Oleh: Inayatullah Hasyim
Suatu hari, ketika jumlah kaum muslimin semakin banyak, Rasulallah ﷺ memikirkan bagaimana caranya memanggil mereka shalat. Rasulallah ﷺ kemudian berdiskusi dengan para sahabatnya. Sebagian mengusulkan, “Angkat saja bendera, Ya Rasulallah.” Maksudnya, seperti pasukan perang. Bila telah terlihat bendera berkibar, tandanya siap shalat. Rasulallah ﷺ tidak setuju. Sebagian lain mengusulkan dengan membunyikan lonceng seperti di gereja. Juga tidak disetujui.
Diskusi hari itu tak menemukan solusi. Di antara peserta diskusi itu, ada Abdullah bin Zaid. Dia tak henti berfikir apa cara terbaik memanggil kaum muslimin untuk shalat. Sampai, saat tidur, ia bermimpi didatangi seseorang berjubah hijau. Lalu orang berjubah hijau itu mengajarkan kalimat adzan yang sekarang kita kenal.
Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid menceritakan mimpi itu pada Rasulallah ﷺ, dan beliau setuju dengan cerita sahabatnya itu lalu memerintahkan Bilal untuk kumandangan adzan dengan lafadz yang diceritakan tadi. Demi mendengar kumandang adzan Bilal itu kaum muslimin lalu berkerumun menuju masjid. Umar bin Khattab bahkan berkata, “Ya Rasulallah, aku melihat dalam mimpiku seperti yang dilihat oleh Abdullah…” Rasulallah ﷺ kemudian berkata, “Alhamdulillah, (atas solusi ini) dan walillahil hamd.”
Maka, jika Anda membayangkan Madinah, Anda akan merasakan suasana ini. Angin bertiup sepoi-sepoi menembus kebisuan sisa-sisa malam. Sejumlah orang berjalan tergesa menuju masjid Nabawi. Kumandang adzan fadjar sebentar lagi akan memecah mimpi langit Madinah dan sejurus kemudian masjid dengan arsitektur mengagumkan itu pasti telah penuh dengan jamaah dalam barisan shaf shalat.
Setiap pagi shubuh di Madinah adalah seperti pagi empat belas abad lalu. Pagi yang bersahaja di kota yang penuh kedamaian, kota Rasullah ﷺ. Sekelompok burung merpati terbang rendah, kakek penjual kayu siwak menggelar dagangannya, dan sholat shubuh akan ditunaikan. Madinah memang selalu pantas dirindukan. Bahkan perilaku penduduknya, kata imam Ahmad bin Hanbal, dapat menjadi hujjah atau dalil dalam kehidupan beragama.
Begitu agung kota Nabi itu, meski tiap hari adalah kebersahajaan dalam ibadah shalat. Namun, shalat itu pula yang membawa energi baru dan menjadi kekuatannya. Persis seperti kata Rasulallah ﷺ pada Bilal bin Rabah, “ارحنا يا بلال بالصلاة” (rehatkanlah kami ya Bilal dengan — kau kumandangkan adzan – untuk shalat). Maka, setiap selesai shalat, kita pun merasa memiliki kekuatan untuk mengisi kehidupan.
Said Ibnul Musyaib, seorang ulama generasi awal Islam mengatakan,
مَا أَذَنَ مُؤَذِنُ مُنْذُ عِشْرِينَ سَنَة إِلَا وَأنَا فِي الْمَسْجِدِ
Tidaklah berkumandang adzan seorang muadzin selama dua puluh tahun kecuali bahwa aku sudah berada di masjid.
Adzan yang indah menjadikan kita rindu dengan masjid, seperti kisah Bani Salamah berikut ini. Dalam sebuah riwayat diceritakan, keluarga Bani Salamah memiliki rumah jauh dari masjid. Mereka acap kali telat shalat jamaah dengan Rasulallah ﷺ. Suatu hari dia ingin menjual rumah dan pindah ke sekitaran masjid Nabawi. Mendengar itu; Nabi berkata,”Wahai Bani Salamah dari rumah kalian dicatat langkah kalian, dari rumah kalian dicatat langkah kalian.”. Lalu turunlah firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya kami menghidupkan yang mati: dan kami catat apa-apa yg kalian perbuat: dan langkah-langkah kalian..” (QS Yaasiin: 12)
Kini, banyak orang tak mau punya rumah dekat masjid. Bandingkan dengan keluarga Bani Salamah yang bahkan berusaha menjual rumahnya agar dapat membeli sebidang tanah dekat masjid dan menikmati keindahan suara adzan dan shalat jamaah bersama Rasulallah ﷺ.
Menutup tulisan singkat ini, saya ingin kutipkan cerita bagaimana indahnya kumandang adzan, terutama di bulan Ramadhan ini.
Ucok : “apa bootull ini Radio Dongan?”
Penyiar : ” ya..betul, dengan siapa? Dimana??
Ucok : “dengan Ucookk bang.. boleh kirim-kirim salam bang?? Untuk tulang di sawah, inang uda di pasar…yayang sittauli yang sedang manggosok, jangan capekk kali kau cinta… oh ya bang.. boleh rekuess aku bang??”
Penyiar : “Boleh..boleh.. mau mintak lagu apa kau Cok..??”
Ucok : ” tolong bang..putarkan adzan Magriblah bang… laparr kali peruttku bang…”