Oleh : Syahganda Nainggolan
Hari ini saya memfoto seorang tentara membonceng istrinya berjilbab. Dan membaca berita soal pakaian anggota Paskribaka berjilbab, pake rok panjang atau celana panjang pada HUT Indonesia di istana tgl 17 Agustus 2019.
Belakangan ini soal jilbab dipersoalkan banyak kelompok2 anti Islam sebagai keanehan budaya Indonesia. Budaya Indonesia katanya adalah budaya adat, termasuk pake Koteka, namun jilbab tidak masuk budaya kita.
Setelah memfoto tentara tadi dari belakang, saya coba melihat wajah mereka dari depan. Saya pepetkan sedikit mobil saya. Terlihat wajah-wajah sejuk pada kedua pasangan muda tersebut. Sang laki membawa ransel besar di depan, kelihatannya akan pergi tugas meninggalkan istri.
Pada sekitar Maret atau April 1995, istriku menggunakan jilbab. Suatu hari di staisun kereta Rotterdam di menyempatkan diri membaca majalah2 di toko yang ada di stasiun. Berkali2 meneer pemilik toko memandang aneh ke arah istri saya. Dia baru sadar dia menarik perhatian pemilik toko, karena hampir tidak ada perempuan berjilbab membaca majalah2 berbahasa Belanda. Umumnya pemakai jilbab di masa itu adalah ibu2 keturunan imigran Turki dan Maroko, yang diidentifikasi sebagai masyarakat non pendidikan kala itu. (Sekarang tentu berubah pada generasi Islam baru di sana).
Cerita istriku bahwa dia berjilbab membuat saya sebagai suami tenang di Indonesia. Kami masih terpisah beberapa bulan sebelum dia menyusul karena kontrak kerjanya sampe Juni 1995 di Lembaga Psikologi Den Haag yang mengurusi sekolah2.
Berjilbab bukanlah berhijab. Berhijab adalah “melindungi diri” dari pergaulan bebas. Perempuan tidak mengeksploitasi sensuality untuk menggoda baik secara langsung, maupun meng-attrack konsumen dalam bisnis (misalnya apa hubungan jualan mobil mewah dengan salesgirl seksi di mal2? atau jualan sabun mandi dengan perempuan setengah telanjang?).
Kapitalisme dan eksploitasi sensuality adalah dua sisi mata uang dari coin yang sama. Mereka bekerjasama untuk menjual produk dari sekedar kebutuhan menjadi hawa nafsu. Dan hijab adalah cara untuk melindungi prempuan2 dari eksploitasi nafsu manusia.
Dalam membicarakan hijab jilbab merupakan salah satu pintu masuk. Tidak semua perempuan berjilbab lalu berhijab. Ada saja deviasi dalam kasus ini. Namun, syarat penting berhijab adalah berjilbab.
Ketika melihat tentara tadi, saya membayangkan dia akan tenang dalam berdinas, pabila istrinya berhijab. Itu adalah persembahan mulia istri terhadap suami. Saya dulu juga merasa nyaman dengan istri saya berpisah 4 bulan, ketika dia berjilbab dan berhijab. Itu adalah pengorbanan istri. Setidaknya dengan berjilbab, lingkungan yang dimasuki mereka otomatis merespon dengan respek yang berbeda.
Pada tahun 94 atau 95 sebuah majalah internasional berbahasa Inggris memuat foto perempuan2 Indonesia tersiksa karena harus berjilbab diterik matahari. Soal terik matahari tentu 25 an tahun lalu Bogor tempat saya SMA begitu dingin dan penuh hujan, begitu juga Bandung tempat saya kuliah dulu, masih harus memakai jaket. Majalah itu memang niatnya menyerang. Kalau ingin menyerang, tentu sekarang lebih terik lagi. Syukurnya, orang berjilbab tidak mengeluh karena kepanasan. Bahkan, sebagiannya bersyukur sebagai pelindung dari debu dan polusi yang momer satu di dunia, seperti Jakarta.
Seorang professor dari Notre Dame University USA yang menyelidiki soal jilbab di Indonesia, berkesimpulan saat ini justru jilbab sudah dimasuki industri kecantikan. Sebagai industri, perempuan2 berjilab, seperti emak-emak pendukung Sandiaga Uno, begitu keren-keren, cantik-cantik dan semoga juga ini bagian dari hijab mereka. Soal fashion, “korbannya” adalah saya juga. Ketika anak saya kecil, keduanya memaksa pake jilbab, sehingga dilarang neneknya Van De Eijnden untuk mengunjungi mereka (opa/oma).
Sebelumnya mertua perempuan saya tersebut juga suka mengeluh karena istri saya pake jilbab, kalau di Belanda. Mengeluh karena di sana saat ini anti-Islam (Islamophobia) berkembang.
Apakah alasan berjilbab karena trend atau karena ingin berhijab, itu membuat nusantara ini berubah dari mayoritas perempuan-perempuan tidak berjilbab, menjadi berjilbab. Kofifah berjilbab, Rachmawati Soekarnoputri berjilbab, istri-istri jenderal berjilbab, dan lain sebagainya. Tapi apakah ini artinya adat Nusantara sudah mati?
Tentu saja tidak. Berjilbab memang mendorong berkurangnya eksploitasi sensuality, baik dalam ruang publik, maupun iklan. Dengan berkurangnya eksploitasi sensuality maka akan mendorong hubungan sosial yang lebih substantif. Dalam marketing mobil misalnya, SPG harus menjelaskan komponen-komponen mobil daripada membuka belahan dada yang tidak relevan. Atau iklan sabun harus menjelaskan kandungan kimianya, ketimbang kulit tubuh perempuan-perempuan.
Hubungan sosial yang substantif akan meningkatkan drajat perempuan, sama dengan laki-laki. Itulah emansipasi yang dikejar. Sedangkan pakaian adat, misalnya, dan jilbab dapat menjadi pengayaan, bukan suatu bentuk negasi.
Kita gembira tentara-tentara, polisi, pegawai negeri istrinya pake jilbab. Kita juga akan senang pengibar Paskribaka banyak yang memakai jilbab (tadinya ketika anak saya gagal seleksi di tingkat Kota Jaksel, saya curiga juga urusan jilbab). Kementerian pemuda yang dinakhodai tokoh Nahdatul Ulama, mendukung saja soal ini. Ketua panitia Paskribaka, Mensekneg, kepercayaan Jokowi juga ok soal pengibar bendera berjilbab, artinya urusan jilbab ini tidak perlu lagi dibentur-benturkankan dengan adat Nusantara.
Kita harus menatap ke depan. Apakah ada masalah pergaulan antara perempuan-perempuan di Indonesia karena perbedaan pakaian? Jika ada bagaimana menyelesaikannya. Apakah jilbab sebagai trend fashion bisa dikendalikan? Sehingga jilbab bisa lebih sebagai fungsi hijab?
Still many questions untuk direnungkan.