Oleh: Fahira Idris
Dua belas tahun silam, seorang wanita dari Asia (tak usah sebut nama negaranya) datang ke Perancis untuk kuliah di salah satu universitas terkenal di Paris. Dia memang cerdas, bahasa Prancis dan Inggris-nya juga sangat baik sehingga lulus seleksi.
Sejak mulai kuliah di hari pertama, dia perhatikan bahwa sistem transportasi di Paris menggunakan sistem otomatis. Artinya, Anda beli tiket sesuai dengan tujuan melalui mesin.
Setiap perhentian kendaraan umum, memakai cara self-service, dan jarang sekali diperiksa petugas.
Bahkan pemeriksaan insidentil oleh petugas pun hampir tidak ada, bukan karena manajemennya buruk tapi unsur “trust” dan tertib sosial di sistem transportasi Kota Paris memang sudah baik.
Akhirnya lama kelamaan dia temukan kelemahan sistem ini, dan dengan kelihaiannya itu dia bisa naik transportasi umum tanpa harus beli tiket dan dia sudah memperhitungkan kemungkinan tertangkap petugas karena tidak beli tiket, sangat kecil. Sejak itu, dia selalu naik kendaraan umum dengan tidak membayar tiket.
Ia justru menganggapnya sebagai salah satu cara penghematan sebagai mahasiswa miskin yang dengan cara apapun kalau bisa irit, ya diirit. Dia bahkan merasa bangga karena dianggapnya itu sebagai “kehebatan” yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Empat tahun berlalu, perempuan muda itu pun tamat dengan nilai “cum laude” dari fakultas favorit dan universitas ternama di Paris dengan angka indeks prestasi kumulatif (IPK) yang sangat bagus. Hal itu membuat dirinya penuh percaya diri.
Setelah wisuda, gadis itu pun mulai mengajukan aplikasi surat lamaran kerja ke beberapa perusahan ternama di Paris. Pada mulanya, semua perusahan yang dikirimi surat lamaran via email merespon dengan sangat baik karena IPK-nya yang tinggi dan lulusan universitas top di Paris.
Tapi beberapa hari kemudian, semuanya menolaknya dengan berbagai alasan. Hal ini terus terjadi berulang kali sampai akhirnya membuatnya merasa jengkel dan marah.
Dia bahkan sampai menuding perusahaan-perusahaan itu rasis karena tidak mau menerima warga negara asing meski lulus “cum laude” dari universitas ternama di Paris. Akhirnya, pada suatu hari karena penasaran bercampur dongkol ia memutuskan untuk mengadukannya ke Departemen Tenaga Kerja Prancis di Paris.
Dia ingin melapor sekaligus ingin tahu kenapa perusahaan-perusahaan tersebut menolaknya.
Tapi, ketika bertemu dengan salah satu manager di kantor Depnaker Paris tersebut, ia mendapat penjelasan yang ia dapat di luar perkiraannya. Berikut adalah dialog mereka.
Manager:
Nona, kami tidak rasis, sebaliknya kami sangat mementingkan Anda.
Pada saat anda mengajukan aplikasi pekerjaan di perusahan, kami sangat terkesan dengan nilai akademis dan pencapaian Anda.
Sesungguhnya, berdasarkan kemampuan, Anda sebenarnya adalah golongan pekerja yang kami cari-cari.
Nona:
Kalau begitu, kenapa perusahan-perusahaan tersebut tidak menerima saya bekerja?
Manager:
Jadi begini, setelah kami periksa di “database” kami menemukan data bahwa Nona pernah tiga kali kena sanksi tidak membayar tiket saat naik kendaraan umum.
Nona (kaget): Ya, saya mengakuinya. Tapi, apakah karena “perkara kecil” tersebut semua perusahaan boleh menolak saya?
Manager:
Perkara kecil?
Kami tidak menganggap itu perkara kecil, Nona. Kami lihat di “database” Anda pertama kali melanggar hukum terjadi di minggu pertama Anda masuk di negara ini. Saat itu petugas percaya dengan penjelasan yang Anda bahwa Anda masih belum mengerti sistem transportasi umum di sini. Itu sebabnya kesalahan tersebut diampuni. Namun Anda tertangkap dua kali lagi setelah itu.
Nona:
Ohh, waktu itu karena tidak ada uang kecil saja.
Manager:
Tidak, tidak. Kami tidak bisa terima penjelasan Anda. “Jangan anggap kami bodoh”. Kami yakin Anda telah melakukannya ratusan kali sebelum tertangkap.
Nona:
Well, baiklah. Tapi, itu kan bukan kesalahan mematikan..? Kenapa harus begitu serius? Lain kali saya perbaiki dan berubah, kan masih bisa?
Manager:
Maaf, kami tidak menganggap demikian, Nona. Perbuatan Anda membuktikan dua hal: Pertama, Anda tidak mau mengikuti peraturan yang ada. Anda pintar mencari kelemahan dalam peraturan dan memanfaatkannya untuk diri sendiri. Kedua, Anda tidak bisa dipercaya !
Nona, banyak pekerjaan di berbagai perusahaan di negara Perancis ini bergantung pada kepercayaan atau “trust”
Jika Anda diberikan tanggung jawab atas tugas di sebuah wilayah, maka Anda akan diberikan kuasa yang besar.
Karena efisiensi biaya, kami tidak akan memakai sistem kontrol untuk mengawasi pekerjaanmu.
Hampir semua perusahan besar di Perancis ini mirip dengan sistem transportasi di negeri ini. Oleh sebab itu, kami tidak bisa menerima Anda, Nona. Dan saya berani katakan, di negara kami bahkan seluruh Eropa, tidak akan ada perusahan yang mau menggunakan jasa Anda.
Pada saat itu, wanita ini seperti tertampar dan terbangun dari mimpinya dan merasa sangat menyesal. Tapi, penyesalan selalu datang terlambat ketika nasi sudah jadi bubur atau peristiwa buruk telah terjadi.
Perkataan manager yang terakhir membuat hatinya bergetar dan sangat menyesal. Ia akhirnya terdiam seribu bahasa tidak bisa berkata apapun.
Sahabatku,
Ada pesan moral yang sangat berharga yang bisa kita petik dari kisah nyata mahasiswi pintar tersebut.
Moral dan etika (attitude) itu amat sangat penting, bahkan ditempatkan di atas kepintaran, kecerdasan atau kegeniusan.
Dalam kehidupan sosial, moral dan etika (attitude) seseorang bisa “menutupi kekurangan IQ atau kepintaran intelektual”. Tetapi IQ atau kepintaran, bagaimanapun tingginya, tidak akan bisa menolong etika moral dan integritas yang buruk.
Samuel Johnson (1709-1784), sastrawan Inggris mengatakan:
Knowledge without integrity is dangerous and dreadful. (Pengetahuan tanpa integritas pasti berbahaya dan mengerikan).
Clive S Lewis (1898-1963), profesor di Universitas Oxford dan penulis novel terkenal Inggris
mengatakan: Integritas adalah melakukan hal yang benar, ketika tidak ada yang melihat.
Integritas dan kejujuran adalah kekayaan yang paling jarang dimliki manusia. Usahakan kita memilikinya.