Oleh: Tika Handayani
“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau hari ini kamu dapat nilai di bawah 80 lagi, kamu nggak usah pulang ke rumah!”
Aku memberi ultimatum kepada Mia, anakku satu-satunya yang baru duduk dikelas 2 SD. Lelah rasanya setiap hari menegurnya dan mengajarinya supaya nilai sekolahnya membaik.
Mia tidak bodoh, di kelasnya ia masuk sepuluh besar. Tapi aku yakin ia bisa lebih dari itu. Ia hanya harus berusaha lebih keras.
Kalau Mia masuk tiga besar, aku bisa membungkam mulut Bu Rina temanku sesama ikut arisan. Dia selalu membanggakan anaknya yang selalu peringkat satu di kelasnya. Macam anaknya saja yang pintar, sungutku.
Kulihat Mia berjalan gontai meninggalkan rumah. Mia pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, toh sekolah tak jauh dari rumah. Sekalian mengajarkan dia mandiri.
Aku pun segera larut dalam pekerjaanku sehari-hari. Membersihkan rumah, memasak, mencuci, tak ada habisnya pekerjaan seorang ibu rumah tangga sepertiku.
Aku melirik jam dinding, sudah pukul setengah dua belas. Seharusnya Mia sudah pulang ke rumah.
Hmm, pasti keasyikan main anak ini, biarlah sepuluh menit lagi kalau ia tidak pulang juga, biar kujemput pakai motor, pikirku.
Sepuluh menit berlalu, Mia belum juga pulang, aku mulai was-was. Kupacu motorku menuju sekolah. Di jalan aku berpapasan dengan Bu Rere, anaknya satu kelas dengan Mia.
“Bu Rere … Tadi lihat Mia nggak Bu disekolah?” Tanyaku.
“Loh, bukannya Mia sudah pulang dari tadi Bu Isti, tadi saya lihat Mia jalan pulang ke rumah sambil menangis Bu, saya tanya kenapa, dia cuma menggeleng. Saya tawarin buat antar dia pulang, Mianya nggak mau Bu.” Bu Rere menjelaskan panjang lebar.
Degg … Perasaan tidak enak langsung menjalariku. Setelah mengucapkan terimakasih aku memacu motorku kembali ke rumah, mana tau Mia berselisih jalan denganku.
Kuperiksa teras depan kosong, tidak ada Mia.
Aku pun kembali memacu motorku mencari Mia, kudatangi sudut-sudut sekolah tempat dia biasa bermain, kutanya guru kelasnya, jawabnya sama seperti Bu Rere tadi. Mia pulang sambil menangis.
Miaaa … Di mana kamu nak! Aku mulai panik, terpikir untuk menelpon suamiku, ah nanti dulu, biar kususuri dulu kompleks perumahan ini. Bisa jadi Mia masih ada di seputaran kompleks.
Aku sampai di jalan besar, mustahil rasanya Mia berani sampai kesini. Untuk menyeberang jalan sendiri saja dia belum berani.
Tapi tidak ada salahnya kucoba pikirku. Akupun menyusuri jalan besar sambil mataku awas melihat ke kiri dan ke kanan.
Sesudah belokan mataku tertuju pada sekerumunan orang, aku penasaran dan sekelumit perasaan tidak enak datang menghampiri.
Aku parkir motorku di pinggir trotoar dan berusaha menyibak sekerumunan orang, tabrak lari, kata itu yang sekilas terdengar dari orang-orang yang berkerumun.
“Miaaa …!” Aku berteriak histeris. Seorang anak masih mengenakan seragam sekolahnya tergeletak bersimbah darah. Dia anakku ! Dia Mia ku!
“Tolooonng … Ini anak saya, tolong antarkan saya ke rumah sakit!” Aku menjerit sambil memangku tubuh Mia, darah mengucur dari kepalanya. Ya Allah apa yang terjadi padamu anakku!.
“Tadi saya lihat anak Ibu ini mau menyeberang jalan Bu, tapi ia ragu-ragu. Mau saya bantu tapi ia sudah terlanjur melangkah ke tengah jalan, ada motor ngebut langsung menghantam anak Ibu,” seorang bapak memberi penjelasan kepadaku.
“Tolong anak saya Pak … Tolong saya membawanya ke rumah sakit!” Aku menangis menjerit-jerit, tubuh Mia terasa dingin di pelukanku, Miaaa … Bertahanlah sayang, maafkan mama naakk …!.
“Ayo Bu, ikut mobil saya,” seorang bapak-bapak meraih tanganku sambil berusaha mengurai kerumunan orang yang sibuk mengabadikan peristiwa ini melalui telpon genggam mereka. Kenapa mereka tidak membantuku, apa yang mereka lakukan … Aku menjerit dalam hati.
Mobil melaju dengan kencang menuju rumah sakit. Aku merasakan Mia bergerak dalam pangkuanku.
“Miaa …sabar ya sayang, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit, nanti Mia diobatin oleh dokter ya,” aku mengajak Mia bicara, berusaha mengembalikan kesadarannya.
“Maaaa …” Mia mengerang
“Iya sayang, mama di sini, Mia nggak usah khawatir,” aku memeluknya erat.
