Oleh: Setiardi Reborn
Beberapa tahun ini saya merasa diberkahi. Saya tak bergelimang uang. Tapi merasa selalu cukup. Setiap ada keperluan, sepertinya Tuhan mengirimkannya entah dari mana. Saya mensyukurinya.
Ada saja keajaiban yang menghampiri. Suatu ketika, seorang veteran perang di empat benua, yang juga bekas petinggi di Badan Intelijen di kawasan Pejaten, ‘nembung’ butuh uang. 100 juta untuk berobat. Saya minta istri untuk mentransfernya. Dan kemudian saya lupakan.
Beberapa waktu kemudian, dia minta saya datang ke rumahnya. “Mungkin aku tak lama lagi mati. Ambilah sertipikat tanah di Kavling Puslitbang Intel, di Bogor. Balik nama segera,” ujarnya. Saya ikuti saja. Meskipun awalnya tak meminjamkan 100 juta itu. Saat saya urus balik nama di notaris, saya baru tahu nilai sesungguhnya. Notaris bilang akan membayar tanah itu 600 juta. Cash. Tapi saya tolak.
[Saat ini beliau telah wafat. Semoga diterima Allah]Dari tanah itu, saya kemudian menjadi familiar dengan lokasi sekitar. Saya mulai kenal dengan beberapa pemilik lahan di sana. Seorang purnawirawan mendorong saya mengakuisisi lahan sebelahnya. Seorang pensiunan Jenderal bintang dua akan melepas lahan. Saya sowan ke rumahnya. Iseng saja. Saya bertemu istrinya. Kebetulan saya belum salat dhuhur. Saya pinjam sajadah dan salat di ruang tengah. Si Ibu memperhatikan saya.
Setelah berbasa-basi, saya tanya perihal tanah. Ibu Jenderal itu bilang bahwa tanah itu sudah ditawar Kolonel A sebesar X rupiah. Tapi Pak Jenderal malah marah “Sudah banyak uang rupanya si A itu?” kata pak Jenderal. Rupanya Kolonel A bekas ajudan Pak Jenderal. Kebetulan rumahnya terletak di sebelah tanah yang akan dijual. Dan Pak Jenderal tak sudi kalau tanahnya beralih ke Pak Kolonel.
Karena cuma iseng, saya pun mengajukan penawaran setengah X rupiah. Setengah dari harga yang diajukan Kolonel A. Dan tak disangka, Ibu Jenderal menerimanya. Tinggalah saya pusing cara membayarnya. Akhirnya saya beranikan diri berkata jujur. “Maaf Bu, kalau boleh saya cicil ya,” ujar saya. Anehnya Ibu Jenderal mengabulkannya.
Kini di atas tanah itu saya bangun kontrakan. Ini pun pakai cara sulap saja. Suatu hari, meskipun tak punya uang, saya ajak istri saya untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah kontrakan. Anehnya istri saya itu mau saja melakukannya. Modalnya saya beli nasi kotak di Rumah Makan Padang Sederhana, kemudian saya bagikan kepada para tetangga di lahan itu. Saat berkumpul itulah, saya bermunajat agar pembangunan rumah tak terhenti. Saya ingat pesan guru di kampung agar tak putus istighfar dan salawat Nabi. Alhamdulilah sudah memasuki deret kedua tak pernah mandek. Istilah saya: pelan-pelan, yang penting cepat selesai.
Ada cerita lain. Dulu saya bermimpi punya rumah di Jakarta. Sebagai orang kampung, yang bekerja serabutan, tentu punya rumah layak di Jakarta adalah impian indah. Masalahnya saya sama sekali tak punya tabungan. Setiap bulan uang masuk dan keluar pas-pasan saja. Eh, tiba-tiba Mamak minta berangkat haji. “Mamak ingin haji tahun ini juga. Mumpung masih sehat,” katanya.
Saya cari akal agar Mamak bisa berangkat haji. Saat itu antrean sudah 10 tahunan. Saya hubungi beberapa orang yang mungkin bisa membantu. Ada yang menghubungkan dengan Imam Masjidil Haram, ada Ketua Komisi VIII DPR dan lain-lain. Tapi pertolongan itu datang tanpa sengaja. Tanpa berharap banyak, iseng saya kirim SMS ke Ibu Negara Ani Yudhoyono. Dan sepuluh menit kemudian, Sespri Presiden RI menelpon, meminta saya mengurus keberangkatan haji Mamak. “Ada ongkosnya?” tanya Sespri Presiden. Konyolnya, saat itu saya bilang sudah ada ongkosnya, cuma butuh kepastian berangkat. Padahal setelah itu istri saya yang pusing, terpaksa pinjam dengan Tante di Palembang untuk ongkos haji.
Sebulan kemudian Mamak dan saya berangkat haji. Dengan kloter 49, kloter terakhir dari Jakarta. Banyak kisah spiritual di sana. Suatu ketika, seusai thawaf, saya menjaga Mamak yang sedang salat sunah dua rakaat di depan Multazam. Setelah salam, Mamak menengok ke saya, “Apa permintaanmu?” kata Mamak. Saya tanpa pikir panjang cuma bilang ingin punya rumah layak di Jakarta. Mamak kemudian berdoa sambil menangis.
Setelah haji, saya langsung mencari daftar rumah yang dijual di rumah.com dll. Hingga akhirnya saya mendapatkan rumah yang dicari. Itu bukan rumah sembarang. Berdiri di lahan 400 meter persegi, bekas kediaman Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Juga bekas rumah Nono Anwar Makarim (ayah Nadiem Makarim). Saat sudah sreg dengan rumah itu, saya telpon seorang teman, meminjam 50 juta untuk tanda jadi. Kemudian saya membereskannya dengan cara KPR di salah satu bank syariah milik Malaysia. Semua persyaratan dipermudah oleh pihak bank.
Ada banyak kisah lainnya. Tak akan cukup sepekan menulisnya.
Memang saya sadari bahwa rezeki itu tak melulu soal uang. Ada banyak hal lain yang lebih diperlukan — terutama hidayah. Dan kesimpulan yang bisa saya petik hingga kini, bahwa sesungguhnya rezeki itu bukan terletak di bumi. Hakikatnya rezeki kita itu berada di lapisan-lapisan langit. Cara membukanya dengan mendekati Sang Pemilik Langit itu sendiri. Bukan dengan cara lain. Cerita ini bukan berarti saya tak bermasalah. Setiap hari saya dihadapkan pada masalah. Tetapi, selalu ada jalan