Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)
Saudaraku, hidup ini hanya sekali. Maka, buatlah yang sekali itu menjadi sesuatu. Waktu dan umur yang kita lewati, sekali berlalu, tak pernah kembali. Ia pergi dengan segenap catatan yang menggoresnya.
Berbuatlah dalam kebajikan, sekecil apapun! Sebab hidup tak mengenal siaran tunda, maka bekerjalah dalam kesungguhan dan keikhlasan. Sekali waktu yang telah berlalu tak akan pernah kembali. Setiap detik yang bergeser dari jam tangan kita telah menjadi sesuatu yang lampau.
Hasan al-Basri, seorang penyair sufi berkata,
“ما من يوم ينشقُّ فجره إلا ويُنادي: يا ابن آدم أنا خلقٌ جديد، وعلى عملك شهيد، فتزوّد منِّي فإني إذا مضيتُ لا أعود .. إلى يوم القيامة”.
“Tidaklah fajar hari ini terbit, kecuali ia akan memanggil, ‘Wahai anak Adam, aku adalah ciptaan yang baru dan aku akan menjadi saksi atas setiap pekerjaanmu, maka mintalah bekal kepadaku. Karena bila aku telah berlalu, aku tak akan kembali hingga hari kiamat tiba’.”
Seringkali, kita berkeluh kesah dalam hidup ini. Padahal, keluh kesah kita tak menyelesaikan persoalan sedikitpun. Merenunglah sejenak. Kata orang bijak, bertafakur satu jam lebih baik dari pada bekerja sepuluh jam tanpa tahu makna dan arti.
Sebab hidup tak mengenal siaran tunda, maka nikmatilah setiap detik yang berlalu. Bukankah, orang Arab berkata, “telur hari ini lebih baik dari pada ayam esok hari”. Dan jangan pernah terjadi, kita berharap air hujan, air di tempayan ditumpahkan. Sebab seringkali, kita tak pandai bersyukur atas karunia nikmat yang begitu besar semata karena kita menganggapnya hal yang biasa saja. Padahal, setiap saat orang buta itu berharap dapat melihat. Setiap saat mereka yang tuli berharap dapat mendengar, dan setiap saat pula mereka yang bisu berdoa untuk bisa berucap. Kita punya semua. Saatnya disyukuri. Raih prestasi. Tak menanti hingga esok menyingsing sebab esok punya aturannya sendiri. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Telur yang pecah dari kekuatan luar; seluruh potensi kehidupan yang dimilikinya berakhir. Telur yang pecah dari kekuatan dalam dirinya, maka ia baru saja memulai episode kehidupan. Kesuksesan hidup selalu bermula dari dalam diri kita, apapun kata orang di luar sana.
Lihatlah sekelilingmu, segera setelah itu pasti engkau akan bersyukur. Lihatlah bagaimana Allah SWT menciptakanmu dengan penuh kesempurnaan. Lihatlah bagaimana Allah SWT memberimu begitu banyak nikmat
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”. (QS Ibrahim:34)
Dengan bertafakur, tersadarlah bahwa kita diciptakan sempurna. Tak kurang suatu apa. Warnailah hari-harimu. Cerialah, sebab Rasulullah ﷺ berpesan, “Senyummu untuk saudaramu bernilai sedekah”.
Kebahagiaan tak dapat kita beli dengan uang, tapi ia dapat kita ciptakan dengan mensyukuri setiap keadaan. Tak usahlah berharap terima kasih dari setiap kebaikan yang kita lakukan. Apalah artinya pujian manusia, jika ia akan merusak nilai kebaikan kita di hadapan Allah, Tuhan semesta alam.
Bersungguh-sunggulah dalam setiap profesi yang kita tekuni. Sebab, Allah SWT tidak meminta hamba-Nya pada hasil, tetapi proses dalam mewujudkan kesungguhan iman.
Suatu hari Bilal bin Rabah, muadzin di zaman Nabi ﷺ, mengemukakan kegundahannya. Sebagai seorang marbot, Bilal sempat mengeluh kepada Rasulallah ﷺ. Katanya, “Ya Rasulallah, orang-orang lain berdagang dan (dengan keuntungan berdagangnya) mereka berinfak, aku cuma seorang muadzin.”
Rasulullah ﷺ membalas,
المؤذنون أطول الناس أعناقاً يوم القيامة
“Para muadzin adalah orang-orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat”.
Dalam riwayat lain, Rasulallah ﷺ menjawab, “Wahai Bilal, tidakkah engkau bahagia bahwa kelak di hari kiamat engkau adalah orang yang paling panjang lehernya.” (HR Muslim).
Panjang leher adalah kiasan untuk menunjukkan amal-amal Bilal dalam menyeru orang pada kebaikan menjadikannya berbahagia di akhirat kelak. Kadang, dari satu pekerjaan kita tak mendapat reward duniawi yang memadai, tetapi yakinlah bahwa skenario Allah SWT selalu yang terbaik.
Seseorang bertanya kepada Ibnul Qayyim,
إذا أنعم الله على الإنسان بنعمة كيف يعرف إن كانت فتنة أم نعمة؟ قال: إذا قربته إلى الله فهي نعمة و إذا أبعدته فهي فتنة.
“Jika Allah memberikan karunia rezeki kepada seorang hamba, bagaimana membedakan antara itu nikmat atau justru fitnah?”. Beliau menjawab, “Apabila karunia itu mendekatkan dirinya pada Allah, maka itu adalah nikmat-Nya. Dan bila semakin menjauhkannya dari Allah, maka itu adalah fitnah yang tak dapat dilaluinya.”
Karena itu, yakinlah di setiap kesulitan hidup, ada sejuta kemudahan. Bukankah Allah SWT berfirman,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿٨﴾
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyiraah: 6-8)
Pada ayat itu, Allah SWT menyebut kesulitan dengan memberikan sisipan huruf alif dan lam (العسر) yang dalam kaidah bahasa Arab berarti ma’rifah atau tunggal. Tetapi, kata kemudahan (يسر) tidak disisipi huruf yang sama. Menandakan apa? Bahwa pada setiap satu kesulitan hidup, ada berjuta kemudahan di depan kita.
Untuk itulah, Ibnul Qayyim berkata lagi,
الِْابْتِلاَءُ فِي الْحَيَاةِ لَيْسَ اِخْتِبَار لِقُوَتِكَ الذَاتِيَة، بَلْ اِخْتِبَارُ لِقُوَةِ اِسْتِعَانَتكَ بِالله
“Segala persoalan dalam hidup ini sesungguhnya tidak untuk menguji kekuatan pribadimu, tetapi menguji seberapa besar kesungguhanmu dalam meminta pertolongan Allah”.
Wallahu a’lam bis showwab.