thayyibah.com :: Mendapatkan kepastian dalam pembayaran dan penyelesaian tanggungan dari patner usaha merupakan harapan setiap pengusaha. Keinginan ini wajar mengingat kelangsungan usaha sering terkait erat dengan soal ini. Allah Ta’ala memahami hal ini, karenanya, syariat Islam mengajarkan beberapa kiat manjur guna mewujudkan kepastian. Yang diajarkan dalam syariat ialah memungut gadai atau jaminan barang atas setiap hak Anda yang tertunda.
Dengan demikian, bila patner niaga Anda lalai atau tidak kuasa memenuhi kewajibannya, Anda dapat melelang barang gadai itu.
Hal tersebut Allah ajarkan sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya: “Bila kalian berada dalam perjalanan (dan kamu bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan tidak mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang yang digadaikan yang diserahterimakan (kepada pemberi piutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Agar merasakan keberkahan syariat, saya mengajak Anda mengenal lebih jauh tentang syariat pergadaian.
Akad gadai bertujuan memberi kepastian kepada kreditur dan semacamnya atas harta atau haknya yang terutang. Tentu biasanya tidak terwujud sempurna, kecuali bila barang gadai memenuhi dua ketentuan berikut: (1) Halal; dan (2) Memiliki nilai ekonomis (jual), dan akan lebih baik bila nilai jualnya sama atau minimal mendekati nominal piutang.
Imam As Syafi’i berkata, “Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka keinginannya itu tidak dibenarkan, mengingat dalam Islam anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga halnya setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan.” (Al-Um oleh Imam Syafii 3/162)
Barang Gadai adalah Amanah
Mengingat berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terutang, dan bukan sebagai pembayaran, barang gadai berstatus amanah. Maka, konsekuensinya: (1) Debitur wajib menjaga barang gadai dengan baik; dan (2) Bila ada kerusakan tanpa disengaja atau murni karena kesalahan, pemilik uang (kreditur) tidak wajib menggantinya. Bahkan andai debitur mensyaratkan agar kreditur mengganti kerusakan yang tidak disengaja, persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi (Lihat Al-Um oleh Imam As Syaafi’i 3/168, I’anatut Tholibin oleh Ad-Dimyathy 3/59, Fathul Mu’in oleh Al-Malibaary 3/59, dan Nihatuz Zain Oleh Muhammad Nawawi Al-Bantany hal. 244).
Hal tersebut berdasarkan hadis: “Barang gadai tidak dapat diangggap hangus. Barang gadai adalah milik debitur (orang yang berutang). Miliknya segala keuntungan barang gadai sebagaimana ia juga menanggung segala kerugiannya.” (HR. As-Syafii, Ibnu Majah & Ad-Daraquthni)
Piutang tidak berkurang karena barang gadai rusak yang terjadi tanpa disengaja atau karena kesalahan. Ketentuan ini bagian dari konsekuensi status amanah pada barang gadai (Mughnil Muhtaaj oleh As Syarbiiny 2/137).
Imam As-Syafi’i berkata, “Bila Anda menggadaikan suatu barang, dan terjadi kerusakan pada barang gadai setelah barang gadai diserahkan kepada kreditur, maka ia bebas dari tanggung jawab, sebagaimana nominal piutang Anda tidak berkurang sedikit pun dari jumlah semula.” (Al-Um oleh Imam As Syaafi’i 3/167)
Kreditur (Pemberi Uutang) Haram Memanfaatkan Barang Gadai
Status barang gadai sebelum dan sesudah digadaikan adalah milik debitur. Debitur pula yang berhak memungut manfaat barang gadai. Ada pun kreditur hanya berhak mendapatkan jaminan keamanan atas hartanya yang terutang itu. Ketentuan ini tetap berlaku walaupun debitur mengizinkan kreditur memanfaatkannya. Pemanfaatan barang gadai oleh kreditur dalam Islam dianggap bentuk riba (Fathul Mu’ain oleh Al-Malibaary 3/57, dan Nihaayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi Al-Bantany hal. 244).
Penjelasan itu selaras dengan pernyataan beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian disepakati sebagai kaidah baku oleh para ulama. Yakni: “Setiap piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.” Ketentuan ini berlaku pada semua jenis barang gadai, selain hewan ternak atau makhluk hidup yang membutuhkan biaya perawatan dan pakan agar tetap hidup.
