Ada lagi kaedah memahami riba yang terakhir yaitu dalam hal akal-akalan dalam riba.
Kaedah #10
“PENGELABUAN ATAU AKAL-AKALAN DALAM RIBA TETAP TIDAK DIBOLEHKAN.”
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
File presentasinya, silakan didownload dari Google Drive:
1- File PDF: 10 Kaedah Memahami Riba
2- File Image: 10 Kaedah Memahami Riba
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Sabtu malam, 17 Rabi’uts Tsani 1438 H (14-01-2017)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://rumaysho.com/15232-kaedah-memahami-riba-7.html