Oleh : Pipiet Senja
Anno 24 Maret 2020. Suasana di sekitar perumahan saya mulai terasa aneh sejak pekan yang lalu. Lengang dan terkesan kelabu mungkin karena langit sering mendung juga.
Kemarin pagi sekitar pukul 06.30 saya ajak Qania keluar rumah. Qania mau sepedahan, belum lama bisa roda dua. Jadi seperti kecanduan tiap saat minta main sepedahan.
Urusan begini bisa bersitegang ternyata. Qania harus diberi pengertian bahwa dia tidak boleh keluyuran di luar rumah setiap waktu yang diinginkannya. Kalau tak mempan diberi pengertian, setelah berdebat panjang kali lebar; Manini memutuskan menakutinya. Hihi.
“Sok aja sepedahan, tapi nanti pas Qania balik, Manini sudah gak ada di rumah. Hayo, mau gak ditinggalin sendirian di rumah?”
“Ogaaaaah! Mau ikut Manini!” teriaknya sambil menghambur ke arahku dan memelukku erat erat.
Kalau sudah drama begini tanpa sadar ada air bening merembes dari sudut sudut mata lansiaku. Dan memang saya sering menangis, terutama saat melihat anak perempuan 6 tahun ini sedang tidur.
Bagaimana tidak sedih coba, ortunya hanya bertahan 3 tahun saja membersamainya. Sekarang maminya single parent, kerja sambil kuliah S2. Ayahnya kuliah di mancanegara, sudah menikah lagi dan punya anak. Kubayangkan bagaimana jika neneknya ini sudah tiada?
Balik ke jalan-jalan pagi. Qania sepedahan di depan saya mengikutinya dan mengawasi dari belakang. Suasana perumahan serius lengang. Bagaikan kota mati euy! Bahkan pintu gerbangnya pun semua digembok. Samar-samar terdengar orang ngobrol. Artinya ada orangnya tapi memutuskan tidak keluar rumah. Dan tak ada warung yang buka! Tukang sayur sendirian celingukan. Biasanya dirubung emak emak.
Lewat depan sekolahan juga senyap. Ada 3 SD, 2 TK, Masjid besar yang sering diceramahi Ustad Ihsan Tanjung. Sekarang semua lengang dan senyap!
Qania minta dibelikan cokelat dan susu di Alfamart. Sempat ragu ragu masuk ke toko. Bagaimana kalau ada orang pembawa virus? Aduuuuh, mendadak parno nih!
“Cepetan Manini beliin,” rengek Qania.
“Begini. Qania tunggu di pos sini saja. Jangan ikut masuk ya Nak. Sebentar kok.”
“Nanti kalo ada culik gimana?” tanyanya menatapku cemas.
Benar juga, pikirku, ya wis kuajak dia masuk. Hanya dalam hitungan detik kita sudah keluar toko dengan selamat. Duh, untunglah hanya kami berdua pembelinya.
Sesampai di rumah gegas-gegas saya ajak cucu mandi. Cuci rambut dan guyur guyur sabunan. Apakah kita harus punya baju pelindung saat keluar rumah? Seperti yang dipakai warga di Wuhan?
Mohon pencerahannya wahai para dokter?