thayyibah.com :: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَتُبَاشِرُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah seorang istri mendeskripsikan sosok dan sifat wanita lain di depan suaminya, seakan ia langsung melihatnya.” (HR. Muslim no. 5240-5241, Abu Dawud no. 2150, Ahmad I/387, 438 dan 443)
Dalam Fathu al-Bari (91240) dinyatakan bahwa hikmah di balik larangan ini adalah dikhawatirkan seorang suami kemudian merasa tertarik dengan perempuan yang digambarkan tersebut lalu mendorong untuk menceraikan istrinya atau terpesona dengan perempuan yang diceritakan. Allah Ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ … ﴿١٤﴾
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas dan perak.” (QS. Ali-‘Imran: 14 )
Di dalam realitanya, seorang istri terkadang tanpa sengaja menceritakan sosok wanita yang dikenalnya dengan kebaikannya di hadapan suaminya.
Ada kisah nyata tentang seorang istri yang memiliki sahabat karib. Dia sering menceritakan kebaikan wanita tersebut tentang kecantikannya, ciri-cirinya, dan memuji sifatnya. Akhirnya, sang suami tertarik dan terpesona dengan sahabatnya itu hingga ia menikahinya. Suaminya seolah tidak peduli dengan perasaan istrinya. Dan hari-hari berlalu dengan cepat, kini temannya itu telah menjadi istri suaminya, setelah ia dicerai.
Ada pula kisah senada yang terdapat dalam kitab Tuhfatul ‘Arus karya at-Tijani yang dinukil dari kitab an-Naqa`ish, ia bercerita, “Ma’bad al-Sulaithi mempunyai istri bernama Hamidah dari keluarga Bani Rizam bin Malik bin Hanzhalah. Ia sangat cantik mempesona, sedang suaminya (Ma’bad) termasuk tentara yang dikirim al-Hajjaj bin Yusuf menuju Khurasan. Ia menceritakan kecantikan istrinya di tengah para prajurit dan menampakan sangat rindunya padanya. Bahkan, ia pernah berniat hendak meninggalkan pasukannya. Oleh karena cerita tersebut, ada seseorang bernama Hauth bin Sinan, salah seorang dari Bani al-Atik yang langsung jatuh hati padanya (Hamidah).
Ia pun segera berkata kepada Ma’bad, “Saya akan bertolak ke Basrah.”Ma’bad berkata “Saya ingin menitipkan surat untuk istriku, Hamidah.” Ketika Hauth telah sampai di tempat Hamidah dan hendak menyerahkan surat titipan suaminya, Hauth berkata, “Saya tidak akan memberikan surat ini, kecuali langsung kepada Hamidah,” Kemudian muncullah Hamidah, Hauth kemudian berbicara padanya. Kemudian menanamkan panah asmaranya ke hati Hamidah. Ia pun terus berusaha menundukkan hati Hamidah dengan berbagai cara, yang akhirnya ia pun luluh.
Akhirnya, Hamidah berada di bawah kekuasaan Hauth selama satu tahun. Hal itu diketahui oleh keluarganya, sedangkan ia dalam keadaan hamil. Lalu, ‘Abdurrahman bin ‘Ubaid al-Absi membawanya ke Mahkamah (ia adalah polisi al-Hajjaj), kemudian ia dihukum rajam.
Mengenai hal tersebut, seorang penyair bersenandung tentang istri Ma’bad al-Sulaithi yang begitu memikatnya. Ia begitu kagum padanya sehingga tidak mengkhawatirkan marabahaya.
Kisah di atas, kiranya sebagai cermin, tidak hanya untuk wanita, tetapi kaum pria pun selayaknya tidak mudah mengumbar lisannya dalam menceritakan hal ihwal istrinya kepada sesama laki-laki karena hal tersebut bisa menyulut fitnah.
Di sisi lain, setan memang mengambil kesempatan besar dalam memperbesar api fitnah di antara laki-laki dan wanita. Mungkin awalnya biasa saja, tetapi karena seringnya mendengar cerita yang mengagumkan dan seakan penuh pesona maka bisa membuat hati penasaran dan gusar. Hingga terjadilah apa yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Cinta terkadang menjerumuskan seseorang pada dosa, lebih–lebih ketika hati kosong dari mencintai Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana penyakit mabuk asmara yang lebih popular dengan al-‘isyqatau cinta yang berlebih–lebihan. Dan wanita yang memiliki paras cantik atau tampilan menarik bisa membuat lelaki tergoda. Begitu pula sebaliknya, pria tampan mampu membuat kaum hawa terfitnah ketika keduanya tak menjaga pandangannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat : “Telah ditulis bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar. Lidah (lisan) zinanya adalah berbicara. Tangan zinanya adalah memegang. Kaki zinanya adalah melangkah. Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan maka kemaluanlah yang membenarkan (merealisasikan hal itu atau mendustakannya).”(HR. Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas dan Muslim dari Abu Hurairah)
Semoga cerita di atas memberi sebuah hikmah bahwa setiap insan beriman harus ekstra hati-hati dalam bermuamalah dengan pasangannya dan senantiasa berupaya menjaga sesuatu yang memang perlu dirahasiakan.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi :
- Kado Pengantin, Majdi Muhammad asy-Syahawi, ‘Aziz Ahmad al-Aththar, Pustaka Arafah, Solo, 2006.
- Majalah Akhwat, No. 6/1431 H.
- EQS, Energi Quran Sunnah, Sumayyah Rahmadhan Ahmad, Multazam, Solo, 2013.
Artikel Muslimah.or.id