Seorang wanita bertanya pada penjual telur yg sudah tua,
“Berapa harga telurnya?”
Penjual telur menjawab,
“Satu butir harganya Rp 2.500, Nyonya.”
Wanita itu berkata, “Saya mau mengambil 6 butir tapi dengan harga Rp 12.500 atau kalau ngga ya udah, ngga jadi beli.”
Penjual telur menjawab,
“Baiklah, mungkin ini awal yang baik karena dari tadi tak ada satupun telur yang berhasil saya jual.”
Wanita itu mengambil telur-telur tersebut dan berjalan dengan perasaan senang bahwa dia sudah menang. Kemudian dia masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi ke restoran bersama temannya. Di sana, dia bersama temannya memesan apapun yang mereka sukai. Mereka makan sedikit dan menyisakan banyak dari apa yang sudah mereka pesan. Kemudian wanita tersebut membayar tagihannya. Tagihannya sebanyak Rp 450.000. Dia memberikan uang Rp 500.000 dan berkata bahwa kembaliannya untuk sang pemilik restoran saja.
Kejadian seperti ini mungkin terlihat normal bagi pemilik restoran, tapi sangat menyakitkan bagi penjual telur yg sudah tua.
Mengapa kita selalu menunjukkan bahwa kita punya kuasa ketika kita membeli dari orang-orang yang membutuhkan?
Dan kenapa juga kita jadi dermawan kepada orang-orang yang bahkan tidak membutuhkan kedermawanan kita ?”
Suatu ketika saya pernah membaca, “Ayahku biasa membeli barang- remeh-temeh dari orang miskin dengan harga tinggi, walaupun dia tidak membutuhkan barang-barang tersebut. Kadang-kadanh dia bahkan membayar lebih untuk itu. Aku tertarik pada hal ini dan lantas bertanya mengapa dia melakukannya?
Kemudian ayahku menjawab, “Anakku, ini adalah sedekah yang terbungkus dengan harga diri.”
(Artikel ini diambil dari WAG tanpa nama dan sumber tulisan)