Judul di atas atas adalah ungkapan Kasman Singodimedjo kepada Haji Agus Salim ketika mengunjungi rumah kontrakannya yang padat lagi becek di Tanah Tinggi Senen Jakarta Pusat. Artimya, “Jalan pemimpin itu tidak mudah. Pemimpin itu menderita”.
Kisa di bawah ini bukan kutipan cerita novel dengan tokoh fiksi. Ini juga bukan cerita film fiksi. Ini juga bukan cerita tentang mahluk-mahluk dari surga yang tidak punya dosa dan kesalahan. Ini adalah kisah nyata tentang para politisi, para tokoh partai yang kesehariannya bergelut dalam dunia politik, yang kata orang kotor dan penuh intrik.
Mohammad Natsir
George Mc. T Kahin dalam buku Menyambut 70 tahun M. Natsir menuliskan kesaksiannya tentang Pak Natsir. Kahin datang ke kantor Kementerian Penerangan untuk bertemu Natsir. Ia menuliskan kesannya, “Saya menemukan seorang yang sederhana dan rendah hati, yang pakaiannya sungguh tidakc memamerkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Malah ia memakai kemeja yang bertambalan yang belum pernah saya lihat pada pegawai manapun dlama suatu pemerintahan; dimana kesederhanaan berpakaian berlaku sebagai suatu norma”, kenang Kahin.
“Kemudian hari barulah saya ketahui bahwa beberapa dari stafnya telah merasa perlu untuk mengadakan suatu koleksi (urunan) sehingga menteri mereka dapat memperoleh barang sepasang dari pakaian-pakaian yang pantas dipakai pada saat-saat penting”.
Saat menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950, Natsir yang tinggal di rumah dinas Jalan Pegangsaan Timur, tak lantas berubah hidup kesehariannya.
Anak-anaknya masih bersekolah menggunakan sepeda ontel. Atau terkadang diantar dengan mobil DeSoto kusam yg dibeli dari uang pribadinya. Isterinya masih sering ke pasar sendirian tanpa kawalan protokoler layaknya isteri pejabat negara.
Semuanya berjalan seperti biasa. Tak ada keinginan untuk memanfaatkan fasilitas dan jabatan untuk kesenangan pribadi dan keluarga.
Saat memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, Pak Natsir menghadap Presiden untuk mengembalikan mandatnya. Dikendarainya sendiri mobil dinasnya dan membiarkan sopirnya mengikuti dengan bersepeda.
Setelah itu, Pak Natsir tak merasa lagi berhak menggunakan kendaraan dinasnya. Mobil itu ditinggal di istana. Ia pulang ke rumah dinasnya berboncengan sepeda dengan sopirnya. Sampai di tempat, Pak Natsir langsung mengajak isteri dan anaknya kembali ke rumah yang ditinggalkan beberapa bulan sebelumnya.
Berpamitan di kantor, sekretarisnya menyerahkan sisa dana taktis cukup besar yang merupakan hak Perdana Menteri. Pak Natsir menolak menerimanya, semata karena saat itu sudah tak menjabat sebagai Perdana Menteri sehingga tak merasa berhak lagi atas uang tersebut. Uang itu akhirnya dihibahkan ke koperasi pegawai.
Sjafrudin Prawiranegara
Tokoh Masjumi lainnya yg menjadi pejabat negara dan hidup sederhana adalah Sjafrudin Prawiranegara. Sjafrudin pernah menjabat Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Namun itu semua tak lantas membuatnya hidup dalam gelimang kemewahan.
Sjafrudin adalah pencetus pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). ORI yang digagas Sjafrudin inilah yang kemudian menjadi cikal bakal mata uang Rupiah.
Sebagai seorang Menteri Keuangan di masa sulit, Sjafrudin juga merasakan kesulitan yg sama yang dirasakan oleh rakyat. Sejak pindah ke Jakarta dari Bandung, Sjafrudin hidup dalam kekurangan. Padahal ia seorang pejabat negara. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia harus menjual barang-barang pribadinya, termasuk koper pakaian yang dimilikinya.
