Breaking News
Ketua Umum PP Muhammadiyah DR. H. Haedar Nashir, MSi dalam pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 12 Desember 2019 (Foto : Suara Muhammadiyah)

RADIKALISME REZIM JOKOWI

Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)

 

Ketua Umum PP Muhammadiyah DR. H. Haedar Nashir, MSi dalam pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 12 Desember 2019 (Foto : Suara Muhammadiyah)

Pengukuhan Guru Besar Ketua Umum PP Muhammadiyah DR. H. Haedar Nashir, MSi kemarin 12 Desember 2019 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dihadiri banyak pejabat dan tokoh, termasuk mantan Wapres Jusuf Kalla. Haedar mengangkat isu radikalisme yang dinilainya kontroversi. Mengkritisi kesan negara yang berada dalam kondisi darurat “radikal” dan “radikalisme”. Judul pidato pengukuhannya sendiri adalah “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologi”.

Radikalisme dalam makna kekerasan atau perusakan harus disepakati “keharaman” dan keharusan sikap perlawanannya. Akan tetapi radikalisme yang tanpa kejelasan batasan yang ditujukan pada ajaran dan umat Islam tentu menjadi kontroversial. Radikalisme tidak bisa hanya disasar pada aspek keagamaan. Liberalisme dan kapitalisme juga inheren dengan radikalisme. Dulu KH Ma’ruf Amin pernah menyebut model sekularisme radikal.

Dalam perspektif politik, pidato Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di depan Civitas Academica UI beberapa waktu lalu cukup menarik. Menurutnya kehidupan politik berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini telah kental diwarnai oleh faham liberalisme dan kapitalisme. Sebagai pelaku politik yang sekaligus menjadi bagian dari “penguasa politik oligarkhis” pernyataan “pengakuan” Surya paloh bisa dikatakan sebagai bukti yang kuat.

Radikalisme rezim yang menusuk dan menebas aspek keagamaan sebenarnya adalah konspirasi antara ideologi liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sekularisme. Dimana-mana isme seperti ini sering berhadapan dengan nilai dan kekuatan keagamaan. Fenomena kekinian yang dirasakan bangsa Indonesia adalah terjadi penajaman permusuhan tersebut. Konflik didisain untuk pelumpuhan dan penguasaan umat beragama, khususnya Islam.

Agama semakin “diacak-acak”. Skenario politik adalah mengeluarkan dan merusak potensi keagamaan sebagai kekuatan bangsa. Sikap demikian di samping a historis juga absolut dapat menciptakan ketidakstabilan politik. Bukan hal mustahil suatu saat kondisi bisa berbalik dimana kekuasaan akhirnya yang justru jatuh dan tenggelam menghadapi air bah perlawanan.

Sebenarnya negara atau rezim jauh lebih potensial untuk berideologi radikal. Bagaimana tidak, kekuasaan ada di tangan, jaringan bisa digerakkan, jama’ah palsu bisa diciptakan, intelijen terbiayai, uang mudah dihimpun, pengusaha ditakut takuti, media pun dapat diredam atau diarahkan. Hukum ditunggangi dan diatur rapi. Aparat pun menjadi alat yang efektif untuk menekan.

Negara merupakan kekuatan radikalis yang luar biasa. Radikalisme negara adalah kejahatan yang sangat berbahaya. Sebagaimana terorisme negara, maka radikalisme negara adalah “acts of radicalism conducted by a state”. Disemburkan isu radikalisme tapi semua adalah “conducted by a state”. Disini negara tidak berfungsi sebagai institusi kedamaian dan ketertiban melainkan “trouble maker” keresahan dan kegaduhan rakyat, bangsa, dan negara.

Banyak rakyat khususnya umat Islam melihat rezim Jokowi sedang memerankan permainan politik “state radicalism”.

Moga saja penglihatan seperti itu keliru.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur