Oleh : Pipiet Senja
Anno 31 Maret 2020.
Ternyata tidak semudah saat ditekadkan untuk menulis cathar setiap hari. Terhitung sejak 2 pekan silam, saya baru menulis cathar 4 sesi.
Kendalanya macam-macamlah. Mulai dari ribet urusan menemani cucu belajar, pergi belanja terpaksa dengan baju macam ninja apalah. Ada satu lagi yang sudah bikin enerji nenek-nenek ini lumayan terkuras. Yaitu finishing sebuah novel yang telah lama tertunda. Novel ini rasa nano-nano. Gaya tenlit di awal kemudian bergeser menjadi petualangan para profesional lintas negara dan lintas benua.
Eeeh, ndilalah belakangan entah terbawa sikon sekitar kita, entah situasi batin penulisnya. Bergeser menjadi cerita di balik gonjang-ganjing isu global. Politik. Sepertinya inilah novel saya yang pertama jadi ancur lebur begini urusannya. Bisa jadi ini adalah karya pamungkas Pipiet Senja. Judulnya sejak awal digarap, 2015 adalah Imperium. Tidak berubah. Semoga saya bisa menuntaskannya seiring berlalunya musim wabah. Musim Pageblug kata orangtua.
Imperium. Berdasarkan sebagian kisah nyata. Sebagian lagi fiktif belaka.
Saya melanjutkannya di ruang kecil, depan LCD dan meja belajar cucu. Laptopnya merek Asus dibeli tiga tahun yang lalu. Dari kebaikan hati Askar Kauny cq. Ustad Bobby Herwibowo.
Tiga hari ini kami mulai bisa berkimpul bertiga, saya, Butet dan Qania. Kami menempati rumah kontrakan milik sahabat Butet yang baik hati. Kami boleh bayar dengan mencicil.
“Kita gak tahu entah darimana buat bayar kontrakan nanti,” kesah single parent, kandidat Master Hukum siang itu.
Sebelumnya dia sudah memberi tahu bahwa perusahaannya merumahkan semua pegawainya. Termasuk dirinya yang sedang fokus juga jelang ujian thesis.
“Jangan jadi beban pikiran, Nak. Jangan sampai stres. Bisa melemahkan imun kita,” kataku coba menenangkannya.
Padahal jantungku pun seketika deg-degan tak nyaman. Dia terdiam sambil berusaha fokus merevisi draft thesisnya. Sementara Qania baru selesai mengerjakan mapel dari gurunya.
Saya sudah selesai masak menu siang ini. Sop ayam dengan wortel, buncis dan brokoli. Lauknya ikan emas goreng. Qania pesan telor orak arik kesukaannya.
“Ayo kita makan, makan, yuk. Anak cucu ini tiga generasi kita ya,” ujarku sambil mengangkuti makanan ke ruang serba bisa. Artinya bisa dipakai tempat kerja, belajar, nonton bareng dan tempat rehatku. Adakalanya dimanfaatkan untuk diskusi barisan emak-emak militan. Terutama masa Pilkada dan Pilpres. Tentu saja main petak umpet dari anak.
Obrolan ibu anak masih seputar Virus China. Saat ini yang terpapar sudah 1400-an dan meninggal 283. Saya baca di media bagaimana suara Anies Baswedan bergetar, saat menyatakan berita tersebut.
“Tadi malam Mama beringus dan batuk. Heboh ngunyah jahe dan sirih. Terus diuap pake air panas hidungnya,” cerita saya.
“Mana ingusnya, Manini?” tanya Qania menatap hidung pesek neneknya.
“Sudah hilang gak berbekas,” sahutku lega.
“Alhamdulillah….” belum kelar kata kata Qania, mendadak saya merasa kepingin batuk. Setengah loncat saya keluar rumah dan : uhuuuuuk! Ya Allah, hanya karena batuk mendadak merasa jadi terdakwa begini, eaaaa?
“Sana jauh jauh!” Usir saya saat Qania malah melongok dari pintu.
“Makanya jangan batuk, Manini. Mendingan entuuuut!” komentar Qania sambil ketawa ketiwi.
Set dah bocah ngapah yaaah!