Begitu kuat anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kepada umatnya untuk belajar memanah, hingga banyak keringanan khusus yang berlaku bagi orang yang memanah. Suatu kali Nabi bersama Abu Bakar dan Umar melewati orang-orang yang berlatih memanah. Salah seorang yang hendak melepaskan anak panah berkata, “Demi Allah, ini pasti kena!” Ternyata panahnya meleset. Lalu Abu Bakar berkata, “ia telah melakukan dosa wahai Rasulullah!” Tapi Rasulullah bersabda,
“Sumpahnya orang yang sedang berlatih memanah itu tidak dianggap laghwun, tidak berdosa dan tidak ada kafarahnya.” (HR. Thabrani)
Bahkan berjalannya seseorang untuk mengambil anak panah, dari tempat memanah dengan sasaran bernilai satu kebaikan pada setiap langkahnya, sebagaimana hadits Thabrani. Ini tidak berlaku dalam permainan yang lain. Dari sisi hiburan, permainan ini juga menghibur, dan mungkin ada bumbu canda ria di dalamnya. Imam al-Auza’y menyebutkan kesaksian dari Bilal bin Sa’ad tentang para sahabat yang beliau lihat, “Saya menjumpai suatu kaum, mereka mondar mandir antara tempat memanah dengan sasaran, mereka saling bercanda satu sama lain, namun ketika malam tiba, mereka khusyuk laksana para rahib.”
Sayang, hanya sedikit dari kaum muslimin yang melirik pada permainan yang menyenangkan dan berpahala ini, sedikit pula para mubaligh dan penulis yang memiliki perhatian dalam masalah ini.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, adalah satu dari ulama yang memiliki perhatian besar tentangnya. Dalam buku karya beliau yang berjudul Al-Furusiyah, beliau bukan saja memberikan motivasi, membahas hukum-hukum yang terkait dengannya, bahkan sampai soal teknis bagaimana cara duduknya, cara memegang busur, menarik talinya, membidiknya, hingga cara melepas anak panah dari busurnya.
Berlatih Mengendarai Kuda
Hampir tak ada yang menyanggah, belajar mengendarai kuda itu adalah hiburan yang menyenangkan. Lebih menggembirakan, ternyata olah raga ini mendatangkan pahala. Dalam banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam juga memberikan dorongan kepada umatnya untuk melatih kudanya, berlatih mengendarai kuda, hingga lomba berpacu sering diadakan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.
Meskipun secara fungsi, sebagian bisa tergantikan dengan alat transportasi modern, namun ada sisi yang tak bisa tergantikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menyebutkan keutamaan kendaraan kuda, Allah telah tetapkan pada ubun-ubun kuda itu terdapat kebaikan hingga hari Kiamat, sebagaimana disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,
“Pada ubun-ubun kuda itu, telah ditetapkan kebaikan, hingga hari Kiamat.” (HR Bukhari)
Terlalu mengada-ada jika mengqiyaskan kuda dalam hadits ini dengan kendaraan yang ada di zaman ini. Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam yang satu ini juga banyak ditinggal oleh kaum muslimin hari ini. Padahal di dalamnya ada nilai ketaatan, ada nilai i’dad, menyiapkan kekuatan, dan padanya juga terdapat hiburan yang menyenangkan.
Bercanda dengan Istri
Jika rumah tangga berjalan normal dan harmonis, canda antara suami istri adalah hiburan yang menyenangkan. Bukan saja hati menjadi tenteram dan damai, tapi juga syahwat yang tersalurkan di tempat yang halal. Bertambah lengkap kebahagiaan, karena ini dicatat sebagai sedekah. Hingga seseorang pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,
“Apakah salah seorang di antara kami memperoleh pahala, padahal ia melampiaskan syahwatnya?”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menjawab, “Bagai mana pendapatmu jika syahwat itu disalurkan ke tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Begitulah jika ia salurkan di tempat yang halal, maka ia mendapatkan pahala.”(HR Muslim)
Semoga, Allah menjadikan kecenderungan kita kepada hal-hal yang bernilai ketaatan, dan menjauhkan dari perkara sia-sia dan dosa. Aamiin. [Ustadz Abu Umar Abdillah]
Sumber: http://news.berdakwah.net/2017/05/ini-3-hiburan-yang-menyenangkan-lagi-berpahala.html?m=1