Oleh: Iramawati Oemar
Salah satu rekan saya yang pernah kuliah S2 jurusan Ilmu Politik di UI, beberapa waktu lalu bercerita, dia masih kerap bertemu dengan teman-teman lamanya yang saat ini duduk di jajaran partai banteng, pengusung utama capres 01. Karena mereka sudah berteman dekat sejak dulu, bahkan pernah satu kost-an, maka meski kini berbeda pilihan politik, mereka secara personal masih berhubungan baik. Bahkan temannya itu kerap curhat, mengeluhkan minimnya dukungan masyarakat pada setiap acara yang digelar untuk capres 01.
Teman saya menanggapi, “Satu hal yang kalian tidak punya, satu hal yang Jokowi gak miliki, yaitu militansi pendukung!” Kalau pendukung militan, tanpa diminta mereka akan bergerak, berbuat sesuatu, tanpa diundang akan datang, gak akan bertanya dapat fasilitas transportasi apa tidak, kalau perlu mereka yang sediakan. Orang militan itu tidak meminta, tapi malah memberi. Temannya tadi terdiam.
Benar, militansI-lah yang membedakan pendukung capres 02 dengan 01. Setiap acara yang digelar, meski persiapannya sekedarnya, tak ada tenda mewah full AC, bahkan kalau perlu di jalanan, orang-orang datang menyemut tak terbendung. Bahkan sudah sejak pagi orang berdatangan menunggu Pak Prabowo atau Sandiaga Uno lewat. Meskipun terkadang jadwal berubah mendadak karena hal yang tidak diprediksi, orang tetap rela menunggu. Siang hari berpanas-panasan, sore hari diguyur hujan, atau bahkan malam hari hingga menjelang tengah malam, massa tak berkurang. Padahal tak ada panitia yang memberikan konsumsi. Lagi pula siapa yang sanggup menyediakan konsumsi sebanyak itu, jumlahnya tak bisa diprediksi.
Dari berbagai kota mereka hadir, naik apa saja, ongkos sendiri. Sekedar bisa melihat Pak Prabowo atau Bang Sandi lewat. Mereka juga berdatangan tak mau ketinggalan untuk mendengar orasi Prabowo Subianto. Sesuatu yang mungkin hanya terjadi di jaman Orde Lama, ketika rakyat begitu merindukan kehadiran Soekarno dan menyimak pidato-pidato sang proklamator dan sekaligus Presiden RI saat itu.
Bedanya, Prabowo belum jadi presiden tapi sudah mampu membuat histeria massa dan mampu menjadi magnet bagi rakyat sebanyak itu, di jaman ketika publik sudah semakin cuek dengan urusan diluar dirinya, ketika masyarakat sudah semakin apatis dan skeptis, tapi Prabowo dan Sandi masih mampu menciptakan lautan manusia di sekitar mereka, tanpa dibayar!
Sementara di kubu petahana setiap minggu bahkan nyaris setiap hari ada berita sepinya acara yang sudah dipersiapkan matang, sebaliknya di kubu 02 setiap pekan selalu saja ada foto atau video yang viral di berbagai platform media sosial, tentang moment-moment menyentuh yang menggambarkan betapa besarnya dukungan bagi Prabowo – Sandi.
Setelah viral foto pasutri yang saling dukung (dalam arti sebenarnya, si istri naik ke pundak suami) demi memasang spanduk Prabowo – Sandi disaksikan bocah cilik anak mereka, kini viral foto seorang difabel, penyandang cacat kaki, berjalan tertatih-tatih dengan dua alat bantu, menyeberangi sawah sambil membawa beberapa set banner. Disusul viralnya foto seorang bapak tua yang menepikan sepeda kumbangnya, lalu dia menjahit baliho besar Prabowo – Sandi yang robek.
Kedua orang tersebut, pria difabel dan kakek tua yang menjahit baliho, keduanya mungkin sama sekali belum pernah bertemu dengan Prabowo dan Sandiaga. Jangankan berjabat tangan plus foto selfie, melihat dari jarak 3 meter saja mungkin belum pernah. Tapi lihatlah apa yang mereka lakukan untuk mendukung Prabowo dan Sandi jadi pemimpin negeri ini.
Mereka mungkin tidak keluar uang untuk membuat/mencetak banner dan baliho itu, tapi mereka ingin berkontribusi ikut menyebarluaskan, ikut menjaga dan memelihara keberadaannya. Dengan segenap kemampuannya, melawan semua keterbatasan yang ada, mereka tunjukkan “Saya juga ingin perubahan, saya juga rindu pemimpin baru!”
