Nenek Nyinyir
Oleh : Pipiet Senja
Anno, 5 April 2020
Memasuki pekan ke-4 dirumahkan atau populer dengan istilah WFH. Situasi dan kondisi di kawasan perumahanku semakin senyap. Tak banyak orang keluyuran di luar rumah. Apalagi pagi sudah seperti kota mati saja laiknya.
Agak siang pukul 10.00, biasanya tetangga sebelah yang punya debay tampak keluar rumah. Nah, itu dia. Seorang ibu muda memangku bayinya kemudian duduk di teras, berjemur.
Dia menantu nenek sebayaku yang pernah bersitegang denganku beberapa bulan silam. Entah mengapa, waktu itu nenek tetangga sikapnya nyinyir terhadapku. Satu hari dia tiba-tiba menyambangiku yang sedang jemur baju.
“Itu dasternya kok ungu semua sih?”
“Yah, hanya ini yang saya punya dan suka warna ungu,” sahutku lugas.
“Oooh…. Hmm, suaminya kemana ya? Gak pernah kelihatan?”
“Suami anak saya?”
“Bukan! Suami situ maksudnya….”
Paling sebal kalau ada orang memanggilku dengan sebutan : situ! Macam tak ada sebutan lain saja.
Jadi kusahuti saja dengan jawaban standarku, “Gak ada suami, Bu. Sudah lama saya sedekahkan….”
Kulihat sekilas wajahnya terperangah hebat. Kirain sudah kelar interogasinya. Eh, ndilalah, masih lanjut, Mang!
“Hmm, gitu ya…. Oya, sebenarnya situ agamanya apa sih?”
Hah? Giliranku yang terperangah hebat. Apa jilbab ungu yang menclok di kepalaku ini tak nampak? Bukan ciri khas Muslimah di matanya?
Kujawab juga,”Muslimlah Bu. Pernah berhaji sekali tahun 2006. Berumroh dua kali. Semuanya digratiskan orang, alhamdulillah….”
Kali ini wajahnya bukan terperangah lagi, melainkan cengo abiiz. Hihi!
“Emang situ kerjanya apaan?”
“Dulu sih jurnalis alias wartawati. Plus penulis novel Islami. Orang Bilang Aku Teroris, Bu. Eh, Bu, kok pergi…. Ini sendok debaynya ketinggalan!”
Nenek keburu ngacir dan masuk rumah. Beuh, salahku apa coba?
Sejak itu nenek yang juga sudah tak bersuami agak berubah sikapnya. Agak ramah dan kadang senyum senyum ke arah si “Teroris Tukang Teror Menulis” ini. Apalagi setelah aku berikan oleh-oleh Bali dan Malaysia, titipan anakku. Pokoknya mendadak ramahlah. Tak ada sinis dan nyinyirnya lagi. Maka, kusapa ibu muda yang asyik jemur debaynya itu.
“Kemana ibunya, Neng? Jarang kelihatan sejak musim wabah.”
“Dibawa abangku ke Jakarta, Mak.”
“Sehat- sehat saja kan, Neng?”
“Tadi malam sih telepon. Katanya lagi batuk parah… “
Duhai, Saudaraku yang diberkahi Gusti Allah. Mari kita saling mendoakan. Semoga kita terhindar dari bencana.
Selamat jalan Qif19. Selamat datang Ramadhan.