Oleh: Akhlis Suryapati
Terkisahlah seekor Kelinci imut menggemaskan, mulai kemarin ditugaskan oleh Kodok Bangkong menangani ‘kerja, kerja, kerja’ mendidik dan membudayakan generasi Rimba Raya. Walau Kelinci dulu hewan hama, sekarang jadi primadona hewan hias. Generasi masa depan Rimba Raya diharap seperti dirinya; siap ‘to four-point-zero’, necis, ngetop, kekinian, milenial, modern, mbranding, ikon playboy.
Ada Kelinci lain, oleh Kodok Bangkong disuruh ngurus destinasi hutan lindung, taman suaka, kegiatan pelesiran, sarang-sarang persinggahan. Sejumlah Kelinci lainnya lagi, ditempatkan di seputar singgasana, melengkapi banyaknya Marmut dan Hamster di sana.
Kodok Bangkong terobsesi Kelinci. Dirinya suka mematut-matut diri agar menyerupai spesies itu. Misalnya, dengan pamer selera terhadap bebunyian. Selfie atau minta disyuting hewan lain, memerankan diri lincah bak Kelinci. Melengkapi obsesinya itu, dia kumpulkan kelinci-kelinci bertuxedo, berdasi kupu-kupu, berpita di telinga.
Kelinci jenis hewan mamalia dari famili Leporidae, banyak ditemukan di berbagai belahan bumi, dari daratan Afrika hingga Eropa. Bulunya ada yang pendek, ada yang panjang, dengan warna kekuningan, kalau musim dingin menjadi kelabu. Hal yang sering difantasikan, Kelinci memiliki nafsu seks bebas dan liar. Menurut rasnya, kelinci terbagi menjadi beberapa jenis: Angora, Lyon, American Chinchilla, Dutch, English Spot, Himalayan, dan lain-lain.
Ada pun Kelinci yang jadi topik dalam cerita ini, lahir di Rimba Raya, tumbuh terampil di Rimba Seberang. Makanya, dia tidak disebut Terwelu –nama yang lebih pribumi, dibanding nama Kelinci yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu Konijntje. Terbiasa menempati kandang-kandang bagus, kalau sekarang masuk gorong-gorong; adalah gorong-gorong yang sudah berupa istana dengan singgasananya.
Anak-anak Kodok seperti Precil dan Kecebong, diikuti Kampret (anak kelelawar), Tobil (anak kadal), Kenyung (anak lutung), Kutuk (anak ayam), Piyik (anak burung), dan anak hewan lainnya, bersenandung riang: “Kelinciku, Kelinciku, kau manis sekali. Melompat kian-kemari, sepanjang hari. Aku ingin menemani, sepulang sekolah …. Menari dan menyanyi .. lucu sekali….”
Kelinci yang manis dan imut, membawa anak-anak hewan itu menyongsong masa depan; dalam fantasi “kerja, kerja, kerja!” agar keren seperti penghuni Rimba Seberang atau Rimba Maya, dengan properti gadget, unicorn, aplikasi, startup, online, dan hal-hal seperti itu!
Fantasi ‘hedonistik’ mengalahkan ‘cita-cita luhur’ kecerdasan lahir batin. Otot menyingkirkan otak. Okol melibas akal. Dalam semangat teyot teblung, , daya kritis dikerangkeng, budi pekerti dinistakan, tata krama diberangus, keluhuran disontoloyokan. Para Kirik (anak anjing) pinterlah menggonggong seperti Puppy, Pedet (anak sapi) atau Gudel (anak kerbau) jadilah Calf, Genjik (anak celeng atau babi) jadilah Piglet, Cempe (anak kambing) jadilah Lamb, Meri (anak bebek) menjadi Duckling, dan seterusnya. Kelinci pun jangan sekadar Terwelu, tetapi Konijntje –yang kalau masih anak-anak panggil dengan nama Bunny, Bunny– jangan disebut Kenthi. Entah bagaimana nanti mengarahkan Kroto, Nener, Jentik, Senggrutu, Gendu, atau Undur-Undur –anak-anak hewan yang juga menjadi bagian dari generasi masa depan Rimba Raya.
Arah pencerdasan masa depan negeri Rimba Raya parameternya Kelinci dari jenis liar (Oryctolagus cuniculus) yang keluyuran dari Rimba Seberang hingga Rimba Maya, tinggal di istana gorong-gorong dengan taman dan mainan Squisy, Spinner, Slime, Playdoh, hingga Mobile Legend, Garena,Hago, Roblox, Clash of Kings, Brawl Stars, dan seterusnya.
Kelinci terlupakan sebagai hewan hama, sudah jadi primadona hewan hias; sekawan dengan Marmut dan Hamster. Mereka ‘action’ di lantai keramik, karpet, atau permadani; nasibnya tidak seperti Tikus–Tikus yang masih di comberan, selokan, tempat sampah. Tapi sesama hewan pengerat; Kelinci, Marmut, Hamster, maupun Tikus, sama-sama hobi menggerogoti apa saja; Terasi, roti, keju, tulang-belulang – hingga isi perut bumi, tambang pegunungan, terumbu karang samodra!