Oleh : Syatiri Matrais (Alumni Pesantren Attaqwa, Bekasi)
Dalam surat al Ankabut ayat 2-3, Allah SWT membuat suatu pernyataan dengan kalimat tanya istinkari (bertanya tetapi tidak memerlukan jawaban dari yang lain) , “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan dengan mengatakan, kami telah beriman dan mereka tidak diuji? Dan sungguh kami telah menguji orang orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang orang yang benar dan dia pasti mengetahui orang orang yang dusta.”
Setiap orang akan merasakan cobaan dan ujian, baik itu berupa musibah kesusahan atau lainnya. Ada banyak faktor terjadinya cobaan, ujan atau musibah itu. Dan setiap orang punya sikap berbeda dalam menghadapi musibah dan cobaan yang terjadi dalam kehidupannya.
Pada ayat di atas sangat jelas, Allah menurunkan musibah dan cobaan adalah untuk menguji kadar keimanan kita. Sejauh mana kekuatan iman kita ataukah hanya kebohongan dengan kemunafikan yang disembunyikan dalam dada kita?
Orang yang kadar imannya kuat, mensikapi musibah dengan sikap istirja’. Sesuatu musibah terjadi dikembalikan kepada Allah (QS. Al Baqarah : 156). Musibah juga disikapi dengan muhasabah, introspeksi diri. Apakah ada kezaliman yang telah dilakukan? sehingga Allah memperingati dengan musibah dan cobaan? Ataukah ini sebagai ujian kadar keimanannya? Agar lebih bertambah nilainya di hadapan Allah?
Orang seperti ini tidak akan gusar, cemas, bingung, nelangsa dan lainnya dengan musibah yang melanda kehidupannya. Dia dengan sabar menghadapinya, berharap (raja’) agar selamat dari ujian atau musibah, dan rasa takut (khauf) kalau sampai musibah ini menurunkan kadar keimanannya kepada Allah SWT.
Bagi orang munafik yang kadar imannya sekedar pakaian di luar saja, dirinya akan cemas, galau, gusar, dan perasaannya tidak tenang, menganggap musibah yang terjadi sebagai malapetaka dan akhir dari kehidupannya. Orang seperti ini hatinya selalu terpaut dengan dunia, cinta dunia melebihi segalanya. Sehingga ketika dunianya rusak, musibah dianggap sebagai pemutus kesenangannya. Orang seperti inilah yang dikatakan sebagai orang-orang yang medustai keimanannya, menipu Allah dan Rasulnya dengan kemunafikan yang disembunyikan di dalam dirinya. Padahal sebenarnya dia yang tertipu dan merugi, karena Allah sebaik-baik membuat tipuan terhadap orang munafik.
Diantara faktor terjadinya musibah adalah karena kezaliman. Kelaliman yang dilakukan berupa perbuatan menentang Allah. Melecehkan utusan Allah, para Nabi dan RasulNya. Menghina pesan dakwah yang disampaikan. Kisah Nabi Nuh as dalam Al-Qur’an adalah sebuah contoh nyata.
Nabi Nuh as hidup dan menyampaikan risalah tauhid selama 950 tahun bersama kaumnya. Tetapi apa reaksi kaumnya terhadap dakwahnya yang setiap siang dan malam tak pernah berhenti mengajak untuk beriman, meng-esakan Tuhan? Mereka memasukkan anak jari tangannya ke telinga dan menutupi wajah dengan baju sebagai tanda penolokan mereka terhadap dakwah Nabi Nuh as (QS. Nuh : 4-7).
Padahal Nabi Nuh as sudah sampaikan dakwah secara rasional, men-gexplore kehidupan di dengan membuktikan adanya Tuhan Yang Esa. Turunnya hujan, dikaruniakan anak-anak, diberikannya harta benda, kebun yang menjadi ladang makanan, sungai sebagai mata air kehidupan. Diciptakan bulan, matahari dan manusia sendiri adalah bukti adanya Allah SWT (QS. Nuh : 10-19).
Akibat penolakan terhadap dakwah, maka Allah tenggelamkan kaum Nabi Nuh dengan banjir bandang yang memupuskan seluruh harta benda juga jiwa.
