PAK SAIFUDDIN, KISAH JUANG WALISANTRI GONTOR YANG MENGINSPIRASI
Oleh : Beni Sulastiyo
KEMARIN, saya menjenguk anak lagi di Gontor Putri 2, Mantingan. Saya dapat informasi putri saya tertusuk paku. Saya khawatir lukanya parah lalu terancam kena tetanus. Makanya tanpa pikir panjang saya langsung cuss pergi ke Pondok Gontor Putri.
Karena bukan hari libur, suasana Bapenta (ruang tunggu tamu) sangat sepi. Hanya ada dua walisantri yang saya jumpai. Salah satunya Pak Saifuddin.
Selama beberapa kali mengunjungi Pondok Gontor Putri, saya tak pernah berjumpa dengan beliau. Pertemuan sore kemarin, adalah kali pertama saya berjumpa dengannya. Walaupun demikian, kami cepat akrab.
Pak Saifuddin adalah tipe orang yang senang bercerita. Sementara saya, adalah seorang yang senang mendengarkan orang bercerita. Maka kloplah kami sudah kami berdua. 🙂
Pak Saefuddin adalah seorang walisantri. Anaknya, Nurbainah seangkatan dengan anak saya yang masih duduk di kelas 1 KMN (setara dengan kelas 1 SMP). Asrama anaknya sama dengan Asrama yang ditempati putri saya.
Pak Udin mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berasal dari Dukuh Kulo, Kabupaten Brebes. Jarak tempat tinggal beliau dari Pondok Gontor Mantingan sekitar 300 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bis umum.
Selama anaknya mondok di GP2, ia mengaku telah belasan kali mengunjungi anaknya. Tidak menggunakan bis umum, tapi menggunakan motor roda dua.
Pak udin bercerita, kalau ia berangkat dari kampungnya pukul 9 malam, maka ia akan sampai di GP2 sekitar pukul 7 pagi. Selama 10 jam menempuh perjalanan itu, Pak Udin hanya berhenti 3-4 kali.
Di tengah perjalanan itu, seringkali Pak Udin menerobos hujan. Tapi ia tak peduli. Ia enggan berhenti walau rintik hujan tajam menerjang. “Kalau menunggu hujan berhenti, saya tak bakalan sampai. Waktu saya akan habid di perjalanan”, ujar Pak Udin sambil tersenyum.
Semua itu ia lakukan demi anaknya, Nurbainah. Nurbainah adalah putri pertamanya. Anak keduanya juga seorang perempuan. Sekarang masih duduk di kelas 5 SD.
“Saat masih remaja, saya pernah sangat ingin belajar di pesantren. Tapi sayang, ayah saya tak mengijinkan. Saya diminta ayah saya mengurus adik-adik saya serta membantu ayah saya mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Akhirnya saya harus memendam cita-cita saya”, ujarnya.
Pak Udin terpaksa harus mengikuti permintaan ayahnya. Setelah menamatkan sekolah dasar, Pak Udin tak melanjutkan sekolahnya. Ayahnya tak mampu membiayai sekolahnya. Sementara tenaganya sangat diperlukan untuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun, pada saat itu, Pak Udin bernazar bahwa jika nanti ia memiliki anak, maka anaknya harus bisa sekolah di Pesantren. “Tak apalah jika saat ini saya tak tak bisa sekolah di pesantren. Tapi anak saya nanti harus bisa”, begitu cerita Pak Udin mengenang masa mudanya.
Saat telah dianugrahi anak, Pak Udin mendidik anak-anaknya agar giat belajar. Anak-anaknya harus bisa belajar di Pondok agar dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi darinya.
Nurbainah, putri tertuanya itu lalu tumbuh sebagai anak yang cerdas. Menurut Pak Udin, anaknya selalu rangking satu di kelas. Prestasinya belajarnya juga sangat menonjol di seluruh kecamatan. Anaknya bahkan sering dikirim mewakili kecamatan untuk mengikuti berbagai lomba di tingkat Kabupaten. Dan selalu menang.
Saat lulus Sekolah Dasar, seorang kepala sekolah SMP negeri menawarkan putrinya masuk tanpa syarat apapun. Bahkan tanpa membayar biaya sepeserpun. Tapi tawaran itu ditampik Pak Udin. Pak Udin tetap fokus pada tekadnya. Ia tetap ingin menyekolahkan anaknya di pesantren.
“Lalu kok bisa pilihannya di Gontor, Pak? Emang dapat informasi dari mana?”, tanya saya.
“Dari Internet!”, ujarnya.
Pak Udin lalu bercerita ia tak punya satupun teman yang bisa ditanyai tentang pesantren terbaik. Rata-rata teman seprofesinya tak tamat SD pula. Walau demikian Pak Udin ternyata bukanlah manusia gaptek. Ia mencari informasi lewat internet.
