Sebuah Trend Aspirasi Politik Era Digital
Oleh : Rifa’ah Badawi
Gerakan politik di Indonesia identik dengan gerakan kalangan terpelajar dan ormas. Sejak pra kemerdekaan era tahun 1900-an maka gerakan sosial dan kemasyarakatan adalah tonggak utama sebagai awal perjuangan kemerdekaan di era modern. Dikalangan Islamis dikenal Syarikat Islam pada tahun 1905 dan dikalangan nasionalis memunculkan sumpah pemuda 1928. Saat itu gerakan-gerakan ini secara umum boleh kita katakan stateless dimana hukum dan peraturan yang mereka ikuti adalah Hindia Belanda sebuah negara boneka.
Setelah kemerdekaan, gerakan kaum terpelajar dan ormas ini pun terus berlanjut di negeri yang pernah mendapatkan predikat negeri yang warganya paling banyak menjadi relawan menurut versi Gallup tahun 2017. Budaya ini turun temurun diberikan kepada para pelajar dan aktivis di Indonesia. Sehingga kita tidak heran sejak era pasca kemerdekaan kontrol sosial dari kelompok pelajar dan aktivis ini berulang kali menggoyang kekuasaan di Indonesia.
Tercatat setidaknya tiga kali gerakan ini memaksa penguasa mundur dari singgasananya, Sukarno dengan gerakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), Suharto dengan turunkan harga dan Gus Dur dengan kasus Bulog Gatenya. Ketiga presiden tersebut dituntut mundur diawali dengan gerakan sosial yang merespon situasi politik dan kondisi ekonomi negara yang berujung pada gerakan politik menurunkan kekuasaan.
Namun kali ini ditengah carut marutnya situasi politik Indonesia tahun 2019, ada sebuah fenomena baru dalam gerakan sosial kaum terpelajar dan aktivis sosial.
Bagi kalangan aktivis senior mereka kebingungan soal kecepatan, tingkat masif dan pesan yang begitu luas dalam gerakan aksi politik kali ini. Dahulu setidak pada masa era 98 untuk melakukan aksi nasional perlu dilakukan sebuah pertemuan yang kontinyu dalam waktu yang tidak sebentar untuk menggalang sebuah aksi.
Ada beberapa fenomena yang perlu kita perhatikan :
- Sosial media sebagai suar informasi yang sangat efektif. Bila dahulu informasi politik hanya bisa didapatkan kalangan politik tertentu. Maka sekarang sebuah event politik akan begitu tersiar luas tak terbendung. Bahkan sekarang trendnya bukan hanya tulisan namun video dengan durasi singkat yang tentunya sulit ditolak nilai keaslian informasinya.
- Instant messenger, sebuah fenomena ruang diskusi politik kerakyatan yang mengalahkan obrolan warung kopi bahkan harkom atau teklap sebuah istilah teknis kawan-kawan aktifis kemudian bisa dilakukan di ruang digital ini. Banyak sekali percepatan gerakan dengan sebab ruang politik digital yang satu ini.
- Hashtag dan trending topic, media bila dulu adalah pemberi kabar maka saat ini media utamanya citizen journalism menjadi arah penentu sebuah konflik dan peristiwa politik. Rakyat sudah tidak butuh lagi tokoh bahkan konten-konten yang viral biasanya muncul dari orang biasa asalkan bisa memberikan nilai unik pada kontennya.
Masih banyak fenomena lainnya di era gerakan digital sekarang, bila dahulu dibutuhkan ketokohan, kunci konflik yang dibangun sistemik dan masif atau narasi-narasi kebencian yang diproduksi oleh agen politik tertentu.
Saat ini gerakan tidak terlalu terikat pada pola tertentu, netizen yang semakin ekspresif, samarnya strata politik karena siapapun boleh berkomentar dan jadi apapun di dunia maya.
Nampaknya fenomena ini tidak cepat diantisipasi oleh para politikus senior, baik rezim penguasa ataupun oposisi.
Fenomena gerakan digital hanya digunakan untuk menaikkan trending dan pesan saja, belum sampai pada level konsolidasi, gerakan politik atau sebuah area yang berada diluar kekuasaan. Bukan hanya eksekutif, fenomena turunnya mahasiswa secara nasional tanpa kita tahu kapan mereka berkonsolidasi atau fenomena gerakan anak STM yang bergerak secara spontan, masif bahkan diskusi mereka untuk melakukan aksi pun terpampang jelas di media sosial. Lebih tepatnya sekarang bisa kita katakana, Leaderless Social Movement 4.0, gerakan yang dipimpin oleh kesamaan ketertarikan dan pilihan sikap politik. Para aktivis senior masih sibuk membaca peta gerakan ini, sedang gerakan Online to Offline terus berlanjut pada aksi-aksi masa yang masif dan hanya bisa kita pahami saat terjadi kerumunan masa.
Semoga para tokoh segera bisa membaca peta konflik dan perannya, agar negeri ini tidak semakin terpuruk tanpa solusi. Jangan lagi berfikir siapa tunggangi siapa, ini saatnya para tokoh hadir memberikan konten dan tujuan yang tepat agar fenomena ini berujung kepada kebaikan bukan kehancuran negeri yang sering juga disebut sebagai gugusan nusantara.
(Penulis adalah aktivis sosial pinggir kota)