Mengingkari fitrah kemanusiaan juga menjadi faktor terjadinya musibah. Orang yang zalim terhadap dirinya merupakan andil terjadinya bencana. Dalam kisah kaum Nabi Luth as, tampak jelas kezaliman yang dilakukan oleh mereka yang melakukan penyimpangan seksual. Mereka keluar dari fitrah kemanusiaannya. Mengotori dan melakukan perbuatan yang dilaknat oleh Allah SWT.
Penyimpangan seksual akan mencemari keagungan rumah tangga, mengotori nilai keturunan yang merupakan tujuan perkawinan. Penyimpangan seksual berupa gay dan lesbian terjadi pada kaum Luth as dilakukan secara terang-terangan. Perbuatan bodoh tersebut menjadi pemandangan umum. Padahal Nabi Luth as sudah jelaskan, bahwa perbuatan itu adalah kebodohan yang tidak pernah dilakukan oleh umat sebelumnya dan itu tergolong perbuatan yang membuat kerusakan di muka bumi. Kebodohan itu telah membutakan mata hati sehingga mereka tidak menerima ajakan kebaikan dari Nabi Luth as. Bahkan mereka menantang Allah dengan mengundang adzab dan kemurkaan. Keletihan dan kesabaran Nabi Luth as memuncak, sehingga dia berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari mereka yang membuat kerusakan dan kezaliman (QS. Al Ankabut : 28-29).
Allah mengabulkan doa Nabi Luth as, dengan menurukan azab berupa curah hujan ekstrem yang mengancurkan perkampungan dan hanya menyelamatkan mereka yang mengikuti kebenaran. Begitulah kebinasaan dan kehancuran suatu penduduk dengan bencana yang terjadi akibat perbuatan mereka sendiri.
Terjadinya gempa dahsyat yang meluluhlantahkan juga menimoa kaum Nabi Syuaib as, yakni penduduk Madyan, sehingga mayat-mayat yang bergelimpangan (QS. Al Ankabut 29 : 27). Itu karena sebelumnya mereka melakukan tindakan yang merusak negeri mereka.
Akidah yang rusak, keimanan dipermainkan, hukum ditumpulkan, nilai nilai kemanusiaan digadaikan, norma agama dikotori dan kehidupan mereka diwarnai kesombongan. Inilah yang menjadi faktor terjadinya sebuah bencana.
Masih banyak bencana yang melanda suatu kaum lantaran kebodohan mereka dalam firmannya, “Masing masing mereka itu kami adzab karena dosa dosanya. Ada yang ditimpakan dengan hujan batu kerikil, ada yang ditimpakan dengan suara keras yang mengguntur, ada yang kami benamkan ke dalam bumi da ada juga yang kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak berbuat zalim, melainkan mereka yang mengundang azab Allah dengan kezalimannya kepada Allah SWT. (QS. Al Ankabut : 40)
Apa yang terjadi sekarang di negeri kita dengan curah hujan yang ekstrem, banjir bandang, gempa dan longsor adalah sebuah persamaan yang terjadi pada umat terdahulu. Faktornya sama. Nilai-nilai keimanan saat ini menjadi komuditas politik dengan mencampur adukkan kebenaran dengan kesalahan. Diskriminasi nilai-nilai kemanusiaan terjadi. Penyimpangan seksual berupa gay dan lesbian telah merebak, pergaulan bebas, narkotika, makanan dan minuman haram terus terjadi dalam keseharian kita. Perzinahan menjadi konsumsi berita sehari hari. Orang tidak lagi takut dan merasa jijik dengan perselingkuhan dan perzinahan sehingga aborsi menjadi pemandangan lumrah, perceraian menjadi hal biasa. Begitu kotornya dunia dan rapuh dari nilai nilai agama, sehingga degan mudah memuntahkan isinya menjadi bencana dan malapetaka.
Cukuplah musibah ini terjadi, mari kita tingkatkan kualitas hidup dengan menjalankan apa yang Allah perintahkan dan menjaukan semua dilarang. Dengan menerapkan pola hidup iman dan takwa kita akan selamat dari bencana dan hidup menjadi berkah. Allah sudah ingatkan kepada kita dibalik musibah ada rahasia Allah untuk hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Rahmat dan petunjuk serta pertolongan Allah akan disematkan bagi mereka yang sabar dari musibah (QS. Al Baqarah : 157).
Wallahu a’lam.