“Maaaa … Maaf … Mia tadi dapat nilai 70, Mia takut pulang, takut mama marah,” hatiku hancur mendengar perkataannya.
Ibu macam apa kamu Istiii … Makiku pada diriku sendiri. Inilah akibat keegoisanmu, kau jadikan anakmu korban ambisimu hanya supaya kau bisa terlihat lebih baik dimata orang-orang.
“Mama nggak marah Nak, mama nggak akan marah lagi sama Mia, maafin mama ya Nak, maafin mama, habis dari rumah sakit nanti kita pulang sama-sama ya sayang,”
“Uhhuukk … !
Mia terbatuk, dari mulutnya keluar darah segar, ya Tuhan, tolong anakku!.
“Pak cepat Pak … ! Anak saya batuk keluar darah, cepat sedikit Pak, tolong Pak !” Aku histeris.
“Iyaa Bu … Kita hampir sampai,” bangunan rumah sakit sudah terlihat.
Mia segera di larikan ke IGD, tiga orang perawat segera tergopoh-gopoh melakukan pemeriksaan awal. Aku tidak boleh mendampingi. Hanya menunggu diluar.
Aku segera menelpon suamiku, memberi keterangan sekilas dan memintanya segera datang ke rumah sakit.
Perawat mendatangiku membawa sebuah berkas.
“Bu, anak ibu harus segera di operasi. Keadaannya kritis, anak Ibu mengalami pendarahan di kepala akibat benturan keras. Ini berkas persetujuan operasi yang harus Ibu tanda tangani.”
Secepat kilat aku tanda tangani berkas itu.
“Tolong anak saya Suster, tolong anak saya!” Aku mengguncang-guncang bahu suster tersebut. Aku kalut luar biasa.
“Ibu sabar ya, Ibu duduk saja di sini dulu menunggu sampai operasi selesai,” suster itu membimbingku kembali duduk di kursi yang tadi aku tempati.
Tak berapa lama suamiku datang, aku pun menceritakan kronologis kejadian dari awal aku memarahi Mia sebelum dia berangkat sekolah, sampai akhirnya menemukan Mia tergeletak di pinggir jalan. Wajah suamiku merah padam. Aku tahu ia marah besar, ia tak pernah setuju dengan caraku yang menurutnya terlalu keras kepada Mia dalam hal nilai akademik sekolah.
Tiap anak punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Fokus pada kelebihannya jangan hanya pada kekurangannya. Begitu suamiku selalu menasehati kalau aku sudah mulai memarahi Mia bila aku tidak puas akan nilai-nilainya di sekolah.
Aku menangis meminta ampun pada suamiku. Dia merengkuh tubuhku. Kulihat matanya juga basah, hatiku makin hancur, aku telah menyakiti orang- orang yang paling berharga dalam hidupku dengan keegoisanku.
Menit demi menit bagaikan siksaan menunggu anakku selesai di operasi.
Setelah 3 jam berlalu seorang Dokter menghampiri kami, kelihatannya operasi sudah selesai.
“Dokter … Bagaimana Mia anak saya, baik- baik saja kan Dok?” Aku bertanya dengan suara gemetar. Raut wajah dokter ini seperti menyiratkan sesuatu, tapi ahhh tidak … Itu tidak mungkin!.
“Maaf Bapak dan Ibu, kami sudah berusaha semampu kami, tapi putri bBapak Ibu tidak tertolong. Cedera kepalanya begitu parah dan organ dalamnya pun kerusakannya cukup fatal, kami tidak bisa menyelamatkannya. Saya harap Bapak dan Ibu tabah menerimanya.” Dokter itu menyentuh bahuku sekilas mencoba menguatkan, kemudian berlalu.
Tidak … Tidak … Ini tidak mungkin … ini tidak mungkin, Mia tidak mungkin pergi. Tadi ia masih kugendong dengan tanganku, masih berbicara denganku, bagaimana mungkin Mia meninggalkanku. Kami akan pulang ke rumah bersama-sama.
“Tidaaaaakkkkk …! Miaaaa … Jangan tinggalin mama Naakk ! Maafin mama Naakk … Mama janji nggak akan marah-marah lagi sama Mia …
Mia boleh pulang Naakk … Mia boleh pulaaanggg … !” Aku menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya.
Benakku seolah otomatis memutar kejadian tadi pagi. Aku yang memarahi anakku, disertai ekspresi anakku yang tertunduk lesu, dan dengan langkah kuyu meninggalkan rumah. Ternyata itu adalah langkah terakhirnya yang bisa aku lihat. Aku bahkan tidak sempat memeluknya seperti biasa.
Sekejap aku tidak ingat apa-apa lagi, dunia terasa jungkir balik, hitam pekat yang kurasa. Aku terjatuh tidak sadarkan diri.
Aku perlahan terbangun. Di depanku Mia berbaring seperti tertidur pulas. Kutatap wajahnya, tenang dan bersih. Aku tak lagi menangis, aku tak bisa lagi menangis.
“Miaa … Ayo kita pulang Nak … Miaa ayo kita pulang …” Hanya itu saja yang bisa keluar dari mulutku.