Breaking News
Khalifah dan Imam Bahlul, hanya ilustrasi (Foto : Muslim Obsession)

Bahlul, Ente!

Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)

Khalifah dan Imam Bahlul, hanya ilustrasi (Foto : Muslim Obsession)

 

Orang-orang tua zaman dulu sungguh arif dalam menghadapi anak. Bahkan, ketika anak banyak tingkah, bandel dan menjengkelkan sekalipun, orang tua masih “mendoakannya”. Misalnya, orang tua bilang, “Bahlul, ente”.

Sesungguhnya, ucapan “Bahlul, ente” itu adalah doa. Kok doa? Ya, kalaupun engkau bandel, maka berbuat bandel dan nakal seperti Imam Bahlul, seorang yang tak bosan mengkiritik penguasa. Siapa Bahlul?

Bahlul bernama asli Abu Amar Bahlul. Dia hidup di era Khalifah Harun Al-Rasyid, zaman dinasti Abbasiyah yang berpusat di Iraq. Ketika kondisi politik tidak menguntungkan para ulama, Imam Bahlul dan seorang alim lainnya datang meminta nasehat pada gurunya. Sang guru hanya menuliskan huruf “ج” sebagai nasehat pada mereka. Sahabat Imam Bahlul pun menjalankan nasehat gurunya itu. Dia memilih ‘uzlah’, hidup mengungsi ke gunung (جبال) agar jauh dari hiruk-pikuk politik di kota. Sedangkan Imam Bahlul memilih menjadi gila (جنون) agar terbebas dari delik perbuatan pidana.

Dalam kita عقلاء المجانين (Orang-orang Gila yang Bijak), dikisahkan bahwa suatu hari ketika di tengah perjalanan, Khalifah Harun Ar-Rasyid bertemu dengan Bahlul. Bahlul yang dianggap gila itu kebetulan sedang duduk merenung di atas kuburan.

Sang Khalifah pun mendekat dan mengawali pembicaraan dengan nada sedikit mengejek. “Hai Bahlul, hai orang gila. Kapan kau sembuh dan bisa berfikir dengan benar?”

Seketika itu Bahlul langsung lari dan naik ke atas pohon. Lalu ia berteriak dengan suara lantang. “Hai Harun, hai orang gila. Kapan kau sembuh dan bisa berfikir dengan benar?”.

Kemudian Khalifah Harun pun mendekatinya ke bawah pohon sembari masih menaiki kudanya. Lalu Ia berkata pada Bahlul, “He, aku yang gila atau kamu yang duduk di atas kuburan itu (yang gila)?”

“Kamu yang gila,” ujar Bahlul dengan sedikit membentak. “Bagaimana bisa?” jawab Sang Khalifah.

Karena aku tahu, bahwa itu (sambil menunjuk ke arah istana Khalifah Harun) akan sirna. Dan ini (sambil menunjuk ke arah kuburan) akan abadi. Dan aku pun membangun ini sebelum (masuk) ini. Sedangkan kamu hanya fokus membangun istana dan merobohkan (melupakan) kuburanmu. Kau lebih memilih istanamu dari pada kuburanmu, padahal kuburan pasti adalah tempat kau berpulang!” Khalifah Harun Al-Rasyid tercengang.

“Sekarang katakan padaku, siapa sebenarnya yang gila, aku atau kau?” lanjut si Bahlul. Jawaban cerdas Bahlul itu pun membuat hati Sang Khalifah tergoncang. Ia mulai menyadari kesalahan berfikirnya. Ia pun menangis tersedu sampai jenggotnya basah dipenuhi air mata.

“Demi Allah, kau benar wahai Bahlul,” ujar sang Khalifah dengan nada lembut. “Tambahkan lagi nasihatmu padaku!”

“Cukup dengan Kitab Allah, peganglah erat-erat!” kata Bahlul.

“Apa kau punya keperluan atau keinginan, aku akan memenuhinya,” ujar Sang Khalifah.

Bahlul pun menjawab iya. “Aku punya tiga keinginan, jika kau memenuhinya aku akan sangat berterima kasih padamu”.

“Katakan apa itu,” tanya Kahlifah.

“Tambahkan umurku!” kata Bahlul. “Aku tak bisa”. jawab Sang Khalifah.

“Lindungi aku dari malaikat pencabut nyawa!” “Aku tak bisa”.

“Masukkan aku ke dalam surga, dan jauhkan aku dari api neraka!” “Aku tak bisa,” jawab sang khalifah.

Lagi-lagi Sang Khalifah tak mampu memenuhi keinginan Bahlul. Lalu Bahlul, berkata: “Ketahuilah, Kau ini hanya seorang hamba (مملوك), bukan raja! (ملك). Maaf, aku tak punya keinginan darimu”. Bahlul pun pergi berlalu tanpa sopan-santun pada sang raja.

Dasar Bahlul, ente!

About Redaksi Thayyibah

Redaktur