“Trus apa yang Bapak ketikkan saat cari informasi di Internet?”, tanya saya penasaran.
“Saya ketik ‘pesantren modern’ saja. Trus keluar Pesantren Modern Darussalam Gontor”. Ujar Pak Udin polos.
Sejak itu, ia mencari informasi yang berkaitan dengan Pondok Modern Gontor Daarussalam. Informasi yang ia dapatkan itu lalu ia ceritakan pada anaknya. Ia bilang ke anaknya tentang kehebata-kehebtan PM Gontor. Ia juga bilang pada anaknya, bahwa ia akan dapat cepat menguasai bahasa asing jika belajar di pesantren itu.
Ternyata anaknya sangat berminat. Pak Udinpun tambah bersemangat.
Pak Udin pun mencari informasi lagi tentang biaya masuk yang diperlukan dan aneka persyaratan lainnya lewat internet. Ia mencatat semuanya. Dari internet itu ia mengetahui bahwa biaya awal yang harus ia siapkan untuk masuk di PM Gontor sebesar Rp 5,3 juta.
“Saat itu saya tak punya uang sepeserpun. Jangankan uang tabungan, uang untuk makan sehari-hari saja seringkali kami kesulitan. Tapi saya berdoa kepada Allah siang dan malam. Saya yakin Allah Maha Kaya. Ia pasti akan mencukupi kebutuhan hambanya. Pasti!”, jelas Pak Udin mantab.
Lalu Pak Udin berikhtiar. Ia telah merencanakan berangkat ke Pondok Gontor Mantingan pada tanggal 3 syawal. Masih ada beberapa hari untuk menyiapkan uang untuk mendaftarkan anaknya ke pesantren itu. Sayangnya semakin dekat waktu keberangkatan, Pak Udin tak kunjung mendapatkan rejeki.
“Minimal saya harus punya uang Rp 10 juta. 5,3 juta untuk biaya masuk. Sisanya untuk perbekalan dan membeli perlengkapan mondok anak saya. Tapi hingga 3-4 hari jelang keberangkatan, saya belum mendapatkan uang sepeserpun”, jelasnya.
Tapi, tak disangka-sangka satu hari sebelum keberangkatan, Pak Udin mendapatkan rejeki. “Saya tak tau dari mana. Ada yang tiba-tiba membayar hutang, ada pula yang memberikan pekerjaan”, cerita Pak Udin.
Singkat cerita, Pak Udinpun akhirnya berangkat bersama anaknya dengan bekal uang Rp 10 juta di tangan. Saat itu berangkat dengan menggunakan bis umum. Ia tak berani naik motor karena tak tahu arah jalan.
Setelah mendaftarkan anaknya di Gontor Putri, iapun meninggalkan anaknya di pesantren itu. Ia harus pulang kampung.
“Saya tak mungkin lama-lama menunggui anak saya. Saya harus bekerja kembali agar bisa menafkahi keluarga. Maka dengan berat hati, saya menitipkan anak saya yang masih kecil itu pada orang tua salah satu calon santri. Setelah itu saya langsung balik kampung. Saya harus bekerja lagi”, ujarnya.
Menjelang pengumuman, Pak Udin kembali lagi ke Pondok Putri Mantingan. Kali ini ia mengendarai motor bebeknya. Ia beralasan, menggunakan motor lebih hemat. Kalau naik kereta atau bis biayanya bisa 90 ribu. Kalau naik motor hanya perlu mengisi bensin full tank sebanyak dua kali. Biayanya hanya sekitar Rp 40 ribu.
Setelah merayapi jalan berdebu dan terik matahari di sepanjang jalan, Pak Udinpun sampai di Pondok Gontor Putri 1 Mantingan untuk mendengarkan pengumuman.
Sayangnya, hingga pengumuman terakhir, nama anaknya tak kunjung disebutkan oleh pengelola pondok. Itu berarti anaknya tak diterima di Pondok idaman ayah dan anak itu.
Kedua insan itu menangis tersedu-sedu sambil berpelukan. Sedih karena harus menerima kenyataan putrinya tak lulus ujian.
Namun, Pak Udin tak berlarut dalam kesedihan. Ia tetap bertekad, anaknya tetap harus bisa sekolah di Pondok idamannya. Dan ia yakin bahwa Allah pasti akan memberikan jalannya.
Akhirnya Pak Udin berencana memasukan putrinya ke Pondok Alumni. Pondok Alumni adalah pondok yang didirikan oleh Alumni Pondok Modern Gontor. Pondok Alumni ini biasanya membuka pendaftaran di Pondok Gontor untuk menampung calon santri yang gagal lolos pada ujian masuk.
Tanpa menunggu lama, Pak Udin langsung mendaftarkan anaknya di Pondok Alumni. Ia berharap tahun depan anaknya bisa mencoba lagi ikut ujian masuk di Pondok Modern Gontor Putri. Ayah dan anak itu berpantang pulang surut ke belakang. Perjuangan tetap harus dilanjutkan. Warbiyassah!
