Breaking News
MRT Jakarta (Foto : Viva)

MRT Jakarta: Bukan Prestasi Tapi Warisan Masalah Dari Jokowi

Oleh: Tommy Mamangkey

MRT Jakarta (Foto : Viva)

 

Minggu 24 Maret 2019, Presiden Jokowi meresmikan proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Fase-I (Lebak-Bulus-Bunderan HI, sekaligus ground breaking Fase-2 (Bunderan HI-Kampung Bandan, Ancol).

Beberapa hari sebelumnya, Jokowi sudah melalukan uji coba bersama pejabat dan artis. Sekaligus berselfie ria dan gembar-gembor, ini adalah bukti nyata prestasinya. Para pendukungnya bersorak-sorak dalam video viral. Para kampret (pendukung Prabowo-Sandi) dilarang naik MRT, katanya. Hahaha…

Sorry, Bung. Sebuah prestasi tidak sekedar diukur dari selesainya suatu proyek (pekerjaan). Banyak parameternya. Umumnya seseorang baru dianggap berprestasi jika melampaui panggilan tugasnya.

Seorang sales baru dianggap berprestasi jika berhasil menjual barang melampau target. Presiden sama saja, baru dibilang berprestasi jika mempu mendatangkan keuntungan buat negaranya.

Sebuah proyek pemerintah baru punya nilai prestasi jika efektif, efisien, tepat guna dan menguntungkan rakyatnya.Itu ukuran universal. Tidak bisa klaim pakai standar sendiri.

Proyek Angkutan Massal Jokowi Yang Kisruh

Sekarang lihat proyek Light Rail Transit (LRT) di Palembang. Ini adalah salah satu “proyek Jokowi” dan awalnya diklaim sebagai suatu prestasi. Proyek ini dibiayai penuh dari APBN. Pembangunannya dipercepat, mulai Desember 2015 dan harus selesai sebelum Asian Games (Agustus-September 2018. Jebret!

“LRT Jokowi” akhirnya selesai dan sempat dipakai oleh altet internasional yang bertanding di Asean Games. Tapi setelah itu terjadilah kekisruhan!

Sampai saat ini, LRT Palembang ternyata sepi penumpang. Dari proyeksi penumpang 32 ribu per hari, hanya dapat 5 ribu per hari. Biaya yang dibutuhkan untuk operasional 10 miliar rupiah/bulan, tapi dari penjualan tiket hanya dapat 1 miliar rupiah/bulan. Jelas tekor berat.

Lalu siapa yang harus menanggung biaya operasionalnya di kemudian hari? Bingung semua. Jokowi tidak pernah ngomong lagi soal LRT Palembang ini.

Pemerintah pusat mendesak Pemda Sumsel ikut menanggung, tapi ditolak karena dianggap bukan proyek pemda. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyalahkan Pemda Sumsel yang dinilai tidak menggiatkan masyarakat untuk naik LRT. Padahal bukan itu masalahnya.

LRT Palembang melintas 24,5 km dari Kompleks Olah Raga Jakabaring menuju Bandara Sultan Badaruddin. Padahal pusat kegiatan ekonomi masyarakat Palembang, bukan di jalur itu.

Alhasil, Proyek LRT Palembang, setelah selesai malah menjadi beban keuangan negara.

Kemdian lihat proyek Kereta Api Ekpres SHIA (Sukarno Hatta International Airport). Proyek kereta dari Bandara Sukarno Hatta menuju Stasiun Sudirman City ini bersifat KPBU (Kerjasama Pemerintan dan Badan Usaha). Nilai proyeknya 24,5 triliun rupiah, melibatkan patungan PT Kereta Api Indonesia dan PT Angkasa Pura II.

Proyek ini dibangun tahun 2015 dan mulai beroperasi awal tahun 2018. Ternyata jalur kereta api ini kurang diminati oleh masyarakat. Meski harga tiketnya sudah dimurahkan dari seharunya (dari 100 ribu rupiah meenjadi 35 ribu rupiah), ternyata tingkat okupasi penumpangnya hanya 26% dari target.

Sebabnya, pertama, untuk naik angkutan umum dari dan menuju Bandara Sukarno Hatta, masyarakat ternyata lebih menyukai naik bus DAMRI (BUMN) yang sudah lama mapan menyiapkan angkutan dari berbagai sudut kota untuk melayani kebutuhan masyarakat yang ingin ke bandara.

Kedua, stasiun Sudirman City, lokasinya berada di pusat perkantoran dan kemacetan Ibu Kota. Bagi masyarakat di pingggiran kota, misalnya dari Kelapa Gading (Jakarta Utara), lebih baik naik bis Damri dari mal di Kelapa Gading. Bagi masyarakat Pondok Labu, lebih baik naik Damri dari mal di Cinere. Armada Damri memang punya pangkalan di mal-mal strategis di Jakarta dan sekitaranya.