Bahkan saat anak ketiganya, Chalid, lahir Menteri Sjafrudin tak mampu membeli gurita buat bayi. Ia terpaksa menyobek kain sprei karena tidak punya kain lain yang layak.
Sebagai pribadi dan pejabat negara, apa yang dilakukan oleh Sjafrudin Prawiranegara adalah teladan yang luar biasa. Ia tak memanfaatkan kedudukannya sebagai Menteri Keuangan untuk memperkaya diri, keluarga, dan kerabat dekatnya. Sebaliknya justru ia memerintahkan agar seluruh rakyat bisa berhemat dan saling membantu tetangganya yang hidup kesulitan.
Sungguh indah didengar, jika saat ini ada menteri atau pejabat negara lainnya yg menyerukan sebagaimana dilakukan oleh Sjafrudin.
Suatu ketika, AR Baswedan (kakek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) yang juga anggota Partai Masjumi menghubungi Sjafrudin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kepada Pak Sjaf, Baswedan memohon diluangkan waktu bagi sahabatnya seorang pengusaha dan juga anggota Partai Masjumi dari Surabaya. Orang itu ingin sekali bertemu dengan Pak Sjaf.
Kepada AR Baswedan, Pak Sjaf kemudian bertanya, ada keperluan apa shg orang itu ingin sekali ketemu dirinya? Baswedan tak tahu.
Lalu Pak Sjaf mengatakan, “Kalau orang itu ingin bertemu untuk urusan pribadi, maka datanglah ke rumah setelah jam kantor. Jika ingin bertemu untuk urusan partai, maka datanglah ke kantor Masjumi, dan ia akan menemui seusai jam kantor. Namun jika urusannya terkait dengan Bank Indonesia, maka Pak Sjaf menyarankan agar orang itu mengikuti prosedur yang ada, sebagaimana berlaku bagi semua orang”.
Haji Agus Salim
Meski bergaul dalam dunia internasional, Haji Agus Salim tak pernah larut dalam hidup yang serba mewah dan glamour. Ia bersahaja dan sederhana. Penampilannya khas, kopiah dan janggut panjang yang menjuntai. Beberapa dokumentasi fotonya terlihat bagaimana celana pantalon yang ia kenakan terlihat menjuntai ke bawah karena kepanjangan. Kopiahnya kusam. Bajunya bukan merk ternama. Janggut yang bertengger di dagunya kerap menjadi ledekan para aktivis komunis.
Ketika Salim tampil di podium yang juga dihadiri tokoh-tokoh komunis, mereka spontan mengeluarkan suara mengembik, menirukan suara kambing. Salim tak kurang akal, di atas podium ia mengatakan, “Saudara-saudara sekalian dan para kambing yg hadir…” Orang-orang yang meledeknya kemudian tersenyum kecut.
Meski seorang pejabat negara, ia tak memiliki rumah pribadi. Hidupnya dihabiskan dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Salim pernah tinggal di rumah kontrakan di wilayah Karet Tengsin, Tanah Abang. Ia tinggal di Gang Listrik. Anehnya meskipun tinggal di Gang Listrik, rumah Salim pernah hidup tanpa listrik karena tidak sanggup membayar iuran bulanan. Ia juga pernah mukim di kampung yang becek, di Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Ketika Kasman Singodimejo bersama Mohammad Roem mengunjunginya di Tanah Tinggi, meraka harus rela berbecek-becek untuk menuju rumah Salim. Kasman kemudian memuji kesederhanaan Salim dengan ungkapannya yabg terkenal, “Een leidersweg is een lijdenweg. Leiden is lijden”. Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Mereka itu menderita. Memimpin bukan ajang untuk memperkaya diri dan mengumpulkan pundi-pundi harta.
