Oleh: Miftah H. Yusufpati (Wartawan Senior)
AURA kepanikan itu tak bisa ditutupi lagi. Belakangan ini, Luhut Binsar Panjaitan sibuk menahan longsornya elektabilitas calon presiden Joko Widodo. Dia, misalnya, mengajak para purnawirawan agar mendukung sang petahana. “Ada kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila,” tulis Luhut mencoba merogoh patriotisme para pensiunan tentara. Surat Luhut ini beredar luas di media sosial. Luhut hendak menempatkan para pemilih Prabowo sebagai orang yang bakal mengganti Pancasila.
Di sisi lain, sebagai menko, tidak jelas apa yang dikerjakan Luhut terhadap sektor yang ia bidangi. Dia seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang bukan tanggung jawabnya. Ya, seperti yang disebutkan di atas tadi, menjelang musim coblosan ini, Menko Maritim itu lebih banyak bertugas menahan agar elektabilitas sang petahana tidak merosot terus. Dia bertugas meredam gelombang yang memaksa pendukung Jokowi berimigrasi ke 02, mendukung Capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Itu sebabnya, belakangan ini juga sibuk melobi habis-habisan perusahaan penerbangan agar menurunkan tarif. Ia juga mendesak Menteri Perhubungan agar membuat aturan yang bisa memaksa maskapai menurunkan tarifnya.
Luhut sadar benar, mahalnya harga tiket pesawat bisa menggerogoti elektabilitas inkamben. Sudah begitu masih dikenakan tarif bagasi. Biaya paket kargo pun menjadi terkerek.
Harga tiket yang mahal menjadikan orang enggan melakukan perjananan udara. Akibatnya sektor pariwisata terpukul. Hotel-hotel kosong. Ekonomi makro pun terganggu.
Harga kargo yang mahal menjadikan pedagang tidak bisa membawa dagangannya ke luar daerah dengan cepat. Akibatnya, petani juga terpukul karena para pedagang makin sedikit melakukan pembelian, itupun dengan harga yang rendah.
Dampak mahalnya harga tiket menjadi bergelombang. Ujung-ujungnya jelas merontokkan elektabilitas petahana. Petani, pedagang, pengusaha hotel, dan orang-orang kebanyakan ogah memilih pemimpin yang tidak becus mengendalikan harga-harga.
Sektor ini harusnya menjadi urusan Menteri Perhubungan. Andaikan menko mesti terlibat, maka harusnya Menteri Perekonomian, Darmin Nasution.
Bukan hanya itu. Luhut juga ikut campur urusan luar negeri. Belum lama ini, ia menyampaikan ancaman kepada Uni Eropa. Ia bilang akan keluar dari Kesepakatan Paris. Pernyataan tersebut sebagai retaliasi atau langkah perlawanan atas keluarnya delegated act Komisi Uni Eropa (UE) terkait diskriminasi kelapa sawit.
Lalu, apa pula hubungan sawit dengan elektabilitas petahana?
Gara-gara tindakan Benua Biru itu harga sawit di pasar internasional jatuh. Longsornya harga sawit dunia menghajar petani sawit Indonesia. Kelapa sawit saat ini menyerap 7,5 juta orang secara langsung dan ditambah 12 juta orang secara tidak langsung. Celakanya, sejarah buram perkelapasawitan Indonesia hanya terjadi di masa Jokowi.
Harga sawit di tingkat petani berada di bawah biaya memanen. Akibatnya, jutaan petani menderita. Mereka teriak. Apesnya, Presiden Jokowi justru menyarankan mereka mengganti bertanam durian, petai atau jengkol. Jelas saja semua itu membuat petani gregetan, “Siapa sudi pilih Jokowi”.
Lagi pula, apa urusan Luhut dengan Kesepakatan Paris?
Cara diplomasi Luhut yang menantang justru membuat Indonesia menjadi bahan tertawaan. Sekadar mengingatkan saja, di bawah kesepakatan iklim Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa syarat sebesar 29% dan secara kondisional sebesar 41% pada 2030. Komitmen itu dinyatakan Jokowi.
Komitmen seorang presiden mestinya tidak dapat serta merta dibantah oleh seorang menteri. “Ini jadinya kontradiktif, presiden menyatakan terlibat menurunkan emisi tingkat global, menteri lakukan itu demi kepentingan perdagangan dan ekonomi dan bukan mewakili kepentingan rakyat, tapi kepentingan korporasi sawit,” ujar Yuyun Harmono, Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Masuk akal apa yang dibilang ekonom senior Indef, Faisal Basri. Ia menyarankan permasalahan dengan Uni Eropa, sebaiknya diselesaikan melalui satu pintu dan diserahkan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, bukannya Luhut. “Kalau ada apa-apa ini bukan urusan sekedar sawit, tapi urusan diplomasi secara keseluruhan. Kalau yang diplomasi Luhut, panas terus. Kalau ibu Retno kan sejuk,” katanya.
Selain urusan diplomasi, urusan sawit memang urusan elektabilitas. Jadi, biarkan Luhut bermanuver. Kini, harga bawang merah dan bawang putih juga sedang meroket dari belasan ribu per kilo menjadi Rp50-60 ribu per kilo. Pemerintah telah memutuskan menunjuk Bulog untuk mengimpor 100 ribu ton bawang putih. Boleh jadi, urusan bawang ini juga membuat Luhut pening. Karena bagaimana pun jika harga komoditas urusan dapur tak terkendali, emak-emak takkan sudi mendukung Jokowi. Itu bermakna gawat. Karena bila itu terjadi maka tak akan ada lagi Presiden Jokowi rasa Luhut Binsar Panjaitan. Aduh!