Oleh: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Jika di pilpres bulan April lalu Jokowi tampak begitu perkasa. Sulit untuk dilawan. Aparat, ASN, ormas besar, pengusaha, media dan para pendukung, baik premium maupun militan, berada dalam satu barisan yang rapi dan kokoh. Mereka dikendalikan dengan kekuatan yang sangat sistematis dan terstruktur. Berpengalaman dan profesional. Bagaimana dengan KPU, Bawaslu dan MK? Rakyat sudah menyimpan catatannya masing-masing.
Sementara Prabowo, lawan politik Jokowi, sekali menghadapi tekanan, menyerah pasrah. Semua pasukan pendukungnya berantakan. Terutama para ulama. Satu persatu pendukung disibukkan dengan kasus hukum. Sebagian sudah ditangkap dan ditahan. Perlawanan berakhir ketika Prabowo bertemu dengan Jusuf Kalla, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan dua kali jumpa dengan Budi Gunawan (BG). Puncaknya adalah pertemuan di MRT Lebak Bulus dengan Jokowi dan pesta nasi goreng bersama Mega di Teuku Umar. Publik menyebutnya: inilah rekonsiliasi. Prabowo betul-betul telah menyerah kalah.
Masuknya Prabowo ke kubu PDIP membuat Megawati makin percaya diri. Ia bisa tekan Jokowi. Apalagi jika Golkar ikut bergabung. Emang mau? Kalau negonya cocok, kenapa tidak? Golkar itu partai rasional. Terutama jika menyangkut bagi-bagi jabatan.
Menyadari keadaan ini, para jenderal istana dan Surya Paloh tak tinggal diam. Berbagai manuver dilakukan. Sejak saat itu, di kubu Jokowi terjadi pertempuran dua kubu. Kubu Teuku Umar dimana BG ada di blok ini. Bahkan menjadi tokoh sentral yang sangat berpengaruh. Satunya lagi adalah kubu Gondangdia. Yaitu kubu Surya Paloh cs.
Di tengah dua kelompok ini sedang berebut pengaruh dan adu kuat untuk menekan Jokowi, kasus Papua meledak. Kerusuhan, penganiayaan, pembakaran hingga pembunuhan terus terjadi. Tak kurang dari 32 orang meninggal di kerusuhan Wamena. Belum lagi ratusan gedung perkantoran, ruko dan rumah yang dibakar.
Berbarengan dengan kasus Papua, mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia bergerak. Mereka turun ke jalan dan demo, menuntut revisi UU KPK dibatalkan. Mereka juga menolak RKUHP, RUU Pertanahan, RUU ketenagakejaan. Bahkan sebagian menuntut Jokowi mundur. Tuntutan mundur ini serius, atau hanya asesoris? Semua akan bergantung pada eskalasi demo itu sendiri.
Situasi makin sulit ketika aparat dianggap oleh mahasiswa telah bersikap represif. Ada mahasiswa yang dikabarkan retak tengkorak kepalanya. Salah satunya adalah Faisal Amir, mahasiswa Al-Azhar. Keadaannya sedang kritis. Di Kendari, ada dua mahasiswa mati tertembak. Di Sulawesi Selatan “kabarnya” ada satu mahasiswa terlindas mobil Barakuda. Videonya viral. Berbagai video lain menunjukkan sejumlah mahasiswa yang digebukin, ditendang, diseret, dikejar hingga masuk rumah dan masjid. Bahkan diburu hingga masuk markas TNI AL.
Tidak hanya mahasiswa, para petugas medis pun mengaku mendapatkan perlakukan yang sama. Ada yang mukanya bengkak seperti bekas dipukul. Siapa yang mukul? Masih dalam penyelidikan.
Situasi ini semakin menimbulkan kemarahan, baik mahasiswa maupun rakyat pada umumnya. Tidak saja mahasiswa yang marah, tapi juga anak-anak pelajar seperti STM.
Di saat situasi semakin menghawatirkan, ada setidaknya empat kebakaran dalam tiga hari. Kebakaran bus Transjakarta di Pondok Cabe Ciputat, kebakaran pasar mobil di Kemayoran, kebakaran pabrik Sritex di Solo dan kebakaran lahan gambut di dekat bandara Kertajati Bandung. Kebakaran atau dibakar? Belum jelas. Adakah kaitannya dengan kerusuhan akhir-akhir ini? Belum juga diketahui. Berbagai praduga dan spekulasi muncul.
Sejumlah kasus yang terjadi akhir-akhir ini membuat posisi Jokowi nampaknya makin sulit. Jika dulu istana dan struktur pendukungnya kompak dan saling bahu membahu menghadapi masalah, maka kini kekompakan itu mulai memudar. Kenapa? Karena semua kubu sedang sibuk berebut jatah.
Jokowi mau terbitkan Perppu, PDIP keberatan. Majalah Tempo dan Gatra yang semula dianggap menjadi bagian dari pendukung istana, kini berbalik dan aktif menyerangnya. Mengkritik maksudnya. Tak sedikit juga para pendukung militan Jokowi yang kecewa karena kenaikan iuran BPJS yang dianggap terlalu memberatkan. Kekecewaan ini akan terus naik gelombangnya jika kehidupan rakyat makin susah.
Adu kuat para pendukung istana di tengah berbagai problem bangsa yang semakin “tak bisa ditebak ujungnya” ini membuat kekuatan Jokowi tampak semakin melemah. Jokowi berada diantara tumpukan kasus kerusuhan yang eskalasinya terus meningkat. Gelombang demonstrasi, baik di Jakarta, Sulawesi Selatan, Kendari, Papua dan daerah-daerah lainnya jika tak terpenuhi tuntutannya akan membuka peluang bagi sejumlah kubu untuk semakin kencang menekan Jokowi.
Ini ujian terutama terhadap kemampuan dan kematangan leadership Jokowi. Jika salah sikap dan penanganan, maka eskalasi demonstrasi mahasiswa bisa semakin membesar dan bahkan liar. Dan ini bisa melahirkan situasi yang betul-betul tak terduga. Apa itu? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Dalam kajian tranformasi politik, inilah yang mungkin disebut dengan istilah “kematangan situasi”.
Yang pasti, pertama, Jokowi mesti mampu meredam mahasiswa dengan memberi apa yang mereka tuntut. Apa itu? Mengeluarkan Perppu terkait revisi UU KPK dan “menindak tegas” pihak-pihak yang telah menyebabkan luka dan kematian para mahasiswa. Kedua, memberi bagian yang proporsional terhadap kekuatan-kekuatan di lingkaran istana yang selama ini merasa ikut investasi atas kemenangan Jokowi. Sebut saja kubu Teuku Umar dan Gondangdia cs. Juga kubu Nahdiyin-PKB. Jika kubu yang terakhir ini kecewa, terbuka kemungkinan mereka akan bergabung dengan kelompok umat Islam yang selama ini jadi oposisi. Kalau ini terjadi, Jokowi kelar.
Bagaimana dengan kerusuhan di Papua dan demo kelompok 212? Sejauh ini keduanya belum menjadi kekuatan variabel yang bisa mempengaruhi posisi Jokowi.
Sebaliknya, Jika tuntutan mahasiswa dan tuntutan elit di lingkaran Jokowi tak bisa diselesaikan dengan baik, maka kursi Jokowi akan terus bergoyang.