Ketika anaknya meninggal dunia, untuk membeli kain kafan pembungkus mayat pun Salim tak punya uang. Terpaksa ia mengambil taplak meja dan kelambu untuk membungkus mayat putranya itu. Ketika ada yang membawa dan menawarkan kain kafan yang bagus, Salim menolak dengan halus pemberian itu. Ia mengatakan, “Orang yg masih hidup lebih berhak memakai kain yang baru. Untuk yang mati cukuplah kain itu”.
Prawoto Mangkusasmito
Dengan mengenakan sarung, baju koko, kopiah hitam dan sandal kulit, Prawoto Mangkusasmito sebagai Ketua Partai Masjumi menghadiri undangan Presiden Soekarno ke istana bermasa Sutan Sjahrir, Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang pada waktu itu datang dengan setelan jas lengkap.
Baju koko, sarung, kopiah, kacamata, dan jenggot panjang adalah ciri dari penampilan Prawoto Mangkusasmito. Ciri inilah yang begitu berkesan pada tokoh pers, Mochtar Lubis, saat ia mengenang sosok Prawoto.
Meski berpenampilan sederhana, namun Prawoto termasuk sosok pemimpin dan tokoh bangsa yang berkelas. Ia dikenal sebagai pemimpin yang memiliki karakter kuat dalam membela keyakinan yang dianutnya, tidak pragmatis, apalagi bisa dibeli oleh kesenangan sesaat.
Prawoto merumuskan hidup sederhana, sebagaimana ditulis dalam buku Aliran Fikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, dengan tahu batas-batas arti minimal, dan tahu pula batas-batas arti maksimal. Artinya seorang pemimpin tdk hrs menjadi orang miskin sekali, tetapi juga tdk perlu pula hidup yang bergelimang kemewahan dunia.
Ketika Prawoto meninggal, tokoh Partai Katolik Indonesia, IJ. Kasimo, memberikan sambutan dengan mengatakan, “Pengorbanan dan kepemimpinannya selama hidupnya tidak sia-sia. Kejujuran, kesederhanaan hidup, tawakal, dan kegigihannya dalam mempertahankan prinsip-prinsip benar telah menjiwai kemerdekaan kita. Kita kehilangan pemimpin yang berwatak”.
Ketika tahu bahwa Prawoto belum memiliki rumah, Kasimo bahkan berinisiatif mengumpulkan sumbangan agar tokoh Masjumi itu bisa memiliki tempat tinggal.
(Dinukil dari buku Belajar Dari Partai Masjumi, Attawijaya)
Penutup
Para tokoh dan aktivis Partai Masjumi adalah orang-orang yg hidup sederhana, teguh pendirian, dan terdidik (well educated). Mereka sangat menguasai soal-soal keagamaan, pemikiran-pemikiran Islam, terutama tentang politik ketatanegaraan. Tapi mereka juga menguasai pemikiran dan Filsafat Barat, terutama politik ketatanegaraan dan demokrasi, karena mereka kebanyakan menempuh pendidikan Barat ala Belanda.
Mereka bukan tipe Muslim yang silau dengan ilmu Barat modern yang pernah dipelajarinya, kemudian melepaskan identitasnya sebagai Muslim. Justru mereka adalah pejuang-pejuang gigih dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam melalui politik dan pemerintahan. Mereka meyakini, seperti kata Natsir, “Islam itu agama yg cukup dan cakap mengatur kehidupan. Kalaupun besar tidak melanda, jikapun tinggi malah melindungi”.
Politik yang kotor dan penuh intrik tak membuat mereka terjerumus ke dalam syahwat duniawi. Sungguh suatu kombinasi sosok yang sulit ditemui pada para politisi dan pemimpin bangsa diera sekarang. Suatu waktu Cak Nur (Nurcholish Madjid) pernah mengatakan bahwa tokoh-tokoh Masyumi ini hidup melampaui zamannya.
(Artikel diambil dari WAG tanpa menyebut dan sumber tulisan)