Maka hari itu pula, Pak Udin membawa anaknya menggunakan motor bebek kharisma andalannya untuk mendaftar ke Pondok Alumni di daerah Jawa Timur. Setelah menempuh perjalanan darat selama 3 jam, Pak Udin sampai di Pondok Alumni itu lalu mengurus pendaftaran masuk anaknya. Setelah selesai, Pak Udin lalu bergegas pulang. Ia harus kembali ke kampung karena perbekalannya sudah habis. Ia harus kembali bekerja agar dapat membiayai perjuangannya menwujudkan cita-cita.
Setahun setelah mondok di Pondok Alumni, Pak Udin mengajak anaknya untuk mendaftar kembali ke Pondok Gontor Putri Mantingan. Anaknya ternyata masih bersemangat.
Sayangnya, saat itu Pak udin tak mempunyai dana untuk membayar uang pendaftaran anaknya.
“Saya kembali harus menyiapkan uang pendaftaran sekitar lima juta dan uang untuk biaya perlengkapan nyantri dan perbekalan sekitar 5 juta. Minimal saya harus punya 10 juta lagi. Dan saya tak punya uang sepeserpun saat itu”, ujar Pak Udin.
Pak Udin terus berikhtiar. Sembari memohon kepada Allah siang dan malam.
Ia sangat yakin Allah akan memenuhi kebutuhannya. “Saya sangat yakin Allah pasti akan memenuhi kebutuhan hambanya. Saya kan tak meminta rejeki untuk hura-hura. Saya hanya meminta rejeki untuk kebutuhan anak saya dalam menuntut ilmu agama. Dan saya yakin Allah pasti mengabulkannya”, cerita Pak Udin.
Dua hari menjelang keberangkatan uang yang diharapkan tak kunjung ada. “Eh sehari sebelum berangkat, tiba-tiba Allah memberi saya rejeki. Saya mendapatkan uang yang jumlahnya pas dengan kebutuhan saya. Dan uang yang saya dapat itu bukan uang hasil utangan. Uang itu hasil dari kerja yang saya lakukan sebelumnya”, ujar Pak Udin.
Dengan bekal uang ngepas itu, ia berangkat kembali menggunakan motor bebek kesayangannya, menjemput anaknya di Pondok Alumni lalu mendaftarkan kembali ke Pondok Gontor Mantingan. Perjalanan yang ia tempuh lebih dari 13 jam. 10 jam menuju ke Mantingan, 3 jam menunju Pondok Alumni. Esoknya ia kembali lagi ke Pondok Gontor Mantingan untuk mendaftarkan anaknya untuk yang kedua kali.
“Allah Maha Baik. Saat pengumuman, alhamdulilah anak saya diterima di Gontor Putri dua”, ujar Cerita Pak Udin. Matanya berkaca-kaca.
Padahal saat itu, cerita Pak Udin, saudara dan teman-teman di kampungnya banyak yang mencemooh tekad Pak Udin untuk menyekolahkan anaknya di Gontor. “Bahkan ada yang bilang bahwa Gontor itu sekolah orang kaya, sekolah para pejabat, sekolah anak-anaknya menteri. Sementara saya hanyalah orang kampung, kuli bangunan, hanya tamat sekolah dasar. Tak mungkinlah saya bisa menyekolahkan anak saya di pondok hebat ini”, lanjut Pak Udin dengan logat banyumasan yang kental.
“Tapi saya tak peduli. Saya hanya percaya bahwa Allah pasti akan membantu saya. Dan Alhamdulillah anak saya dapat diterima di pondok idaman kami ini”, ujar Pak Udin.
Pak Udin lalu menceritakan prestasi anaknya saat mondok di Gontor Putri 2. Ia bilang bahwa anaknya baru saja dikukuhkan sebagai MISS LANGUAGE di Pondok Gontor Putri 2.
Miss Language adalah sebuah predikat yang diberikan kepada santriwati yang sangat menonjol dalam penguasaan bahasa arab dan bahasa Inggris. Ruang lingkup predikat itu bukan hanya satu kelas saja, tapi meliputi kelas 1 hingga kelas 3 yang jumlahnya bisa ribuan santri. Hal itu berarti diantara ribuan santriwati kelas 1 hingga kelas 3 se-gontor putri 2, Nurbainah, putri kesayangan Pak Saefuddin adalah santriwati terbaik dalam penguasaan bahasa asing.
Saat menceritakan prestasi anaknya sebagai Miss Language itu, Pak Udin meneteskan air mata, sementara saya sudah lebih dulu meneteskan air mata saiiyyah….hik-hik. 🙁
Ayah yang hebat!
Jogja, 13.2.2018