Breaking News

Bolehkah Menjual Mahar secara Diam-diam?

mahar-pernikahan-1024x1024

thayyibah.com :: Sesungguhnya mahar itu apabila telah diserahkan dari pihak suami kepada pihak istri, sudah sepenuhnya menjadi hak istri. Dengan demikian, maka istri punya kekuasaan sekaligus kebebasan untuk menyimpannya atau mungkin malah menjualnya. Bahkan meski tanpa sepengetahuan suami. Sebab secara hukum, mahar itu memang milik istri sepenuhnya. Maka seorang istri punya kebebasan untuk menjual mahar yang dimilikinya.

Namun yang namanya pasangan suami istri, tentu kurang etis kalau tidak terjadi komunikasi, apalagi menyangkut penjualan harta dan aset yang dimiliki. Meski pun pada dasarnya memang sudah menjadi hak preogratis istri, namun sebaiknya tetap berkomuniakasi, tidak saling merahasiakan masalah. Semua itu perlu dilakukan agar masing-masing merasa dipercaya oleh pasangannya.

Dan juga sesungguhnya tidak ada keharusan dalam masalah mahar harus berbentuk benda yang punya nilai kenangan tertentu. Sehingga pada hakikatnya boleh saja mahar itu berupa harta apa pun yang berharga dan punya nilai jual universal.

Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisaa’: 4)

Mungkin kita sering terbawa dengan anggapan sementara orang yang beranggapan bahwa mahar itu harus unik dan bersifat kenangan. Lantas dengan demikian, seolah mahar itu harus berifat abadi sehingga tidak boleh dijual lagi. Seperti perhiasan yang terbuat dari emas, atau perabot tertentu yang antik, atau bahkan seringkali orang terlalu kretif untuk menentukan mahar. Misalnya berupa uang sebesar Rp 17.052.005 (tujuh belas juta lima puluh dua ribu lima rupiah). Di balik angka itu tertera tanggal pernikahan mereka, yaitu tanggal 17 bulan 05 (Mei) tahun 2005.

Padahal sesungguhnya kita tidak terlalu dituntut untuk membuat mahar yang terkesan aneh dan mengada-ada. Sebab pada hakikatnya mahar itu sama saja dengan nafkah dari suami kepada istrinya. Bedanya hanya mahar itu diberikan sekali saja di awal pada saat akad nikah pertama kali dilakukan. Sedangkan nafkah diberikan seumur pernikahan. Namun keduanya sama-sama nafkah juga yang menjadi hak istri sepenuhnya.

Maka mahar itu tidak harus berbentuk benda yang aneh-aneh, atau jenis tertentu yang memiliki nilai sejarah tertentu, meski bukan berarti terlarang. Pendeknya, mahar itu tidak harus sakral atau disakralkan. Sehingga seorang istri yang telah diberi mahar, sepenuhnya punya hak untuk menjual mahar itu dengan uang. Bahkan di zaman sekarang ini sebenarnya yang paling praktis untuk mahar adalah uang segar (fresh money), karena bisa digunakan untuk keperluan apapun. Dan bisa diberikan dalam bentuk cek pada saat akad nikah.

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Dan bila dicermati secara umum, nash-nash hadits telah datang kepada kita dengan gambaran yang seolah tidak mempedulikan batas minimal mahar dan juga tidak batas maksimalnya. Barangkali karena kenyataannya bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.

Namun kita tidak perlu terlalu memasalahkan hal ini, sebab selama memenuhi syarat sebagai mahar, harta atau kekayaan apapun bisa dijadikan mahar. Bahkan dalam bentuk jasa mengajarkan hal-hal yang bermanfaat pun bisa dijadikan mahar. Sebagaimana tertera di dalam hadits berikut ini:

Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata, “Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu,” Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata, “Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata, “Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini.” Nabi menjawab, “Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, “Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Ya surat ini dan itu,” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur’anmu.” (HR Bukhari Muslim).
Wallahu a’lam bish-shawab(thayyibah)

Penulis: Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber : www.eramuslim.com

 

About A Halia