Oleh : Nadya Valose
Kalau Prabowo disebut memiliki lahan 220 hektare di Kalimantan Timur dan 120 hektare di Aceh Tenggara, siapakah pimpinan regulator tertinggi dari Kepala BPN, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri KLH dan SDA ?
Jika kepemilikan lahan sesuai dengan undang-undang dan sah secara konstitusional, maka itu bukan masalah apalagi pelanggaran hukum. Done !.
Jika hak kepemilikan itu dalam rangka kegiatan usaha disektor perkebunan, bukankah itu produktif ? Di balik produktifnya, siapakah pemegang kepemilikannya ? Pribumi kah? Nasionalis kah?
Lalu pertanyaan berikutnya, jika pemiliknya Pribumi, pemiliknya Nasionalis, apa urgensinya diungkap ke publik? Apa motifnya?
Mengapa tak disebut juga kepemilikan oleh 25 grup perusahaan Taipan (Bahasa Jepang = Tuan Besar) yang untuk perkebunan kelapa sawit-nya saja menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi ?
Itu baru kelapa sawit, belum lagi kakao, tanaman jarak, kelapa hybrida, coklat, vanili, sorgun, cengkeh, kedele, tembakau dan puluhan komoditas holtikultura lainnya.
Berapa puluh juta hektare lahan yang dikuasai Asing dan Aseng? Mengapa tidak disebut? Mengapa hanya yang dimiliki Prabowo yang 340 ribu hektare saja yang disebut?
Balik ke 5,1 juta hektare perkebunan kelapa sawit milik 25 Group perusahaan yang dikendalikan oleh 29 Taipan tadi. Siapa saja sih mereka? Ada pada sayap afiliasi mana haluan politiknya? Pada kelompok Nasionalis kah? Atau pada kelompok Neo Liberal pro Asing dan Aseng?
Mereka adalah Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya).
Lalu Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto).
Di antara mereka, kelompok perusahaan yang paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai.
Riset yang dilakukan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo menemukan bahwa ke-25 kelompok perusahaan ini menguasai 62 persen lahan sawit di Kalimantan (terluas di Kalimantan Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur). Kemudian 32 persen di Sumatera (terluas di Riau diikuti Sumatera Selatan), 4 persen di Sulawesi, dan 2 persen di Papua.
Asal tau saja, menurut Direktur Program TuK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni yang lembaganya telah merilis hasil riset dengan judul “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, dan didukung pula oleh data dari laporan tahunan, websiteperusahaan, kajian Thomson dan Bloomberg, serta lembaga lainnya, 6 di bursa efek Singapura, 3 di Kuala Lumpur, dan satu perusahaan di bursa efek London.
Namun perusahaan terbuka tersebut, menurut Wiwin, tidak sungguh-sungguh dimiliki publik, karena taipan adalah pemegang saham yang dominan, dengan penguasaan 20-80 persen saham. “Kepemilikan saham dilakukan melalui ‘perusahaan cangkang’ di negara-negara ramah pajak,”. Artinya Potensi Pendapatan Pajak untuk negara pun semaksimal mungkin digembosi.
Nasionaliskah? Patriot kah?
Pertanyaan besarnya, siapa pimpinan pemerintahan sebagai regulator perizinan usaha tersebut? Katakanlah jika kepemilikan para Taipan tersebut telah berlangsung jauh sebelum 2014 yang lalu, kenapa tidak disebut?Mengapa tidak ditertibkan jika tidak berpihak kepada kepentingan ekonomi kerakyatan?
Jawabannya tentu harus dilihat, ada di barisan mana taipan asing dan aseng itu berdiri. Mereka mendukung siapa dan dilindungi siapa. Mereka dipelihara siapa dan memelihara siapa.
Cukuplah rakyat kecil yang hingga hari ini tidak tersentuh keadilan dan kemakmuran tau, bahwa memainkan kata dan data itu boleh dan sah-sah saja bagi penguasa. Rakyat cukup tau, bahwa kalau mau tidak tersentuh hukum dan bisa berbuat apa saja semaunya jadilah bajingan yang memiliki kekuasaan.