thayyibah.com :: Jelang Muktamar Persatuan Islam (Persis) 2020 sekaligus menuju seabad usia Persis, suara-suara perubahan mulai dikumandangkan, baik diam-diam atau terang-terangan. Obrolan-obrolan ringan seputar suksesi kepemimpinan Persis mulai digaungkan.
Semua ini bermula dari kesadaran bersama bahwa sudah terlalu lama Persis sebagai salah satu organisasi kemsyarakatan Islam tertua di Indonesia ini mulai kehilangan jati diri. Pun demikian ruh perjuangannya sebagai organisasi Islam pembaruan kian tergerus dan terkikis.
Alih-alih sebagai pembaru, banyak fatwa-fatwa Dewan Hisbah Persis sebagai produk hukum tertingginya terkesan ketinggalan zaman. Bahkan jelas, sikap Persis jelas terlihat hanya menjadi follower lembaga sejenis, padahal di awal-awal pendirian, Persis adalah trend setter.
Mencermati sejarah panjang Persis, bila dibagi per-50-tahunan, bisa dibilang, 50 tahun pertama, Persis memiliki peran serta pengaruh terhadap dinamika kebangsaan di Republik ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tampilnya tokoh-tokoh Persis baik yang berstatus aktif maupun yang memiliki irisan dengan Persis di pentas nasional baik politik, akademik, dan peran lainnya telah membuktikan ruh pendirian Persis sebagai harakah tajdid memiliki dampak yang signifikan di masyarakat, di tengah euforia kemerdekaan RI yang saat itu sangat kental dengan rasa nasionalismenya.
Persis tetap mampu memperlihatkan ‘rasa’ keislaman yang kental di tengah isme-isme lain yang mendominasi pentas perpolitikan di Indonesia melalui perannya di Masyumi, salah satu partai legendaris di masanya.
Bisa disimpulkan, di masa 50 tahun pertama, kebanggaan menjadi orang Persis ‘konon’ sangat terasa, karena tidak sembarangan orang bisa jadi ‘orang’ Persis. Hal ini karena semangat serta ruh harokah tajdid terus digelorakan mulai dari level anggota sampai pimpinan.
Kemunduran Jamiiyah, demikian para anggota Persis menyebut organisasinya, dimulai di 50 tahun kedua, seiring perubahan peta politik di Indonesia pasca orde lama. Soeharto sebagai ‘panglima’ orde baru menerapkan kebijakan yang refresif terhadap semua lawan politiknya, termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam. Banyak cara dilakukan agar ormas yang ada mengikuti semua aturan yang dibuat ‘rezim orde baru’, dan bila membangkang pilihannya adalah dibubarkan.
Hal ini rupanya membuat ‘ciut’ nyali ‘sebagian’ pimpinan Jamiyah, sehingga memutuskan Jamiyah sebagai ormas keagamaan yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya dakwah dan pendidikan, yang saat itu relatif aman untuk tetap eksis, dibanding bila mengambil pilihan ormas kemasyarakatan yang berafiliasi ke partai politik.
Sikap ngelehan ini rupanya terbawa hingga ke penghujung 50 tahun yang kedua, padahal di Indonesia telah terjadi ‘reformasi’ yang membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk ormas di dalamnya untuk kembali memperlihatkan eksistensi diri sesuai dengan semangat pendirian ormas tersebut.
Namun rupanya hal ini tdak ditangkap dengan baik oleh para pimpinan tinggi di Persis, terbukti dalam berbagai kesempatan, kembali jargon organisasi masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan selalu menjadi ‘kata kunci’ untuk menutupi kelemahan diri karena tidak mampu bersaing dengan ormas sejenis yang melaju kencang, seperti NU dan Muhammadiyah.
Memasuki abad 21, suara perubahan itu terus berhembus, Muktamar Jakarta 2005, Muktamar Tasikmalaya 2010, serta Muktamar 2015 telah memunculkan suara-suara perubahan tersebut, dengan dimunculkannya nama-nama muda untuk mengisi tampuk pimpinan Ketua Umum.
Sayangnya, suara-suara perubahan itu masih bersifat sporadis dan gagal mencapai tujuan karena suara-suara status quo masih dominan. Posisi Ketua Umum Persis selalu dipegang oleh generasi awal alumni Pesantren Persis Pajagalan, dengan berbagai alasan dan pertimbangan
Menjelang Muktamar Persis 2020 sekaligus menyambut seabad Persis, suara-suara pro perubahan mulai bergema, tiba saatnya alih generasi guna mengembalikan Persis ke jalur yang semestinya, bukan jalur yang seperti selama ini ditempuh yang hanya seperti yayasan plus-plus, dan perubahan itu dimulai dari pergantian Ketua Umum Persis yang pro status quo menjadi Ketua Umum yang progresif revolusioner.
Iklim perubahan yang dihembuskan oleh generasi muda Persis harusnya disikapi sebagai hal yang positif dan dianggap sebagai bahan bakar organisasi agar bisa melaju lebih jauh dan lebih kencang, dan jangan dianggap sebagai akar perpecahan atau bentuk pembangkangan generasi muda Persis.
Perubahan adalah keniscayaan, hanya orang-orang dengan pikiran kolot dan sempit saja yang menganggap perubahan sebagai hal yang negatif. Perubahan adalah sebuah keharusan bilamana dilihat iklim organisasi hari ini tidak mampu menjawab tantangan zaman serta membawa organisasi ke tujuan yang telah ditetapkan.
Ayo bergerak generasi muda Persis, sudah saatnya menyudahi kejumudan dan ketertinggalan ini, mari bergerak, jangan hanya diam dan mengandalkan orang lain. (thayyibah.com)
Rofik Husen
Bidgar Pendidikan PW Persis Jabar