Suatu malam setelah maghrib, aku mengendarai mobil ke rumah. Tiba-tiba rasa migrain nyeri menyerang kepala hingga aku menepikan mobil. Berhenti sejenak menunggu rasa nyeri berkurang, aku berusaha mengalihkan pikiran dengan melihat sekeliling.
Tiba-tiba kaca mobilku diketuk seorang anak laki-laki kira-kira umur 12 tahun.
“Bu, ibu mau parkir? Saya bantuin untuk parkir mobilnya ya,” katanya.
“Belum sekarang, saya mau istirahat dulu,” jawabku.
“Kalau gitu apa Ibu punya uang 2000 ?” tanya anak itu.
Karena aku sedang tidak mau diganggu, aku buru-buru serahkan uang itu. Aku pikir anak ini mungkin cuma mau minta-minta.
Lalu aku mulai mengamati anak itu. Dia mendekati tukang gorengan lalu membeli beberapa gorengan. Kemudian gorengan itu dia berikan pada sesosok orang tua yang duduk di bawah tiang listrik. Ketika dia melewati samping mobilku, aku buka kaca dan memanggilnya.
“Eh, dik sini. Itu siapa?” tanyaku.
“Gak tau bu. Bapak tua, saya juga baru saja ketemu,” jawabnya.
“Loh, tadi kamu minta uang ke saya beli gorengan, kenapa diberikan ke bapak itu?”
“Oh, saya tadi duduk di situ, ngobrol sama bapak itu. Bapak itu katanya puasa. Tadi saya lihat buka puasanya cuma minum. Katanya uangnya habis. Hari ini saya nggak jualan koran, tanggal merah bu. Jadi ga punya uang.. . Saya cuma ada 1000, kalau beli gorengan cuma dapat 1 kasihan ga kenyang. Makanya saya minta ibu 2000. Biar dapat tiga. Ibu mau parkir sekarang ? Saya bantuin parkir ya bu. Ibu kan udah bayar. Kalau saya sebenernya bukan tukang parkir,” katanya tertawa sambil garuk-garuk pipinya.
Aku terdiam. Tadi aku pikir anak ini pengemis seperti anak-anak yang biasa mangkal di jalan. Ternyata aku salah besar.
“Terus uang kamu habis dong dik?” tanyaku.
“Iya bu. Nggak apa-apa. Besok bisa jualan koran. Inshaa Allah ada rejekinya lagi.”
“Kalau gitu Ibu ganti ya uangnya dik. Sekalian sisanya buat jajan,” kataku sambil menyerahkan lembaran uang Rp 20.000,-.
“Nggak usah, bu. Jangan. Ibu saya sebetulnya melarang saya minta-minta. Makanya saya tawarin ibu parkirin mobil ibu. Soalnya tadi saya kasihan bapak itu aja. Cuma saya bener-bener nggak punya uang,” katanya lagi.
“Eh, dik. Ibu minta maaf ya tadi salah sangka sama kamu. Kirain kamu tukang minta-minta” kataku merasa bersalah.
“Saya yang minta maaf, bu. Saya jadi minta uang duluan sama Ibu. Padahal saya belum kerja.”
“Sama-samalah. Ini ambil uangnya. Ini kamu nggak minta, ibu yang beri,” kataku.
“Nggak Bu, Makasih. Ibu mau parkir sekarang ?” tanyanya lagi.
“Nggak. Ibu nggak usah dibantu parkir,” kataku.
“Beneran, bu? Soalnya saya mau jemput adik saya ngaji dulu bu. Takut nangis kalau kelamaan telat jemputnya.”
“Udah, sana jemput aja adiknya,” kataku tersenyum.
“Makasih ya, bu,” katanya setengah berlari meninggalkan saya yang termangu.
Saya menoleh ke tiang listrik, bapak tua itu sudah pergi. Saya lihat dari spion mobil, anak itu berjalan setengah berlari.
Di luar sana banyak orang tidak seberuntung kita, tapi mereka masih memikirkan sesama, masih berusaha bersedekah dan sangat yakin akan jaminan rezeki.
Terima kasih nak, kamu hari ini telah memberikan pelajaran akhlaq yang luar biasa untuk saya … Semoga hidupmu berlimpah berkah dan rezeki.
Saya starter mobilku dan melaju pelan-pelan menuju rumah. Aku sediiih dan menangis, kerena belum bisa berbuat banyak untuk sesama.
Berbagi tak harus menunggu kaya. (Tusi, Kumpulan Doa-doa)