Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Keagamaan)
Banyak tokoh apakah pejabat, politisi, cendekiawan, agamawan, atau lainnya yang ketika memiliki otoritas mengucapkan, mendalilkan atau mengambil kebijakan sesuatu yang kontroversial dalam makna bertentangan dengan kebenaran berdasarkan nilai sosial atau agama. Akibatnya perkataan atau perbuatannya itu membuat sakit hati masyarakat atau umat.
Ketika ia sudah tidak berkuasa atau mungkin mati, maka masyarakat dan umat masih membicarakan atau mengecam pedas tokoh dan perbuatannya tersebut. Dijadikan ceritra buruk dari generasi ke generasi. Umur keburukan yang panjang. Al Qur’an mencontohkan figur Fir’aun dan Abu Lahab. Kaum juga ada seperti Tsamud, Aad, kaum Madyan dan lainnya.
Mereka tak sadar bahwa kekuasaan itu terbatas, kesombongan berbalas, dan akhir hayat yang memelas. Semua menjadi tak berguna. Kematian adalah derita awal untuk penyesalan yang sia-sia. Hakekatnya tidak beriman pada hari akhir dan terjebak dipermainan dunia yang tak lain hanya “uji amal” semata.
Memusuhi orang yang taat beragama, nyinyir pada simbol dan atribut keagamaan, dengki pada Kitab dan Nabi, memojokkan dengan bahasa Wahabi, Arab, radikal, intoleran, tidak menusantara, musuh budaya, atau lainnya. Tidak sadar bahwa sebenarnya mereka itu masuk dalan kelompok pendengki dan penista agama.
Kekuasaan dan penguasa menjadi tempat berlindung. Bentengnya adalah politik dan ekonomi para taipan kaya. Nyaman dinaungi hukum rekayasa. Berbicara kebaikan bangsa sambil meminggirkan agama. Atau agama yang dipreteli bagian-bagiannya. Bersekongkol dengan yang memiliki pandangan sama. Sesungguhnya cara pandang sekuler yang sedang diperjuangkan dan ditegakkan.
Mereka adalah reinkarnasi “Kemal” atau “Snouck” pada masa kini.
Empat hal yang sebenarnya melekat yaitu kebodohan, komunitas jahat, masa bodoh ke depan, dan tak tahu jalan kebenaran menuju surga.
Nabi Ibrahim As dalam QS Asyu’ara 83-85 mengajarkan do’a pada kita untuk melawan gaya hidup hedonis, pragmatik, sok kuasa, sok kaya, serta sok paling berbudaya.
Empat hal yang dimohonkan tersebut adalah, pertama, ilmu tentang kebenaran (robbi hablii hukman).
Buta kebenaran berakibat “meraba” dan “merasa” benar. Fir’aun merasa sebagai pembawa kemajuan dalam pembangun infrastruktur (dzil autad), “acting” ke pojok-pojok negeri (thogou fil bilad).
Kedua, komunitas pergaulan yang sholeh (wal hiqnii bish shoolihiin). Tidak mau bersama-sama dan bercampur dengan kaum musyrik, munafik, pendusta, atau golongan penoda dan anti agama, Islamophobia. Tak mungkin mendukung rezim zalim.
Ketiga, jadi buah tutur yang baik (waj’al lii lisaana shidqin fil aakhiriin). Waspada dengan kata dan kerja. Apakah kelak akan jadi buah tutur yang baik ataukah omongan cercaan karena bertumpuk keburukan dan kejahatan?
Keempat, pewaris surga (wa’alnii min warotsati jannatin naiim). Pujian tulus dari prestasi kemasyarakatan dan kenegaraan adalah sinyal wangi surga. Cacian, ejekan, atau “bully” an adalah tanda sulit masuk surga. Dibenci umat pasti berakibat celaka, karena ada doa disana.
Buruk di akhir mestinya dikhawatiri, diwaspadai, dan dihindari. Sumpah saat awal menjabat merupakan pengingat dan pengendali dalam mengemban amanat. Melupakan sumpah boleh boleh saja, tetapi jaminannya pun tentu akhir yang buruk. Cercaan dari generasi ke generasi. Sumpah yang diabaikan atau dimain mainkan akan menjadi sumpah serapah dan laknat ummah. Sudah dapat dipastikan buruk di akhir.