil lab dan rontgen dari RS rujukan kuterima. Tidak ada yang mencurigakan kecuali nilai limfosit yang turun drastis dan sedikit suram di kedua lapang paru. Perdarahan dari patah tulang terbuka yang belum juga berhenti membuatku memutuskan konsultasi ke dokter spesialis orthopaedi.
“Debridement cito, segera hubungi tim IBS. Siapkan segera!” Advis yang kuterima sekaligus ku kerjakan secepatnya. Alhamdulillah operasi berjalan lancar, kesadaran pasien mulai membaik. Semua senang namun kabar itu begitu mengejutkan.
Hasil lab ulang dan Rontgen ulang menunjukkan pasien suspect PDP. Keluarga kembali dipanggil dan dimohon kejujurannya. Istri pasien akhirnya mengaku bahwa adik pasien baru pulang dari Jakarta dan sempat bertemu dengan pasien beberapa kali sebelum kecelakaan terjadi.
Rapid test dilakukan, hasilnya membuat semua shock, positif! Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Kami berduka untuk pasien dan keluarganya, juga untuk kami petugas kesehatan dan tentu keluarga kami juga.
Karantina dilakukan bagi pasien dan petugas. Berpisah sementara pilihan terbaik saat ini. Disinilah kami saat ini berada, di sebuah guest house, lima belas orang, lima belas juga keluarga yang harus ditinggalkan.
Terpukul, stress, depresi, marah campur aduk jadi satu. Inilah jalan yang harus ditempuh. Mau tidak mau, Allah telah memilih kami menjadi salah satu dari pejuang melawan corona.
Di hari ke-5 karantina, seorang dokter anestesi mengeluh demam, batuk dan sesak nafas. Usianya memang yang paling tua diantara kami, 56 th ditambah penyakit diabetes menjadikan beliau yang paling rentan. Dokter A diperiksa dan diswab, dirawat di ruang isolasi. Keadaannya memburuk. Begitu yang ku dengar. Keadaan ini tentu saja membuat kami bertambah stress, menangis bahkan ada yang tidak mau makan dan mengurung diri di kamar.
“Kita harus kuat, harus makan makanan bergizi, minum vitamin dan olahraga. Kita tingkatkan daya tahan tubuh kita. Kita lawan Covid-19 bersama-sama. Sehat lahir dan bathin, itu yang kita perlukan.” Semangat itu kukobarkan agar menular pada yang lain, tidak boleh pesimis. “Ada keluarga yang menanti di rumah,” tambahku.
Optimis bisa melalui wabah ini dengan selamat dan berbahagia, kembali berkumpul bersama keluarga tercinta.
(Shared Pipiet Senja)