Oleh: Tarmidzi Yusuf
Pedagang kaki lima digusur. Bangunannya diratakan dengan tanah. Merusak keindahan kota. Ruang bagi rakyat kecil semakin sempit.
Seringkali kita melihat perlakuan aparat “bengis” dan “kejam” kepada orang lemah. Lemah secara politik juga lemah secara ekonomi. Mencari sesuap nasi hanya untuk bertahan hidup.
Pembangunan kota tanpa menggilas orang lemah. Pembangunan yang beradab tanpa ada yang tersakiti. Kota tetap indah dan orang lemah tetap bebas berjualan di area keramaian tanpa merusak keindahan kota.
Demikian pula dengan petani. Beli semurah-murahnya. Dijual ke pasar berlipat-lipat. Mafia dan tengkulak untung besar. Sementara petani kehidupannya begitu-begitu aja. Apalagi petani penggarap alias buruh tani.
Angkot dan ojeg pangkalan menjerit. Terlibas oleh transportasi online. Supirnya rata-rata sarjana. Nyari kerja susah. Paling mudah ya jadi supir taksi online. Sebuah pekerjaan yang tidak dicita-citakan oleh sarjana.
Perasaan kita juga terluka ketika imam masjid di Sulawesi meninggal dikampak, leher nyaris putus. Pelaku lari. Akhirnya tertangkap. Setelah tertangkap Polisi menyatakan pelakunya gangguan jiwa.
Hidup zaman sekarang halal dan haram tak penting. Adil dan zalim bukan ukuran. Orang baik distempel jahat sedangkan orang jahat dianggap pahlawan dan pejuang.
Agama mengajarkan berlomba-lomba dalam kebaikan dan taqwa tergilas oleh perlombaan dalam meraih harta dan jabatan.
Informasi berseliweran membuat peristiwa jadi bias. Sulit kita menilai ditengah simpang siurnya informasi apa yang sebenarnya terjadi. Korban akan banyak berjatuhan ketika rekayasa informasi tak diungkap secara benar dan jujur. Dengan informasi orang shalih jadi salah, orang salah jadi shalih.
Empati kita tinggi ke pejabat dan orang kaya. Sementara terhadap rakyat tak berdaya atau orang di dalam kekuasaan kita, empati hilang. Mungkin karena kita telah mati rasa.