Dari dua lokasi tersebut, tinggal masuk tol outering road Jakarta. Jauh dekat cuma bayar 35 ribu rupiah. Murah meriah dan nyaman pula. Logika masyarakat pasti cari yang lebih hemat biaya. Dari pada jauh-jauh melambung, harus naik taksi atau angkutan umum lain ke Sudirman City untuk naik kereta ke bandara, mendingan naik bus dari pangkalan DAMRI terdekat di rumahnya. Alhasil, proyek Kereta Ekspres SHIA juga menjadi proyek merugi.

MRT Jakarta Diresmikan Sebelum Persoalan Diatasi

Nah, akankah MRT Jakarta menjadi proyek merugi seperti LRT Palembang dan Kereta Ekspres SHIA? Baiklah, sekarang kita mulai kalkulasi. Proyek MRT Jakarta Fase-I dan Fase-II dibiayai penuh dari pinjaman JICA-Japan International Cooperation Agency (baca, badan pengutangan internasional Jepang).

Total investasinya 39,5 triliun rupiah (fase-I, 17 triliun dan fase-II, 22,5 triliun). Menurut skema pembayarannya, beban utang investasi Jepang tersebut yang 49% ditanggung oleh Pemda DKI dan 51% ditanggung Pemerintah Pusat.

Pinjaman proyek dicairkan mulai Desember 2015 dengan tenor (masa pencicilan hutang) untuk fase-I selama 30 tahun dan fase-II selama 40 tahun. Karena diberi tenggang pembayaran 10 tahun, maka pembayaran cicilan baru dimulai tahun 2025. Artinya, semua investasi Jepang ini harus kita lunasi Desember 2065 (ketika usia Jokowi menginjak 104 tahun!).

Nah, yang jadi masalah, sanggupkah kita membayar utang tersebut? Tentu harus sanggup. Tapi konsekwensinya harus ada subsidi. Kalau tidak, tiket MRT itu pasti mahal. Di sini terjadilah kekisruhan lagi tentang siapa yang harus mensubsisi pembayaran hutang MRT Jakarta itu.

Pemerintah pusat maunya semua ditanggung oleh pemprov DKI. Tapi kalangan DPRD DKI minta pemerintah pusat juga ikut menanggung subsidi sesuai pernjanjian skema pembayaran hutang (49%-51%. Hal ini belum putus sampai sekarang. Padahal, MRT-nya sudah harus operasional.

Yang jadi persoalan pokok, mengapa harus ada subsidi?

Pasalnya, tidak semua orang akan menikmati secara langsung mamfaat MRT Jakarta ini. Mungkin, berkat kehadiran MRT ini, kemacetan di Jakarta akan berkurang. Tapi itu baru kemungkinan saja, belum ada buktinya.

Jadi serba salah. Kalau tidak disubsidi, tarifnya pasti mahal dan bisa sepi penumpang. Kalau disubsidi bakal membebani keuangan pemda DKI dan Pemerintah Pusat. Proyek MRT Jakarta ini akhirnya bikin pusing kepala sendiri.

Pakai hitungan sederhana saja. MRT Jakarta ini, ditargetkan bisa menampung 65 ribu penumpang per hari. Sekarang, anggaplah kita hanya menghitung utang pokoknya saja, tanpa menghitung bunga dan biaya operasional (biaya perawatan, listrik, gaji pekerja dan sebagainya). Lalu berapa sebenarnya tarif ekonomis MRT tersebut.

Karena tenor pinjaman 40 tahun(14.600 hari) dan hutang 39,5 triliun, maka per harinya MRT harus bisa meraih pendapatan 2,7 miliar rupiah. Jika dibagi dengan target penumpang per hari (65 ribu), maka tarif ekonomisnya adalah 41.600 rupiah.

Masalah tarif ini MRT Jakarta ini, sampai diresmian oleh Jokowi, belum tuntas. Karena masih harus diputuskan bersama di DPRD DKI. Proyek ini sudah dirancang bangun sejak Oktober 2013 (ketika Jokowi masih menjadi Gubernur DKI). Tapi sampai dimulainya operasional ternyata belum ada kesepakatan antara pemeritah pusat dan pemda DKI mengenai nilai subsidi dan nilai tarif untuk masyarakat pengguna.

Gubernur DKI, Anies Baswedan sendiri – setelah menghitung kesanggupan pemda DKI mensubsidi sebesar 672 miliar per tahun – sudah mengusulkan perkiraan tarifnya 10 ribu rupiah. Tapi itu belum disetujui oleh DPRD DKI.

Yang berabe jika DPRD DKI tidak mau menanggung sepenuhnya beban subsidi tersebut. Terpaksa pemerintah pusat harus ikut mensubsisi. Artinya rakyat non-pengguna MRT, baik yang di Jakarta maupun di luar Jakarta harus ikut menanggung beban pembayaran hutang proyet MRT ini!

Proyek kisruh begini, apa mau disebut sebagai prestasi Jokowi?

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur