AKSI massa mahasiswa didukung siswa STM/SMA di gedung DPR dan kawasan sekitar Pejompongan dan Slipi kemarin petang, Senin 30 September 2019, menyisahkan cerita. Kiriman foto, video dan siaran livestreaming dari berbagai media sepertinya tidak cukup. Bahkan kabar burung yang bersliweran di layar hape pun terasa belum lengkap.
Aku masih ingin mencari informasi mengenai demo kemarin sore. “Ada rasa penasaran, benarkah banyak yang tewas? Ada yang menyebut 11 jiwa ditembus timah tajam petugas, ratusan orang digotong ke rumah sakit akibat sambaran peluru karet atau kena gas air mata, termasuk isu penculikan.”
Semua itu membuatku kian ingin mengeduk info lebih dalam dari teman-teman yang ada di lapangan, selain mengikuti pemberitaan dari berbagai media.
“Yah, Dede hampir diculik orang ketika berkumpul di Univeritas Atmajaya, Semanggi,” ujarnya membuyarkan pikiranku yang sedang mengetik outline buku Down Syndrome.
“Kamu kok tau mau diculik?”
“Iya. Ada orang bertubuh gempal, rambutnya gondrong. Dia sejak tadi mengikuti Dede ke mana-mana. Terakhir dia mendekati Dede di Atmajaya. Trus ada teman bilang, Zhaf hati-hati kamu mau diculik orang itu, menjauuhhh ke sini…” Dede bercerita semangat di sebelahku.
Dede nama benarnya adalah Muhammad Zhafran anak ketigaku berusia 19 tahun. Dia, saat ini, menjadi mahasiswa di Kalbis Institute sebuah perguruan tinggi yang berdiri menjulang di kawasan bypass, Jakarta Timur.
“Trus kamu ngapaian setelah tau mau diculik?”
“Dede pergi, menyelinap di antara teman-teman. Banyak cewe Atmajaya melindungi,” ucapnya terkekeh sembari menyibakkan rambuknya yang awut-awutan.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Selanjutnya berkata, “De, tadi pagi Abangmu pesan ke Ayah agar kamu tak ikut-ikutan demo.”
“Yaaa….Abang kan ga mau mikirin negara, biarain aja dia, Yah!”
Hampir saja aku ketawa ngakak ketika mendengar jawaban seperti itu. Anak yang baru duduk di bangku kuliah sudah bicara negara. Bukannya aku under estimate tentang Dede, tetapi kalau melihat tingkahnya dari kecil hingga menginjak dewasa kalimat yang diucapkan, “mikirin negara” membuatku ngempet ketawa, “hanya kuledakkan di perut.”
Setahuku, Dede itu anak yang cuek bebek terhadap masalah politik. Sejak lulus SMA Muhammadiyah Rawangun, Jakarta Timur, dia aktif kuliah dan bermain basket. Hidupnya hanya untuk ke kampus, berkumpul dengan teman-temannya, berlatih dan bertanding basket. “Dia tak punya tanda-tanda sebagai aktivis.”
Dede melanjutkan cerita sembari mengunyah nasi di kursi, “Tau ga Yah, intel yang ngikutin Dede kemarin sore digebukin anak-anak STM. Dia ditangkap dan dikeroyok, untung saja bisa lolos. Kalo engga intel itu bisa bonyok semua!” (choi)