Disebutkan dalam hadis: “Binatang tunggangan bila digadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biaya pakannya. Hewan ternak bila menghasilkan susu, maka air susunya boleh diminum sebagai imbalan atas biaya pakannya. Namun orang (kreditur) yang menunggangi dan meminum susunya berkewajiban untuk memberikan pakan kepada hewan gadai tersebut.”(HR. Bukhori)
Ada pun barang gadai, selain hewan ternak, tidak dapat diserupakan dengan hewan ternak, mengingat: (1) Selain hewan ternak tidak membutuhkan pakan; dan (2) Selain hewan ternak, nilai jual biasanya tidak hilang atau sirna kalaupun tidak dirawat.
Bila Jatuh Tempo, Barang Gadai Boleh Dilelang Guna Melunasi Utang
Bila utang telah jatuh tempo, tapi debitur belum kuasa melunasi, sementara kreditur enggan menunda pelunasan haknya, barang gadai dapat dijual/dilelang guna melunasi utang. Namun perlu diketahui, yang berhak menjual barang gadai adalah debitur sebagai pemilik barang. Akan tetapi, bila debitur enggan menjualnya sendiri, kreditur berhak mengajukan gugatan ke pengadilan agar pengadilan melelang barang gadai tersebut. Sedangkan pemilik uang tidak berhak menjual barang gadai di tangannya, kecuali seizin debitur atau mendapat limpahan wewenang dari pengadilan. Urutan ini dilakukan demi menjaga keutuhan harta debitur. Mengingat status harta setiap muslim adalah terjamin keamanannya, sedangkan di antara syarat sahnya setiap akad adalah didasari oleh asas suka-sama suka.
Kemudian, bila pada akhirnya barang gadai dilelang, kreditur-lah yang paling berhak memungut hasil penjualan barang gadai sebesar haknya yang diutang oleh debitur. Bila hasil penjualan barang gadai melebihi nominal haknya, sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada debitur. Namun sebaliknya, bila kurang, debitur wajib membayar kekurangannya.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’ala bisshawab.***
Pull-Quote:
- “Bila kalian berada dalam perjalanan (dan kamu bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan tidak mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang yang digadaikan yang diserahterimakan (kepada pemberi piutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
- “Barang gadai tidak dapat diangggap hangus. Barang gadai adalah milik debitur (orang yang berutang). Miliknya segala keuntungan barang gadai sebagaimana ia juga menanggung segala kerugiannya.” (HR. As-Syafii, Ibnu Majah & Ad-Daraquthni)
- “Binatang tunggangan bila digadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biaya pakannya. Hewan ternak bila menghasilkan susu, maka air susunya boleh diminum sebagai imbalan atas biaya pakannya. Namun orang (kreditur) yang menunggangi dan meminum susunya berkewajiban untuk memberikan pakan kepada hewan gadai tersebut.”(HR. Bukhori)
Resume Gadai Syariah yang Syar’i
- Gadai ketika utang dibolehkan dalam syariat berdasarkan Al-Quran dan sunah.
- Fungsi barang gadai adalah sebagai jaminan atas utang. Karena barang gadai harus memenuhi dua syarat: (1) Halal, dan (2) Memiliki nilai ekonomis, minimal sama atau lebih tinggi dari utang yang diberikan.
- Barang gadai adalah amanah yang wajib dijaga dengan baik oleh debitur. Konsekuensinya, (1) Jika terjadi kerusakan, kreditur sekali tidak bertanggung jawab, dan (2) Piutang tidak berkurang, meski barang gadai rusak.
- Kreditur tidak boleh memanfaatkan barang gadai, meski seizin debitur. Memanfaatkan barang gadai sama dengan mengambil untung dalam utang, dan statusnya riba.
- Kreditur boleh mengambil biaya perawatan barang gadai sesuai kebutuhan.
- Kreditur boleh menjual barang gadai dengan syarat: (1) Sudah jatuh tempo pelunasan, (2) Debitur tidak mampu melunasi utangnya, dan (3) Mendapat persetujuan debitur.
- Jika debitur tidak bersedia membayar utangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, kreditur bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk melelang barang gadai. Setelah barang gadai terjual, kreditur yang paling berhak mengambil hasil penjualan sebesar haknya yang terutang.
Oleh Ustad Dr. Muhammad Arifin Badri
Sumber: Sumber: Majalah Pengusaha Muslim – Edisi April 2012 / PengusahaMuslim.com
Read more https://pengusahamuslim.com/5488-ini-gadai-syariah-yang-syari.html