thayyibah.com :: Beredar dengan derasnya di media sosial, anjuran dari para Jokowers untuk memboikot Rumah Makan Padang. Hal ini akibat Jokowi dua kali Pilpres tidak pernah menang di Sumatera Barat. Demikian pula di kalangan komunitas perantau Sumbar.
Pada Pilpres 2019, walau pun di dukung oleh 11 Kepala Daerah, Bupati/Walikota, dukungan bagi Jokowi semsakin mengecil dibandingkan Pilpres 2014. Bila pada Pilpres 2014 dukungan untuk Jokowi sekitar 22% maka pada 2019 ini semakin tergerus menjadi sekitar 11%-12% saja. Selebihnya dukungan untuk Prabowo yg meningkat dari 78% menjadi sekitar 88%-89%.
Mengapa Jokowi tidak pernah mampu “mengambil hati” orang-orang Minang? Jawabannya sederhana, Jokowi tidak kenal sejarah dan tidak kenal budaya Orang Minang, dimana dua aspek ini saling bertaut, berjalin berkelindan.
Orang Minang sejak lama merupakan orang-orang pergerakan, yang sejak sebelum masa kemerdekaan telah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Tokoh tokoh yang bukan pemimpin kelas lokal tapi kelas internasional seperti H. Agoes Salim, diplomat ulung yg menguasai 9 bahasa, M.Natsir, yg menguasai 5 Bahasa, demikian pula dengan Syahrir, Hamka, bahkan Tan Malaka dan Aidit pun putra Sumatera Barat.
Bahkan Syafruddin Prawira Negara yang putra Banten, menjadi acuan kepemimpinan bagi masyarakat Minang, karena perjuangan beliau banyak dilakukan di Sumatera Barat, termasuk ketika memproklamirkan PDRI, saat pemerintahan Pusat jatuh dengan ditangkapnya Soekarno-Hatta oleh Belanda pada Agresi Belanda 19 Desember 1948. Tokoh pergerakan perempuan seperti Rky Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah dll.
Dari para tokoh itu lah masyarakat Minang belajar dan sudah punya contoh standar kualitas kepemimpinan nasional sesuai dengan kriteria 3T yg selama ini berkembang, Tokoh-Takah-Tageh. Untuk itu sudah dibahas secara panjang lebar selama Pilpres ini oleh banyak tokoh Minang.
Apakah Jokowi memenuhi kriteria ini?
Dari perspektif Budaya Minang yang “adat bersandikan Syara’- Syara’ bersandikan Kitabullah” berkait langsung dengan Trias Politika ala Minang, filsafat “tigo tungku sajarangan”. Umara-Ulama-Cadiak Pandai, semakin menjelaskan betapa egaliternya masyarakat Minang, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pemimpin selain ia harus menjunjung dan menempatkan Ulama pada posisi yang mulia, juga ia harus “selangkah di depan yang dipimpin”.
Artinya pemimpin itu adalah sosok yg dihormati, akan tetapi juga ia harus memiliki kelebihan dibandingkan orang-orang yg dipimpinnya. Pemimpin itu bukan hanya agamanya bisa dipegang, ia juga menjadi sumber belajar bagi masyarakat, ia juga harus mampu mengayomi dan menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Bagaimana dengan Jokowi?
Kriteria ini yang bagi masyarakat Minang tidak terpenuhi pada sosok Jokowi, jauh dari standar kepemimpinan yg menjadi pegangan masyarakat Minang selama ini.
Bila masyarakat Minang sebahagian besar tidak memilih Jokowi, karena memang tidak memenuhi kriteria Kepemimpinan bagi masyarakat Minang. Mau dipaksa? Tidak bisa, masyarakat Minang adalah masyarakat yang egaliter, yg akan mengatakan “ya” pada saat mereka harus mengatakan “ya” – dan mengatakan “tidak” pada saat mereka harus mengatakan “tidak”. Standar etika dan sikap hidup mereka adalah “Kitabullah”.
Lalu karena tidak memilih Jokowi, para Jokowers akan memboikot Rumah Makan Padang?
Mungkin oleh masyarakat Minang hal itu akan dijawab dengan senyum saja. Sebelum Jokowi lahir atau pun sebelum para Jokowers itu lahir, yg namanya Rumah Makan Minang sudah ada dan sudah eksis sejak lama. Masakan nasional yg pertama kali mendunia adalah masakan Padang, dengan dibukanya RM Padang di banyak negara.
Rumah Makan Padang adalah Usaha yg murni mandiri, modal mandiri dari kemampuan keluarga. Usaha ini rata-rata dijalankan dengan pola “bagi hasil” antara seluruh pegawai yang terlibat di dalamnya. Itu sebabnya spirit kerja keras dan kerja cerdas menjadi pegangan bagi seluruh pihak yg terlibat di dalamnya, semakin besar usaha, semakin besar pula bagi hasil yg mereka dapatkan. Tanpa gembar-gembor pola syari’ah, usaha rumah makan Padang, menerapkannya begitu dasarkan filosofi masyarakat Minangkabau yang berpegang kepada Kitabullah.
Tingkat penyesuaian terhadap masyarakat sekitarnya pun sangat tinggi sesuai dg “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”, termanifestasi kan dalam penyesuaian rasa pada masakannya tanpa harus meninggalkan inti dari masakan itu sendiri.
Masyarakat Minang adalah masyarakat egaliter, masyarakat perantau, masyarakat yang biasa mandiri, artinya punya “fighting spirit” yang tinggi. Sekali layar terkembang-langkah surut berpantang. Ini merupakan pegangan kuat bagi para perantau Minang.
Bila kemudian ada pihak yg akan memboikot RM Padang hanya karena tidak memilih Jokowi, mungkin oleh masyarakat Minang akan dijawab dengan senyum saja. Mereka sangat yakin dengan Kitabullah, lahir, mati, jodoh, rezeki, semua merupakan Ketentuan Allah – bukan karena memilih atau tidak memilih Jokowi.
Dengan bermodalkan fighting spirit yg tinggi dan keyakinan yg dalam “Adat bersandikan Syara’- Syara’ bersandikan Kitabullah”, diancam seperti itu apakah mereka akan surut dan lalu merubah pendiriannya?
Tentu tidak – sekali layar terkembang langkah surut berpantang. Artinya, sekali membuat keputusan mereka pun siap menghadapi apa pun resiko yang harus dihadapi dari keputusan tersebut. Dan siap pula mengantisipasi resiko yg mungkin muncul.
Orang Minang tetap dengan kriterianya dalam memilih pemimpin, kriteria yg merupakan hal yang sudah diyakini turun-temurun.
Itu pula sebabnya mereka masih tetap menjatuhkan pilihan kepada Prabowo Subianto. Mereka yakin bahwa Prabowo mampu mewujudkan “Baldatun thayyibahtun wa Rabbun Ghafur – negeri yang adil, aman, tenteram dan sejahtera yang penuh dengan keberkahan dari Allah”. (thayyibah.com)
Darby Jusbar Salim
NKS Consult