Di negeri ini ada ribuan orang seperti pak tua penjahit baliho dan pria difabel di tengah sawah. Ada banyak orang di akar rumput, yang berbuat apa saja yang terbaik yang mampu mereka lakukan, demi menunjukkan dukungan pada Prabowo – Sandi. Ada ribuan emak-emak yang mendadak jadi jurkam kagetan, rela blusukan door to door campaign, membawa alat peraga kampanye tak seberapa, hasil patungan mereka. Bahkan, belakangan, muncul fenomena baru, Spanduk Rakyat.
Ya, spanduk paslon capres 02 di jalan-jalan raya memang terlihat “sepi”, jumlahnya jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan alat peraga kampanye (AKP) capres 01 yang rata-rata berukuran besar, kokoh dan bagus desainnya. Ketiadaan dana segar membuat paslon capres 02 jelas tak mampu mengimbangi gebyar APK lawan politiknya.
Para relawan dan simpatisan lah yang membantu mengadakan APK, menyebarkan dan memasangnya. Namun, masa kampanye yang berlangsung 8 bulan ini membuat kocek terkuras habis. Rakyat pun tak mampu lagi pesan spanduk di percetakan. Akhirnya, ibarat kata pepatah “tak ada rotan, akar pun jadi”, maka karung goni bekas pun disulap jadi spanduk. Tak usah ada gambar wajah ganteng Prabowo – Sandi, cukup tulisan angka 02 dan nama capres – cawapres, ditulis dengan tangan, pakai cat seadanya. Itu semua karena rakyat tetap ingin berkontribusi untuk mendukung calon pemimpin baru negeri ini yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, insyaa Allah.
Militansi telah membuat mereka seperti itu, pantang menyerah dengan ketiadaan dana. Militansi adalah modal paling berharga, tapi tidak punya harga (tak bisa dinilai dengan materi). Karenanya militansi tak bisa dicuri atau dibajak, militansi tak mempan “wani piro?”. Militansi adanya di dalam hati sanubari, menciptakan spirit berkompetisi, lalu menstimulasi otak untuk terus berpikir kreatif, menghasilkan hal-hal positif.
Seperti yang dilakukan Pak Tua menjahit baliho sobek tak peduli siapa yang merobek, dia hanya berpikir bagaimana agar baliho ini bertahan, tidak rusak. Dia memperbaiki dengan tangannya, dia merajut kembali yang dikoyak orang lain. Seperti juga pria difabel itu, dia tak mau duduk manis berselfie salam dua jari lalu diposting di WAG atau akun medsos, kemudian merasa sudah cukup menjadi pendukung Prabowo – Sandi. Dengan tongkat, dia tetap berupaya membawa banner, untuk dipasang di daerahnya.
Seperti juga orang-orang yang akhirnya mengecat karung goni karena tak mampu beli spanduk. Itu semua karena didorong oleh militansi, semangat yang tak akan habis sebelum tujuan tercapai.
Pak Prabowo dan Bang Sandi, jika 17 April nanti atas ijin Allah anda berdua diamanahi rakyat menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2019 – 2024, ingatlah bahwa itu semua berkat ikhtiar jutaan orang di seantero negeri. Ada ribuan bahkan ratusan ribu atau mungkin jutaan relawan tanpa pamrih yang berkontribusi sampai batas maksimal kemampuannya. Terutama wong-wong cilik di akar rumput seperti yang tampak di foto-foto yang viral. Mereka tidak berharap jabatan komisaris BUMN, bahkan jabatan Ketua RT saja mereka tidak minta. Cukup tunaikan amanah rakyat sebaik-baiknya, jangan pernah khianati amanah rakyat! jagalah nkri baik-baik, pulihkan kedaulatan bangsa kita, perbaiki carut marut ekonomi dan tegakkan hukum yang berkeadilan.
Kami bangga berada dalam barisan capres 02. Kami tidak pernah menyesal meski harus keluar uang dari kantong pribadi, sebab kami bangga anda berdua memilih berhutang budi kepada rakyat, dan tidak mengemis meminta sponsorship dari taipan.
Kelak, jika kekuasaan sudah dalam genggaman anda berdua, jangan pernah takut pada ancaman apapun, jangan pernah berpihak pada kepentingan pemodal, sebab modal utama kemenangan anda berdua adalah militansi rakyat.
Kami yakin Pak Prabowo dan Bang Sandiaga mampu tegak berdiri dan menjalankan janji-janji kampanye, tidak surut melawan kepentingan pemegang uang, seperti yang sudah dilakukan Pak Anies Baswedan di DKI.
Sama halnya kami yakin tidak salah telah mendukung Anies – Sandi pada 2017 lalu, seperti itu pula keyakinan kami saat ini : Kami yakin tidak salah pilih, mendukung pilihan terbaik bagi bangsa Kndonesia saat ini, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.